30.1 C
Jakarta

HUT ke-77 RI: Merdeka dari Politik Identitas

Artikel Trending

EditorialHUT ke-77 RI: Merdeka dari Politik Identitas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com– HUT ke-77 Republik Indonesia sukses. Upacara di Istana Merdeka berlangsung secara meriah dan euforia. Tema yang diusung yakni “Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat” mengindikasikan spirit bangsa ini ke depan setelah dua tahun berada di tengah krisis efek pandemi. Upacara HUT ke-77 RI kemarin pun digelar seperti saat sebelum pandemi. Bangsa ini benar-benar akan pulih dan bangkit. Tidak hanya melawan efek pandemi, tetapi juga politik identitas.

Presiden Jokowi menyampaikan lima agenda besar yang sesuai dengan tema HUT ke-77 RI. Pertama, hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam. Ia mencontohkan, hilirisasi nikel yang dilakukan telah meningkatkan ekspor besi baja sebesar 18 kali lipat. Ekspor besi baja meningkat dari sekitar Rp16 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp306 triliun di tahun 2021. Industrialisasi tersebut akan terus ditambah untuk memulihkan perekonomian nasional.

Kedua, optimalisasi sumber energi bersih dan peningkatan ekonomi hijau. Menurut Presiden Jokowi, persemaian dan rehabilitasi hutan tropis dan hutan mangrove serta rehabilitasi habitat laut harus terus dilakukan karena akan menjadi potensi besar pada penyerapan karbon. Ketiga, penguatan perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat. Pemenuhan hak sipil dan praktik demokrasi, hak politik perempuan dan kelompok marjinal harus terus dijamin hukum seadil-adilnya.

Keempat, melanjutkan digitalisasi ekonomi agar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia segera naik kelas. Jokowi menuturkan, sampai saat ini sebanyak 19 juta UMKM telah masuk dalam ekosistem digital. Pemerintah pun menargetkan sebanyak 30 juta UMKM masuk ekosistem digital pada tahun 2024. Kelima, keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), bukan hanya untuk para aparatur sipil negara tetapi juga para inovator dan para wirausahawan.

Selain lima agenda besar tersebut, Presiden Jokowi juga meminta agar politik identitas benar-benar dihilangkan saat Pemilu 2024 mendatang. Imbauan tersebut ia sampaikan di hadapan menteri hingga anggota legislatif saat Sidang Tahunan MPR RI, Selasa (16/8), sehari sebelum upacara HUT ke-77 RI. “Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas, jangan ada lagi politisasi agama, jangan ada lagi polarisasi sosial. Demokrasi kita harus semakin dewasa, konsolidasi nasional harus diperkuat,” tegasnya.

Apa politik identitas yang Jokowi maksud? Yaitu politik di mana kelompok orang yang memiliki identitas ras, agama, etnis, sosial, atau budaya tertentu cenderung untuk mempromosikan kepentingan atau perhatian khusus mereka sendiri tanpa memperhatikan kepentingan atau kekhawatiran kelompok politik yang lebih besar. Mereka, kelompok tadi, biasanya memainkan identitas mayoritas, untuk kepentingan elektoral. Di Indonesia, Islam sebagai mayoritas sering kali dimanfaatkan.

BACA JUGA  Fitnah Keji Aktivis Khilafah Terhadap Toleransi di Indonesia

Dalam politik identitas, biasanya para aktornya membentuk satu cita-cita yang diideal-idealkan. Misalnya ‘NKRI Bersyariah’ atau bahkan ‘khilafah Islam’. Mereka lalu menyeru masyarakat mayoritas, yaitu Muslim, untuk bersama-sama menegakkan citacita ideal tersebut sebagai bagian dari perintah agama. Meskipun kenyataannya Islam tidak menuntut suatu bentuk pemerintahan spesifik, para aktor politik identitas memanipulasi segala hal untuk mendapat simpati masyarakat.

Lalu apa yang bermasalah dari itu? Mengapa Presiden Jokowi melarang? Tidak lain adalah karena dampak yang ditimbulkannya. Politik identitas, biasanya, tidak sekedar memainkan narasi dengan identitas tertentu, melainkan juga bersamaan dengan mendiskreditkan identitas lainnya. Sebagai contoh, identitas Islam mencitraburukkan identitas non-Muslim. Dampaknya jelas, persekusi dan kekerasan yang dialami identitas lain tersebut yang berujung pertikaian.

Politik identitas sangat jelas memecah-belah masyarakat, mencederai kebhinekaan, dan merupakan intrik politik penuh kecurangan. Indonesia sudah punya preseden buruk tentang itu pada pesta-pesta demokrasi yang sebelumnya. Pilkada 2017 adalah contoh paling gamblang, dan Pemilu 2019 kubu Prabowo juga mengarah ke situ. Apa dampak dari keduanya? Polarisasi yang tidak sembuh bahkan hingga hari ini. Kebencian antarsesama merebak ke mana-mana.

Politik identitas tidak berpegang pada prinsip demokrasi. Ia selalu pseudo-demokratis. Identitas Islam dieksploitasi untuk mendapatkan suara umat Muslim, dengan menarasikan ketertindasan Islam lalu berbalik menindasnya. Para aktor politik identitas juga sering kali memakai identitas budaya, misalnya budaya Arab, untuk dikaitkan dengan pentingnya simpati tertentu akan identitas tersebut. Seburuk-buruk intrik politik adalah politik identitas.

Sebagai tanggug jawab moral, tentu Presiden Jokowi tidak ingin itu terjadi lagi pada pesta demokrasi yang akan datang. Tidak hanya pada Pemilu, tetapi juga Pilkada. Tidak hanya identitas Islam, melainkan juga identitas apa pun yang dibentrokkan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Umat Islam sebagai mayoritas harus bersaing secara sehat; konstitusional dan demokratis. Jangan sampai Islam dimanipulasi segerombolan orang untuk kepentingan praktis mereka. Mari pulih dan bangkit dari politik identitas!

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru