26.1 C
Jakarta
Array

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi [Bagian 1]

Artikel Trending

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tahun baru Masehi akan segera tiba. Begitu banyak orang merayakan pergantian tahun itu. Tetapi, bagaimana hukum merayakan tahun baru Masehi bagi Muslim?

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.

Secara dzahir, hadits ini mennyatakan bahwa bila kita mengikuti tiradisi suatu kaum, maka kita dikategorikan termasuk salah satu anggota kaum tersebut. dari hadits ini, Imam al-Baihaqi menegaskan tentang kemakruhan memasuki tempat peribadatan kaum musyrik di hari besar mereka dan menyerupai mereka di tahun baru dan pesta-pesta mereka. [al-Fatawi al-Kubro, 310: III]

Sementara itu, seorang ulama kontemporer, Dr. Ahmad as-Syarbashi memberikan sebuah tawaran mengenai kebolehan mengikuti perayaan-perayaan umat Kristiani termasuk milad-nya Isa al-Masih, namun harus memenuhi tiga syarat. Pertama, perayaan yang diadakan tidak menyebabkan umat Muslim melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama Islam. Kedua, dalam perayaan tersebut tidak terdapat munkarat (hal-hal yang dilarang dalam Islam). Ketiga, tidak bertentangan dengan akidah dan ajaran agama Islam. [Yasalunakan fi al-Din wa al-Hayat, 412:IV]

Lalu pendapat mana yang lebih kuat? Secara sepintas, kalau mengikuti pemahaman Imam al-Baihaqi seakan-akan hadits di atas dipaksa untuk digeneralisasi (dianggap umum sehingga mencakup pada tasyabbuh/ penyerupaan dalam bentuk apapun). Padahal, bila kita amati redaksi hadits tersebut, kata tasyabbaha adalah fiil yang itsbat (kata kerja positif) yang menurut kajian bahasa tidak bisa mencakup pada segala macam tasyabbuh. [Ghayatu al-Wushul, 73]

Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa hadits ini diarahkan pada hal-hal yang bersifat ritual keagamaan, kekafiran, dan kemaksiatan. [‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 54: IX]. Berdasarkan argumen ini, maka perihal yang bersifat ‘adah (tradisi) tidak masalah untuk diikuti dengan catatan bukan merupakan sebuah kemaksiatan atau kekafiran.

Selanjutnya, bila kita meneliti pendapat kedua yakni pemikiran dari Dr. Ahmad as-Syarbashi ternyata juga bermasalah. Kenapa sebab, karena ke-valid-an akan tahun kelahiran Isa al-Masih pada 1 Januari masih diragukan, sehingga kalau kita tetap melaksanakan ritual keagamaan lantaran hari kelahiran Isa al-Masih besar kemungkinan akan menjerumuskan kita pada pebuatan bid’ah. Berbeda halnya dengan memperingati kelahiran Nabi Muhammad yang tanggal kelahirannya sudah disepakati oleh para sejarawan.

Terlepas dari dua pendapat di atas, tampaknya perayaan tahun baru pada saat ini sudah  terlepas dari sejarah yang melatarbelakanginya. Ia tidak lagi dipandang sebagai karya umat non Muslim. Peringatan tahun baru lebih terlihat sebagai rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan pada kita, berupa kesempatan untuk menghirup udara baru. Selain itu, kebanyakan orang menggunakan omen tahun baru sebagai ajang untuk introspeksi diri dan menata segala kegiatan yang akan datang agar lebih baik dari tahun sebelumnya. bila kita memandang tahun baru dari sudut pandang ini, maka seluruh ulama sepakat bahwa hukumnya boleh-boleh saja memperingati tahun baru.

Sumber : Fikih Progresif. 2014. Situbondo: Ibrahimy Press. H. 2317-2318

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru