27.1 C
Jakarta

Hubungan Islam dan Demokrasi Perspektif Bahtiar Effendy

Artikel Trending

KhazanahOpiniHubungan Islam dan Demokrasi Perspektif Bahtiar Effendy
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Membicarakan hubungan antara agama dan demokrasi, tentu menjadi pembicaraan yang selalu menarik. Terlebih lagi untuk kasus di Indonesia, di mana agama dianggap sebagai suatu elemen yang penting dalam realitas masyarakatnya, sehingga peran agama tentu dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan politik, sosial dan sebagainya dalam suatu bingkai demokrasi, konstruk sistem politik yang sudah disepakati bersama menjadi acuan dalam hidup bernegara.

Dan untuk mengupayakan hal tersebut, tentu saja diperlukan suatu tafsir keagamaan yang tepat dan sesuai dengan konteks kehidupan di Indonesia.

Meski demikian, dalam pandangan sarjana-sarjana dunia, ada pendapat-pendapat yang menyebut bahwa agama tidak sesuai dengan demokrasi. Hal itu, turut menjadi sorotan Bahtiar Effendy, seorang cendikiawan muslim Indonesia. Dalam tulisannya, yakni “Islam: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia” (2011), Bahtiar Effendy, yang juga tokoh intelektual Muhammadiyah ini menulis “hingga tingkat tertentu, pembicaraan tentang hubungan antara agama dan demokrasi telah sampai pada wacana stereotipikal tertentu bahwa agama bersifat ‘inimical’ terhadap demokrasi. Paling tidak, demikian bentuk-bentuk wacana stereotipikal itu berkembang, hubungan antara keduanya secara inherent dan organik bersifat ‘incompatible’”.

Menurut Effendy (2011), persepsi tentang adanya ketidaksesuian antara agama dan demokrasi antara lain disebabkan oleh apa yang disebut oleh Olivier Roy sebagai ‘political imagination’ (dalam pengertian cakrawala pemikiran) komunitas agama. Dalam konteks Islam, imajinasi pemikiran politik ini berujung pada tumbuhnya suatu keyakinan akan ketidakterpisahan antara wilayah agama, politik dan hukum.

Dalam tulisannya, yakni “The Failure of Political Islam” (1994), Olivier Roy menulis bahwa syariah “should be the sole source of law as well as the norm for individual behavior, both for the sovereign and the simple believier”. Lebih lanjut, Roy menulis “the definition of an autonomous political space, with is own rule, its positive laws, and its own values is prohibited.” Roy kemudian menegaskan “the state is never considered in terms of a territorialized nation-state: the ideal is to have a power that would rule over the entirety of the umma, the community of the faithful”.

Menurut Effendy, secara umumnya, pandangan stereotioikal yang bersifat sosial budaya mengenai hubungan Islam dan demokrasi, dibangun berdasarkan bias (kalau bukan arogansi) Barat yang mengklaim wilayahnya sebagai “the heartland of democracy”. Akan tetapi, pandangan ketidaksesuaian antara Islam dan demokrasi, bukan hanya datang dari Barat, melainkan datang juga dari kalangan muslim itu sendiri. Di Indonesia misalnya, tentu masih segar dalam ingatan kita ada kelompok yang pernah mengkampanyekan dengan jargonnya “we need khilafah, not democracy”.

Sementara itu, bila kita membaca pemikiran Bahtiar Effendy, maka nampak jelas bagaimana Effendy berupaya mencari titik temu antara demokrasi dan Islam. Dengan mengutip Gellner, Effendy menulis “Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar (“family resemblences”) dengan demokrasi.

Selain itu, Effendy pun mengutip pendapat Robert N. Bellah yang sampai pada kesimpulan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif. Demikian terkesannya Bellah sehingga berani menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi adalah terlalu modern untuk zamannya.

BACA JUGA  Memaknai Toleransi Beragama dan Menyudahi Radikalisme

Sebab itu, Baik Gellner maupun Bellah sampai pada kesimpulan tentang kesesuaian antara Islam dengan demokrasi atas dasar penelitian mereka terhadap doktrin dan praktik politik Islam. Di sini doktrin tentang keadilan (“al-adl”); egalitarianisme (“al-musawah”); musyawarah atau negosiasi (“syura”) terealisasikan di dalam praktik politik kenegaraan awal Islam yang dinilai modern tersebut.

Disebut modern karena adanya komitmen, keterlibatan, dan partisipasi dari seluruh komunitas politik Madinah. Struktur politik yang dikembangkan juga modern dalam arti adanya keterbukaan dalam hal penentuan posisi pimpinan yang didasarkan pada prinsip meritokrasi dan tidak bersifat “hereditary” (turun-temurun). Effendy menulis “bentuk modernitas yang seperti itulah yang dipandang sebanding dengan kehidupan politik demokratis”.

Mengenai hubungan antara Islam dan negara; Islam dan politik; Islam dan demokrasi; ataupun Islam dan masyarakat madani, Effendy memahami bahwa Islam tidak berbicara tentang segala sesuatu dalam bentuknya yang detail. Dalam bacaan Effendy, dapat dikatakan bahwa Islam memberi panduan nilai, moral dan etika dalam bentuknya yang global. Karena itulah Islam amat menekankan penggunaan akal, melalui proses ijtihad.

Dalam tafsiran saya atas pemikiran Effendy tersebut, dapat dikatakan bahwa Al-Quran tidak mengemukakan secara eksplisit bentuk atau sistem pemerintahan seperti apa yang harus dierapkan. Akan tetapi, yang menjadi suatu kepastian, Quran memberikan petunjuk mengenai nilai-nilai apa yang mesti ditegakkan dan menjadi landasan etis bagi jalannya suatu kehidupan politik, semisal keadilan, kesetaraan, amanah, musyawarah atau konsultasi, dan lain-lain. Artinya, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islami tersebut dapat terwujud.

Effendy menulis “Quran hanya sekedar memberikan wawasan, bukan konsep tentang masyarakat, politik, atau negara secara detail. Detail dari konsep tersebut diserahkan pada para pemikir dan aktivis muslim untuk merumuskannya sesuai dengan lingkungan di mana mereka berada. Untuk itu, struktur bangunan masyarakat, politik atau negara (muslim) di suatu kawasan sudah barang tentu berbeda dengan persoalan-persoalan yang sebanding yang berkembang di dunia Islam lainnya. Kendatipun demikian, harus dikatakan bahwa prinsip dasarnya sama. Dan prinsip dasar tersebut berperan sebagai inti dari bangunan masyarakat madani atau bangunan politik yang demokratis.”

Dalam bacaan saya, dapat dikatakan, pemikiran Effendy tersebut dapat digolongkan sebagai cendikiawan yang melihat totalitas Islam dalam dimensinya yang lebih “substantif”, di mana “isi” dipandang lebih utama dibanding “bentuk” dalam kehidupan sosial masyarakat Islam.
Penting untuk dcatat, bagi Effendy (2011), sejauh ajaran atau prinsip Islam tentang sosial atau kemasyarakatan dikemukakan secara substansialistik, dan bukan legalistik-formalistik, maka kongruensi antara Islam dan demokrasi akan nampak jelas terlihat.

Sebagai penutup, saya rasa pemikiran mengenai pola hubungan antara Islam dan demokrasi di Indonesia, penting untuk selalu dikembangkan dan diarahkan kepada substansialisme. Sehingga diharapkan semangat dalam berislam, akan berdampak besar bagi peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia, termasuk dalam mengupayakan keadilan, menjaga keberagaman, kesetaraan dan lain-lain, sebagaimana pesan etis Quran yang juga diandaikan dalam kehidupan demokratis.

Cusdiawan
Cusdiawan
Alumnus Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru