27.3 C
Jakarta
Array

Hukum Mencintai Suami Orang Lain

Artikel Trending

Hukum Mencintai Suami Orang Lain
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCNU Kota Yogyakarta telah mengadakan kegiatan Bahstul Masail di PP. Al-Luqmaniyyah, Yogyakarta pada hari Ahad, tanggal 04 Agustus 2019 M. Diadakannya kegiatan Bahtsul Masa’il ini dalam rangka menjawab persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Yaitu tentang hukum mencintai suami oranglain.

Bahtsul Masail ini diharapkan dapat menjawab permasalahan tersebut. Yaitu dengan merumuskan hukum jawaban yang absah yang berdasarkan pada dalil yang dapat dipertanggung jawabkan. Baik dalil ayat Al-Qur’an, hadis ataupun pendapat para ulama.

Forum Bahtsul Masa’il tersebut telah membahas dua persoalan: Pertama, persoalan tentang Banser (Barisan Ansor Serba Guna) Nahdlatul ‘Ulama menjaga Gereja. Dan kedua, persoalan tentang hukum mencintai suami orang lain. Daraf masalah yang disebutkan adalah terdapat seorang perempuan yang mencintai suami orang lain dengan redaksi “ukhti, izinkan aku mencintai suamimu”. Maka bagaimana hukum ungkapan kata ini?

Acara ini berlangsung selama 4 jam, dari pukul 08.30 WIB dan diakhiri pada pukul 12.30 WIB. Pembahasan tentang Banser menjaga Gereja menjadi topik yang terus diperbincangkan, terlebih setiap menjelang hari Natal. Perdebatan tentang persoalan kebangsaan dan kemanusiaan yang nampak kontradiktif dengan persoalan aqidah ini menjadi topik pembahasan pertama dalam diskusi Bahtsul Masail tersebut.

Putusan Bahtsul Masail Pertama

Adapun rumusan jawaban yang diputuskan oleh Forum Bahtsul Masa’il mengenai hukum Banser menjaga Gereja adalah Fardhu kifayah. Yaitu kewajiban yang tanggungannya dapat gugur jika ada seorang yang mengerjakan kegiatan tersebut. Hukum wajib kifayah ini berlaku dengan pertimbangan dan ketentuan. Pertama, Adanya kewajiban bagi pemerintah atau pemimpin untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya dari ancaman orang yang hendak berbuat dzalim dan tidak bertanggungjawab.

Begitu juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat berkewajiban untuk membantu pemerintah atau pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Yaitu mewujudkan kebenaran, menolak kerusakan, melindungi negara, mengerahkan pasukan dan mencegah orang-orang yang berbuat kerusakan. Hal ini dapat dibaca pada Izzuddin Abdul ‘Aziiz bin Abdis salaam as-Salami, Qawa’idul Ahkaam fii Mashaalihil Anaam, juz.1, hal.131.

Dengan demikian, yang dilakukan Banser adalah semata-mata membantu pemerintah dalam menciptakan keamanan dan perdamaian di Indonesia.

Kedua, penjagaan yang dilakukan Banser harus dilakukan dengan niat yang baik dan benar, yaitu semata-mata menjaga NKRI. Bukan dalam maksud menfasilitasi peribadatan agama lain atau mendukung ritual non muslim. Jadi pada hakikatnya yang dijaga oleh Banser adalah warga negara yang berada di dalam Gereja yang berhak untuk dilindungi, bukan menjaga Gerejanya atau peribadatan non-muslim.

Ketiga, tindakan yang dilakukan oleh Banser telah terorganisir melalui komando dari atasan setelah menerima permintaan resmi dari aparat keamanan atau penegak hukum untuk membantu upaya pengamanan. Maka bagi siapapun yang menjaga Gereja telah melaksanakan fardhu kifayah berupa menjaga stabilitas keamanan Negara.

Keempat, penjagaan yang dilakukan oleh Banser dilakukan setelah adanya ancaman berdasarkan analisa keamanaan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Dengan kata lain non muslim yang berada di dalam Gereja benar-benar dalam kondisi terancam nyawanya.

Kasus Banser Manjaga Greja

Forum Bahtsul Masa’il menyatakan bahwa Banser menjaga Gereja bukan termasuk kategori ‘iaanah ‘alal ma’siyat (membantu kemaksiatan). Sebab, yang dimaksud membantu maksiat secara hakiki adalah perbuatan yang membuat maksiat terwujud dengan perantara perbuatan orang yang membantu. Dengan kata lain orang yang membantu tersebut semata-mata unbtuk mewujudkan maksiat (TIM BM Himasa, Fikih Kebangsaan, halaman 64).

Sementara dalam kasus Banser menjaga Gereja tidak ada niatan untuk menjaga ritual ibadah non muslim. Akan tetapi semata-mata dilakukan untuk menjaga stabilitas negara dan hubungan sosial yang telah terjaga.
Jika seandainya ada yang mengatakan Banser menjaga Gereja tetap dianggap membantu kemaksiatan.

Dalam hal ini Banser berupaya menjadikan penjagaan terhadap Gereja yang terancam bahaya sebagai perantara untuk terwujudnya kemaslahatan. Yaitu terciptanya kestabilan sosial, politik dan ekonomi negara. Sebab jika seandainya terjadi pemboman di Gereja maka jelas akan berdampak secara sosial, politik dan ekonomi.

Putusan Bahtsul Masail Kedua

Selanjutnya, persoalan kedua yang dibahas dalam forum Bahtsul Masail tersebut adalah kontroversi ungkapan “ukhti, izinkan aku mencintai suamimu”. Tema ini dimunculkan dari fakta sosial. Ada seorang perempuan tidak bersuami yang mengungkapkan perkataan tersebut kepada perempuan lain yang sudah bersuami. Sebab baru-baru ini di sebuah Masjid daerah Sukoharjo, pada tanggal 05 Februari 2019 terdapat pengajian yang bertemakan “Ukthi, Izinkan aku mencintai suamimu”.

Kegiatan tersebut dihadiri oleh Ustadz Tri Asmoro Kurniawan (Konsultan Nasional Keluarga Sakinah). Dalam pengajian itu Ustadz tersebut mengatakan: “boleh mencintai suami orang, bahkan boleh mengungkapkannya”. Kemudian acara tersebut menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Sebagian dari pihak yang pro mengatakan “Mencintai suami orang secara sah adalah fitrah, bukan pelakor (perebut laki orang)”. Sebagian yang lain dari pihak kontra menilai hal tersebut dapat merusak rumah tangga orang lain.

Maka, rumusan jawaban yang diputuskan dalam forum Bahstul Masail tersebut mengarah haramnya ungkapan “ukhti, izinkan aku mencintai suamimu”. Argumentasi yang dibangun atas hukum haram tersebut ialah. Pertama, tidak boleh bagi siapapun menyakiti perasaan orang lain, dalam istilah hukum fikih disebut idza’. Dalam hal ini, berlaku parameter kebiasaan masyarakat setempat (urf) yang menilai ungkapan seperti itu dapat menyakiti perasaan orang lain. Kedua, tidak boleh bagi siapapun merusak rumah tangga orang lain, dalam istilah hukum fikih disebut takhbiib. Yaitu hasutan untuk merusak rumah tangga orang lain yang mengarah agar suami atau istri orang lain benar-benar atau berpotensi menceraikan pasangan sahnya.

Landasan Keharaman Ungakapan “ukhti, izinkan aku mencintai suamimu”

Abu Ath-Thayyiib Aabaadi dalam kitab ‘Aunul Ma’buud, Syarh Sunan Abi Daud, halaman 77 menjelaskan bahwa takhbiib adalah merusak hubungan keluarga orang lain. Hadis itu berbunyi “Bukan termasuk golonganku, laki-laki yang merusak hubungan rumah tangga istri orang lain”. Lihat H.R.Abu Daud dalam Sunan Abi Daud, nomer 2161 dan 5145. Maka maksud hadis ini adalah datangnya pihak ketiga yang merusak rumah tangga orang lain. Dengan artian agar seorang perempuan bercerai dengan suaminya. Sehingga dia atau orang lain bisa menikahi perempuan tersebut.

Pada kitab yang sama halaman 224, Abu Ath-Thayyib menjelaskan bahwa takhbib adalah oleh seorang laki-laki yang menipu perempuan yang telah bersuami. Yaitu dengan menyebutkan kejelekan-kejelekan suami perempuan tersebut sehingga bisa menimbulkan kerusakan rumah tangga.

Syekh Yusuf Al-Qaradlawi dalam kitab Fatawa Mua’ashirah juz 1, halaman 409 menghukumi haram bagi seorang laki-laki mencintai istri orang lain. Sebab, perbuatan ini dapat menyebabkan hati dan pikiran perempuan tersebut terganggu hingga merusak hubungannya dengan suaminya. Sehingga menimbulkan pengkhianatan dalam pernikahan dan kegelisahan hidup keduanya.

Keharaman ini didasarkan pada hadis Nabi riwayat Abu Daud di atas. Berdasarkan hadis itu juga Yusuf Al-Qardhawi menghukumi haram bagi perempuan bersuami mencintai suami orang lain. Hal tersebut dapat mengantarkan seseorang pada pelanggaran syar’i. Ambillah contoh seperti melihat lain jenis, berkhalwat atau bersentuhan dan memperkeruh hubungan suami istri.

Dalam diskusi tersebut turut dikupas sisi-sisi lain, seperti hukum bolehnya sekedar mengungkapkan kata-kata, asalkan konten yang diungkapkan tidak ada unsur kemungkaran menurut hukum Islam. Atau setidaknya tidak ada niatan untuk merusak rumah tangga orang lain. Ungkapan cinta yang dimaksud perempuan tersebut mengarah kepada makna kiasan dari menikah. Sehingga maksud dari ungkapan tersebut adalah permohonan izin agar pemohon mendapat restu boleh dinikahi oleh suami dari seorang istri tersebut.

Namun dengan melihat kemungkinan adanya mafsadah (kerusakan) yang bisa muncul dari ungkapan tersebut, maka sebaiknya seorang perempuan menghindarinya. Perkataan: ”Ukhti, ijinkan aku mencintai suamimu” bertentangan adat kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Dan Juga juga terdapat kaidah fiqh yang menyatakan bahwa mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kemanfaatan.

Ade Supriyadi, S.Th.I, S.Si, MA

Ketua LBM PCNU Kota Yogyakarta

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru