26.3 C
Jakarta

Hukum Istri Minta Cerai Karena Tidak Mau Dipoligami

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamHukum Istri Minta Cerai Karena Tidak Mau Dipoligami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Wanita mana yang mau kasih sayang sang suami dibagi-bagi, inginnya kasih sayang suami hanya untuk dia semata tidak untuk yang lain. Kira-kira demikian ungkapan yang sering terdenger dari kaum wanita yang tidak ingin dipoligami.

Kata poligami pasti sudah lumrah di telinga masyarakat walaupun sebenarnya istilah tersebut berasal dari bahasa yunani. Kata poligami ini terdiri dari dua kata, yaitu polus dan gamos. Polus memiliki arti banyak, dan gamos berarti perkawinan.

Landasan dibolehkannya poligami dalam syariat Q.S An-Nisa: 3/4:

{وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى، فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدةً، أو ما ملكت أيمانكم، ذلك أدنى ألا تعولوا} [لنساء:3/ 4]

“Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (ketika kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak bisa berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Namun syariat tidak lantas semerta-merta membolehkan untuk berpoligami, ada dua syarat yang harus dipenuhi bagi kaum laki-laki yang ingin poligami: 1. Berlaku adil kepada istri-istrinya, 2. Mampu memberikan nafkah kepada mereka.

  1. Adil yang dimaksud ialah adil bersifat dhahir (material), seperti: nafkah, menggauli dan menginap di sisi mereka bukan adil yang bersifat batin, karena manusia dalam hal batin tidak akan bisa berlaku adil, seperti: kasih sayang, condongnya hati. Hal ini yang biasanya disalah kaprahi oleh kaum wanita yang meyakini bahwa berlalu adil itu dhahir dan batin, ternyata itu salah.
  2. Mampu memberikan nafkah kepada istri, berupa tanggungan dalam pernikahan dan beban-beban rumah tangga terkait., al-fiqh al-islami wa adillatuhu liz zuhaili, j. 9 hal. 6669.

الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي (9/ 6669)

قيود إباحة التعدد:

اشترطت الشريعة لإباحة التعدد شرطين جوهريين هما:

  1. توفير العدل بين الزوجات: أي العدل الذي يستطيعه الإنسان، ويقدر عليه، وهو التسوية بين الزوجات في النواحي المادية من نفقة وحسن معاشرة ومبيت – وليس المراد بالعدل ـ كما بان في أحكام الزواج الصحيح ـ هو التسوية في العاطفة والمحبة والميل القلبي، فهوغير مراد؛ لأنه غير مستطاع ولا مقدور لأحد، والشرع إنما يكلف بما هو مقدور للإنسان، فلا تكليف بالأمور الجبلِّية الفطرية التي لا تخضع للإرادة مثل الحب والبغض.

“Batasan-batasan dibolehkannya berpoligami:

Syariat menentukan kebolehan berpoligami dengan dua syarat, yaitu:

  1. Berlaku adil terhadap beberapa istri: artinya adil yang bisa diakukan manusia dan yang dimampui yaitu menyamakan antara istri-istrinya dalam segi material, seperti: nafkah, menggauli dengan benar dan menginap di sisi mereka, sedangkan yang dimaksud adil bukan sesuai yang tidak dimampui oleh seorang pun, seperti: perasaan, kasih sayang dan condongnya hati, karena syariat tidak membebani manusia dalam perkara yang tidak dimampui, maka tidak ada pembebanan (tidak diwajibkan) dalam perkara-perkara yang berupa fitrah perangai manusia yang tidak bisa ditundukkan dengan kehendak diri seperti: cinta dan marah”.
  2. القدرة على الإنفاق: لا يحل شرعاً الإقدام على الزواج، سواء من واحدة أو من أكثر إلا بتوافر القدرة على مؤن الزواج وتكاليفه، والاستمرار في أداء النفقة الواجبة للزوجة على الزوج، لقوله صلّى الله عليه وسلم: «يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج … » والباءة: مؤنة النكاح.
BACA JUGA  Apakah Boleh Menjual Ginjal untuk Biaya Kampanye?

“2. Mampu memberikan nafkah: tidak boleh menikah baik satu atau lebih kecuali mampu memberikan biaya-biaya rumah tangga serta beban-beban terkait, dan suami terus-menerus dalam memberikan nafkah wajib tersebut kepada istri, berlandaskan sabda rasulullah SAW: “Wahai para pemuda, barang siapa dari kalian mampu untuk menikah maka nikah lah” yang dimaksud al-baah ialah tanggungan-tanggungan dalam pernikahan”.

Sedangkan di dalam undang-undang dibolehkannya berpoligami secara global prosedural yang tertera sama dengan konsep fikih, namun ada penambahan syarat yang harus dilakukan oleh laki-laki ketika hendak berpoligami yaitu adanya persetujuan istri, hal ini tertulis dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Tujuan adanya persyaratan ini sejatinya tidak bertentangan dengan syara’ sekalipun dalam syara’ tidak disebutkan syarat tersebut, namun tujuan dari syarat tersebut jelas yaitu untuk memelihara ketentraman dalam rumah tangga demi terciptanya keadilan yang harmonis, karena acap kali terjadi hal negatif (mafsadah) ketika poligami tidak melalui izin dari sang istri yang berujung kepada keretakan rumah tangga, dari sana lah mencegah mafsadah lebih diutamakan, sebagaimana dalam kaidah fikih disebutkan:, al-asybah wa an-nadhoir lis subki, j. 1 hal. 105.

الأشباه والنظائر للسبكي (1/ 105)

قاعدة: درء المفاسد أولى من جلب المصالح

“Sebuah kaidah: ”mencegah kemafsadatan (hal negatif) lebih utama dari pada menarik kemaslahatan.

Lantas bagaimana menyikapi istri minta cerai karena tidak mau di poligami?

Secara syara’ dan undang-undang tidak ditemukan terkait dibolehkannya istri minta cerai karena tidak mau dipoligami, kecuali suami diam-diam berpoligami tanpa sepengetahuan istri, maka istri minta cerai dengan alasan ini diperbolehkan, karena suami sudah menyalahi undang-undang berpoligami sebagaimana yang telah berlalu.

Walhasil, selama suami bisa berlaku adil (secara dhahir) dan mampu untuk memberikan nafkah, maka tidak boleh istri menolak lalu minta cerai karena tidak ingin dipoligami, lebih-lebih bagi istri yang tidak bisa memberikan keturunan kepada suami atau memiliki penyakit yang menyebabkan ketidak harmonisan rumah tangga, karena salah satu tujuan dari pernikahan ialah memperbanyak keturunan.

Hemat penulis berpoligami tidak semuanya bisa melakukan, tergantung bakat dan minat, sebagaimana perkataannya kiai musleh, kiai kondang asal madura itu menuturkan: “A poligami nika kat-bakatan (berpoligami itu sesuai dengan bakatnya)”, oleh karena itu sekurang-kurangnya orang yang berpoligami ialah merupakan orang yang sangat ditunggu-tunggu anak dan keturunannya, seperti: para kiai dan orang-orang alim, tentunya juga memenuhi syarat-syarat yang telah berlalu. Waallahu A’lamu Bis Showab…..

Musta’in Romli, Alumni Universitas Nurul Jadid Probolinggo

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru