27.1 C
Jakarta
Array

Hukum Mendendangkan Syair “Pujian” Sebelum Sholat

Artikel Trending

Hukum Mendendangkan Syair “Pujian” Sebelum Sholat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bagi warga Jawa Timur dan sekitarnya, tentu tidak asing jika setiap akan melaksanakan solat Fardu di Musollah atau Masjid-masjid kampung, selalu didendangkan syair-syair sambil menunggu jama’ah atau biasa disebut dengan “pujian”. Apalagi pada jama’ah Nahdlatul Ulama’ kultural, pujian selalu menjadi identitas dari sebuah masjid atau musollah, jika musollah atau masjid tersebut mendendangkan syair-syair pujian sebelum sholat, tentu bisa dipastikan itu masjid nahdinyin.

Namun, dengan berkembangnya informasi, internet dan fatwa-fatwa media sosial, kini banyak yang meragukan pujian sebelum sholat, Bahkan banyak kelompok yang membid’ahkan perkara tersebut, dengan alasan tidak adanya perintah dari Nabi atau tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Padahal, sejatinya pujian sebelum sholat merupakan contoh keselarasan antara budaya dengan agama yang padu, sehingga menimbulkan budaya baru yang islami nan indah. Adanya pujian merupakan cara syi’ar ulama kita, sebagai “tanda” akan dimulainya sholat berjama’ah, atau sebagai “ajakan” untuk sholat berjamah.

Itulah hebatnya orang Indonesia, memang terkesan sepele, namun mereka mampu menyatukan budaya dengan perintah agama. Mereka mampu mengemas perintah agama dengan kebudayaan setempat, dimana tatkala mayoritas umat Islam Indonesia khususnya di pulau Jawa, menyukai syair dan tembang-tembang, Para ulama terdahulu, berusaha mengambil semangat itu dengan mengemas ajaran agama ke dalam tembang-tembang dan syair yang indah, yang anak kecil saja mampu menghafalkanya.

Tentunya, sudah jelas jika hukum sholat berjama’ah adalah fardu kifayah, alias kewajiban kolektif, dimana jika dalam suatu komunitas orang Islam, ada beberapa orang yang melakukan sholat berjama’ah, maka beban fardu kifayah atau kewajiban kolektif tentunya sudah terpenuhi. Memang ada beberapa ulama yang memandang hukum sholat berjama’ah adalah sunah muakkad atau sangat dianjurkan. namun kita tidak akan membahas lebih dalam mengenai itu. yang terpenting adalah bahwa sholat berjama’ah adalah sangat dianjurkan.

Dari pemahaman itulah, ulama kita berusaha mencari cara bagaimana menyampaikan kepada masyarakat secara umum dengan cara yang ihsan atau baik. yang mudah merasuk ke dalam sisi kepribaidan mereka. Dan jawabanya adalah dengan syair.

Ulama’ kita berusaha menyentuh sisi pribadi masyarakat dengan syair dan tembang, sebagai cara yang indah, yang mampu mendarah daging dan sebagai upaya agar masyarakat aktif untuk berjama’ah, Itulah metode dakwah ala Wali Songo, yakni dengan syair-syair berbahasa Arab dan Jawa, yang dikumandangkan sebelum sholat. Praktis, ini menjadi salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh ulama nusantara.

Bukan hanya itu, para ulama juga aktif membuat atau meng-aransemen ulang syair-syair Arab dan solawat ke dalam bahasa lokal, sehingga masyarakat lebih mampu memahaminya, sehingga mudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, misalnya Tombo Ati, Eman Temen, Pitulikur Derajat, Ditutupi Anjang-Anjang, Turi Putih dan sejenisnya. Banyak sekali syair yang mereka buat guna mendekati masyarakat kita untuk senantiasa beragama dengan baik.

Tapi, apakah cukup dengan pandangan atau legitimasi tersebut, sehingga kita membolehkan pembacaan syiir atau pujian di masjid? Tentu tidak, sebab bagi mereka yang anti dengan pujian atau solawat, mereka pastinya berpendapat bahwa itu hanya padangan akal saja, bagaimana dengan nash-nash lain? atau dalil naqlinya?.

Merujuk kepada pendapat salah satu rais syuriah MWCNU Prigen, kiyai Mahmudi, pada acara ngaji NU MWC Prigen Pasuruan, beliau berpendapat bahwa persoalan pembacaan syair dalam masjid sudah dijelaskan secara gamblang dalam berbagai madzab, khususnya dalam bab-bab “Insyadu Si’ra Bil Masjidi”.

Menurut kalangan Hanafiyah, apabila syair tersebut mencakup hukum Islam, nasihat agama, sifat-sifat orang bertakwa atau mengingat nikmat Allah, maka syair tersebut adalah syair yang baik dan boleh dilantunkan di manapun, begitu juga jika syair tersebut menceritakan sejarah umat-umat terdahulu, namun jika dibacakan di dalam masjid maka hukumnya mubah atau boleh. Lain halnya jika syair tersebut berisi ejekan, hinaan atau sesuatu yang tidak masuk akal, maka hukumnya haram dibacakan di dalam masjid.

Senada dengan kalangan Hanafiyah, menurut madzab Hambali, melantunkan  syair yang menceritakan kehidupan Nabi Muhammad SAW atau hal-hal lain yang baik itu tidak dimakruhkan dan tidak di haramkan, maka melantunkannya hukumnya mubah.

Begitu juga menurut kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, yang menyatakan bahwa diperbolehkan membaca syair di masjid selagi syair tersebut mengandung mengenai hukum Islam, nasihat yang baik, dan hal semacam itu, selagi tidak menganggu orang yang beribadah di dalamnya, jika mengganggu, maka diharamkan. Itulah beberapa perincian hukum dari berbagai mazdhab yang kami rangkum dari penjelasan kiyai Mahmudi, selaku Rais Syuriah MWC NU Prigen Pasuruan.

Tidak cukup dengan itu, setelah penulis telusuri kembali, setidaknya terdapat beberapa redaksi yang sepaham dengan pendapat tersebut, seperti dalam kitab al-Istidkaar juz 2 halaman 329 karya Abu Umar Yusuf bin Abdullah, yang menyatakan dibolehkanya membaca syair dalam masjid selama bukan syair-syair yang qobih atau buruk.

Bahkan dalam kitab Syarhul Kabir li ibni Qudamah Juz 1 halaman 423, ada beberapa Riwayat Muttafaqun Alaih dari Abu Huraira, Jabir Bin Samrah dan Imam Ahmad yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad dan para sahabatnya juga pernah mendendangkan syair di dalam masjid, apalagi menurut Jabir bin Samrah, ia melihat Nabi dan sahabat melakukan itu lebih dari 100 kali.

Dan satu legitimasi yang pernah kami dapatkan dari salah satu guru kami, ia mengatakan bahwa syair Tanzih (Mensucikan Allah dari Sifat-Sifat Mahluk, seperti duduk di atas Arash, memiliki bentuk dan lain-nya), sudah sering dibacakan di masjid-masjid di zaman Sultan Salahuddin al-Ayyubi, sebab diperintah olehnya guna mensyiarkan Aqidah Tanzih, yaitu mensucikan Allah SWT dari paham-paham Mujassimah (penyerupaan Allah dengan mahluk).

Sehingga, dapat dipahami bahwa pembacaan syair tentu bukan budaya yang harus dihindari dan diharamkan, malahan sejak dulu sudah digunakan untuk memperkaya keilmuan dan pemahaman agama masyarakat melalui media budaya. Tinggal kita, mau melanjutkanya atau cukup diceritakan saja.

(Muhammad Wahyudi, Santri Al-Hidayah Sukorejo Pasuruan, Jawa Timur)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru