32.1 C
Jakarta
spot_img

HTS dan Teroris Daulah: Al-Jaulani, Moderasi Palsu, dan Masa Depan Suriah

Artikel Trending

Milenial IslamHTS dan Teroris Daulah: Al-Jaulani, Moderasi Palsu, dan Masa Depan Suriah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Persis dua bulan lalu, 12 Januari, The Wall Street Journal membuat reportase berjudul Syria’s Alawites, Sect of the Assads, Fear for Their Future. WSJ menyorot penggerebekan pemerintah Suriah, rezim Al-Jaulani, serta serangkaian pembunuhan misterius yang mereka lakukan hingga membuat sekte Alawite dalam ketakutan. Lima hari lalu, tepatnya 9 Maret, WSJ kembali menulis reportase ihwal peristiwa memilukan teraktual di Suriah.

Liputannya berjudul Sectarian Killings Along Syria’s Coast Spiral Into Crisis for New Government, yang mengecam kekerasan oleh ‘teroris Islam radikal’ terhadap sekte minoritas di Suriah, yakni Alawite. Apa yang sebenarnya berkecamuk di Suriah pasca-Assad, ketika Al-Jaulani telah berada di tampuk kekuasaan? Mengapa The Wall Street Journal sampai melabelinya sebagai teroris Islam radikal? Ini menarik ditelaah.

Peristiwa memilukan di Suriah hari-hari ini memang menjadi sorotan dunia. Tidak sampai tiga bulan berkuasa, euforia kemenangan melawan tirani tampaknya mulai luntur ketika HTS kelihatan wajah aslinya: radikalis-teroris. Banyak orang mulai bertanya, kini, apakah Suriah sudah membaik? Apakah ada metamorfosis baru dari radikalisme yang mengecoh dunia lewat kamuflase moderasi? Rezim Al-Jaulani pun menjadi sorotan internasional.

Ahmed al-Sharaa, yang lebih dikenal sebagai Abu Muhammad al-Jaulani, jelas bukan sosok asing dalam dunia jihad global. Ia muncul dari bayang-bayang Al-Qaeda Irak di bawah Abu Mus’ab al-Zarqawi, belajar dari kerasnya pertempuran dan ketatnya doktrin takfiri. Setelah konflik Suriah pecah pada 2011, ia mendirikan Jabhat al-Nusra sebagai cabang resmi Al-Qaeda, sebelum memisahkan diri dan membentuk HTS pada 2017 demi legitimasi politik.

Sejak saat itu, HTS lebih memainkan peran yang pragmatis, alih-alih meniru ekstremis lainnya seperti ISIS. Mereka mengambil pendekatan bertahap: menaklukkan wilayah secara militer, mengendalikan penduduk dengan aturan syariah yang ketat, tetapi pada saat yang sama mencoba bernegosiasi dengan pihak internasional agar tidak dikategorikan sebagai kelompok teroris. Itulah yang mengantarnya ke tampuk kekuasaan seperti sekarang.

HTS dan Al-Jaulani: Dari Jihadis ke Pemerintah Baru

Setelah menggulingkan Assad, HTS berusaha membangun citra baru sebagai penguasa sah Suriah. Mereka membentuk kabinet pemerintahan dengan pelbagai departemen, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga pertahanan. Beberapa tokoh dari kelompok oposisi Suriah yang lebih moderat bahkan diundang untuk bergabung dalam struktur pemerintahan, kendati mereka tetap berada di bawah kendali ketat HTS.

Namun, apakah itu langkah serius menuju pemerintahan yang inklusif? Ataukah hanya sekadar strategi meredam tekanan internasional? Faktanya, HTS tetap menjalankan represi terhadap kelompok yang tak sejalan. Druze, Kurdi, dan Alawite mengalami diskriminasi sistematis—kendati tengah menuju rekonsiliasi. Hukum dan media dikendalikan dengan ketat, sementara oposisi internal ditekan antek-antek Al-Jaulani.

Bahkan, beberapa laporan menunjukkan, Al-Jaulani mulai menggunakan taktik yang pernah dipakai Assad: menangkap dan menghilangkan lawan politiknya. Info ini memang masih dipertanyakan validitasnya, karena framing atas HTS ialah moderasi dan rekonsiliasi menjadi iktikad baik Al-Jaulani. Namun, yang jelas, kini HTS dirasa mulai memainkan intrik yang sama dengan yang dulu mereka lawan dari rezim Assad.

BACA JUGA  Isra Mikraj: Perisai Spiritual Melawan Radikalisme dan Terorisme

Memang, sejak ambil alih Suriah, HTS gencar melakukan diplomasi internasional. Al-Jaulani muncul di sejumlah wawancara dengan media Barat, juga menggandeng influencer Arab seperti Joe Hattab, untuk menyatakan bahwa ia ingin membangun Suriah yang bebas dari pengaruh asing, separatisme, juga tidak lagi terlibat dalam jihad global. Nyatanya, strategi tersebut mirip dengan taktik yang Taliban lakukan di Afghanistan, pada 2021 lalu.

Sebagai jihadis yang tengah membangun pemerintahan baru, HTS dan Al-Jaulani menerapkan pola-pola serupa, yaitu menjaga hubungan baik dengan Turki dan Qatar demi bantuan finansial dan diplomatik, menghindari konfrontasi langsung dengan negara adidaya seperti AS dan Rusia, menampilkan diri sebagai kelompok nasionalis alih-alih jihadis, serta mengontrol narasi publik dengan membatasi media yang mengancam citra mereka.

Masa Depan Suriah di Tangan HTS

Assad memang tirani yang biadab. Itu terbukti dengan penjara-penjara bawah tanah, tempat jagal lawan politik, yang terbongkar setelah rezimnya runtuh. Namun, ironisnya, dengan Assad yang telah pergi, Suriah masih menghadapi masa depan penuh ketidakpastian. HTS boleh jadi berhasil menguasai negara, namun bagaimana dengan tantangan tidak ringan yang membentang di depan mereka? Pembantaian sekte Alawite boleh jadi baru awalan.

Suriah ke depan akan dihadapkan dalam sejumlah persoalan rumit. Tekanan internasional, ancaman pemberontakan internal, krisis ekonomi, dan ketegangan sektarian merupakan ragam problematika yang kompleks. Sebab, Barat belum memberikan pengakuan resmi terhadap HTS. Embargo masih berlaku, dan banyak pihak yang menolak bekerja sama dengan pemerintahan baru yang dipimpin kelompok eks-jihadis.

Tidak semua kelompok di Suriah juga setuju dengan kepemimpinan Al-Jaulani. Ada banyak faksi di sana, sebagaimana juga di Afghanistan. Beberapa faksi Free Syrian Army (FSA) yang dahulu berjuang melawan Assad konon mulai mengorganisir perlawanan terhadap HTS. Pada saat yang sama, di tengah infrastruktur yang hancur akibat perang, HTS tak memiliki sumber daya yang cukup untuk merekonstruksi negara, atau bisa namun lama.

Dan yang terkini, pembantaian terhadap sekte Alawite dan minoritas lainnya telah menanam benih kebencian yang bisa meledak kapan saja. Jika HTS tidak mampu mengelola perbedaan dan friksi antarfaksi, Suriah bisa kembali jatuh dalam konflik sektarian yang destruktif. Itulah yang disebut ancaman failed state, negara gagal, sebagaimana yang terjadi pada negara Arab lainnya pasca-Arab Spring. Euforia kebebasannya hanya sementara.

Intinya, jika melihat track record HTS dan Al-Jaulani, ada alasan kuat untuk menyangsikan masa depan Suriah. Moderasi ala HTS belum kafah; ideologi keras mereka nyatanya belum berubah. Jika dunia tidak ingin melihat sejarah berulang, maka pemantauan ketat akan kebijakan HTS merupakan sesuatu yang niscaya. Sebab, harapan rakyat Suriah untuk kehidupan yang baik tidak boleh terkorbankan oleh ilusi moderasi palsu para eks-jihadis.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru