Harakatuna.com – Kasus pejabat yang terlibat dalam perjudian online kerap memicu keprihatinan masyarakat. Di Indonesia, fenomena ini menjadi permasalahan serius karena bukan hanya melanggar hukum negara, tetapi juga berseberangan dengan ajaran Islam yang menekankan tanggung jawab, amanah, dan keteladanan.
Dalam perspektif Islam, perjudian termasuk dosa besar yang membawa dampak buruk terhadap pribadi, keluarga, dan masyarakat. Dalam artikel ini, akan kita bahas bagaimana Al-Qur’an dan Fiqih Islam memandang judi dan hukum yang tepat bagi seorang pejabat yang terlibat dalam praktik ini.
Judi, atau dalam bahasa Arab dikenal sebagai maysir, disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai perbuatan yang sangat tercela. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 219, Allah SWT berfirman:
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya….’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini menekankan bahwa meskipun mungkin ada manfaat yang bersifat materi dari perjudian, dosa dan dampaknya jauh lebih besar. Perjudian membawa kepada ketidakadilan, ketidakseimbangan ekonomi, dan kerusakan moral. Ulama menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan kesadaran Islam akan dampak sosial dari perjudian yang melemahkan tatanan masyarakat.
Selain itu, dalam Surah Al-Ma’idah ayat 90, Allah SWT memperingatkan secara tegas:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)
Tafsir ayat ini oleh Ibnu Katsir menyebutkan bahwa judi merupakan bagian dari langkah-langkah setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kehancuran. Allah SWT memerintahkan kaum beriman untuk menjauhi perjudian demi keselamatan dan keberkahan hidup mereka.
Dari segi fikih, perjudian adalah perbuatan yang dilarang dengan tegas. Para ulama sepakat bahwa judi, baik dalam bentuk konvensional maupun digital seperti judi online, hukumnya haram. Ini didasarkan pada ayat-ayat di atas serta hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang mencela perbuatan judi.
Dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi, disebutkan bahwa judi termasuk dosa besar (kaba’ir) yang pelakunya wajib bertobat kepada Allah SWT. Selain tobat, pelaku perjudian yang terus-menerus melakukannya dapat dihukum ta’zir, yakni hukuman yang ditentukan oleh pemerintah atau otoritas berwenang sesuai dengan tingkat pelanggarannya.
Menurut mazhab Hanafi, Malikiyah, dan Hanbali, hukuman bagi pelaku judi bisa berupa cambuk atau hukuman penjara. Dalam konteks ini, hukuman bagi pejabat yang terlibat dalam judi online dapat dikategorikan lebih berat, karena mereka memegang amanah yang lebih tinggi dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat.
Dalam pandangan Islam, pejabat atau pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan bagi rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa pejabat harus berhati-hati dalam perilakunya karena mereka bertanggung jawab tidak hanya di hadapan masyarakat, tetapi juga di hadapan Allah SWT. Pejabat yang terlibat dalam judi online tidak hanya melanggar larangan Allah SWT, tetapi juga mengkhianati amanah dan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Dalam hal ini, kesalahan pejabat yang melakukan judi menjadi berlipat ganda.
Islam mengatur hukuman berdasarkan tingkat pelanggaran dan dampaknya. Hukum Islam mengenal konsep hudud, qisas, dan ta’zir sebagai bentuk hukuman. Namun, perjudian tidak termasuk dalam hukuman hudud maupun qisas yang mengharuskan hukuman mati seperti yang berlaku untuk pembunuhan atau perampokan berat.
Hukuman gantung bagi pejabat yang terlibat judi tidak secara eksplisit disyariatkan dalam Islam. Akan tetapi, ulama membolehkan adanya hukuman ta’zir yang dapat diatur oleh otoritas negara sesuai dengan pertimbangan maslahat dan kemaslahatan masyarakat. Dalam situasi tertentu, jika judi yang dilakukan pejabat tersebut menimbulkan keresahan sosial yang besar, hukuman berat seperti penjara dalam waktu lama atau denda besar dapat diterapkan agar memberi efek jera.
Pendapat ulama dalam menghukum pelaku judi adalah memberikan hukuman yang sesuai dengan tingkat kerusakan yang diakibatkan. Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm menyebutkan bahwa pemerintah dapat menjatuhkan hukuman ta’zir berupa penjara atau cambuk kepada pelaku judi. Imam Malik dan Hanbali juga menyetujui bahwa hukuman ta’zir adalah bentuk hukuman yang fleksibel untuk menangani kasus-kasus yang tidak memiliki ketetapan hudud.
Kesimpulannya, pejabat yang berjudi memiliki dampak yang jauh lebih buruk, karena tidak hanya merusak dirinya sendiri tetapi juga merusak kepercayaan publik dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, hukuman bagi pejabat semacam ini, menurut para ulama, seharusnya lebih berat daripada orang biasa agar masyarakat tidak memandang judi sebagai hal yang biasa atau dapat diterima.
Perjudian adalah perbuatan haram yang memiliki dampak buruk pada tatanan sosial, dan hukum Islam mengatur sanksi untuk pelakunya. Dalam kasus seorang pejabat yang terlibat judi online, Islam mengajarkan pentingnya penerapan hukuman yang adil dan sesuai. Hukuman gantung tidak diatur secara khusus dalam Islam untuk kasus judi, tetapi sanksi ta’zir berupa penjara atau denda besar dapat diterapkan demi memberi efek jera.
Islam menekankan bahwa pemimpin adalah panutan yang harus menjaga amanah dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan, memberi edukasi yang kuat, dan menerapkan hukuman yang adil. Wallahu A’lam.