31 C
Jakarta
Array

Hukum Menyentuh dan Membaca al-Quran bagi Wanita Haid

Artikel Trending

Hukum Menyentuh dan Membaca al-Quran bagi Wanita Haid
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Islam adalah agama paripurna, yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik muda ataupun tua, dewasa ataupun balita, gila ataupun normal, laki-laki maupun perempuan. Semuanya perangkat aturan itu sudah ditentukan dalam koridor fikih Islam.

Lantas apakah haid yang terjadi pada wanita juga diatur dalam fikih? Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting karena, sampai saat ini, masih banyak wanita, bahkan juga laki-laki, yang kurang begitu dapat memperoleh pengetahuan yang cukup akan hal ini. Pertanyaan demi pertanyan yang dilontarkan oleh para wanita, baik dalam forum pengajian maupun kanal-kanal website, adalah bukti bahwa masalah haid perlu dibahas kembali.

Dalam kajian fikih, pembahasan tentang haid dibahas secara detail dalam kajian fikih perempuan. Dalam rangka menjawab beberapa pertanyaan yang dilayangkan beberapa pembaca setia www.www.harakatuna.com/harakatuna yang menanyakan perihal hukum menyentuh dan membaca Alquran bagi wanita yang sedang haid, berikut kami sajikan artikel sebagai upaya untuk membantu  menjawab pertanyaan seputar wanita haid dan Al-quran.

Haid

Haid, atau masyhur dikenal dengan menstruasi, adalah proses keluarnya darah bagi wanita. Hal ini menandakan akan ke-baligh-an wanita tersebut. Artinya, ketika wanita sudah baligh, maka semua kewajiban ibadahnya kelak akan dipertanggungjawabkan. Maka, seorang mukmim yang baik, idealnya memahami secara detail tentang praktik dan hukum ibadah agar sesuai dan tidak terjerumus pada sesuatu yang dilarang agama.

Kembali pada pertanyaan tentang hukum menyentuh dan membaca al-Qur’an bagi wanita yang sedang menstruasi (haid). Bahwa hukum menyentuh dan membaca al-Quran bagi wanita haid itu berbeda. Para ulama dari madzhab Syafi’iyah, Hanbaliyah, Hanafiyah dan juga Malikiyah, semuanya sepakat bahwa hukum menyentuh al-Quran (Mushaf) bagi wanita yang sedang haid itu dilarang (haram). Akan tetapi hukum membacanya, mereka berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak.

Beberapa Pendapat

Pendapat pertama, para ulama dari kalangan madzhab Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanbaliyah berpendapat, bahwa hukum membacanya bagi wanita haid adalah haram. Mereka mengambil sandaran hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Saw bersabda yang artinya,”Janganlah wanita haid dan orang junub membaca sesuatu dari al-Qur`an”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Abu Daud. Sacara tidak langsung, mereka memukul rata antara hukum wanita haid dan orang yang sedang junub. Yaitu, sama-sama haram membaca al-Quran.

Pendapat kedua, adalah pendapat yang membolehkan. Yakni dibolehkannya membaca al-Quran bagi wanita-wanita yang sedang haid. Pendapat ini dikuatkan oleh ulama dari kalangan Malikiyah (Madzhab Maliki). Salah satunya adalah imam al-Qarafi, beliau menuliskan pendapatnya dalam kitab al-Dzâkirah:

وأما جواز القراءة فلما يروى عن عائشة رضي الله عنها أنها كانت تقرأ القرآن وهي حائض والظاهر اطلاعه عليه السلام وأما المنع فقياسا على الجنب والفرق للأول من وجهين أن الجنابة مكتسبة وزمانها لا يطول بخلاف الحيض

“Adapun yang membolehkan wanita haid membaca al-Qur’an adalah riwayat dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwasannya Ia pernah membaca al-Qur’an dalam keadaan haid, dan hal itu terjadi dengan sepengetahuan Rasulullah S.A.W. Adapun larangan Membaca al-qur’an ini diqiyaskan kepada hukumnya orang junub. Dan perbedaan dari keduanya ada 2 segi yaitu: kalau junub terjadi karena kehendak yang melakukan dan hal ini berbeda dengan wanita haid, masa junub tidaklah selama masa haid”.

Kesimpulan dari pendapat imam al-Qarafi ini adalah, hukum wanita haid dengan wanita junub (usai bersenggama) itu berbeda. Kalau junub itu atas kehendak pribadi. Tetapi wanita haid itu sudah menjadi ketetapan kodrat sebagai wanita. Sehingga hukumnya pun berbeda. Wanita junub diharamkan membaca al-Quran kecuali setelah bersuci atau mandi wajib. Akan tetapi wanita haid itu diperbolehkan membacanya.

Oleh karena itu, sebagai solusi, pendapat ini boleh digunakan oleh siapapun dan dimanapun. Terlebih bagi para ustdazah yang sedang mengajar al-Quran, ataupun para siswi yang mempelajarinya. Kalaulah saklek tidak boleh digunakan, lalu bagaimana nasib para hafidzoh yang rajin murajaah minimal 3 juz dalam sehari?

Ridwan Bahrudin
Ridwan Bahrudin
Alumni Universitas Al al-Bayt Yordania dan UIN Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru