26.2 C
Jakarta

HTI, Penghafal Al-Qur’an, dan Kampus yang Jadi Warung Dedengkot Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamHTI, Penghafal Al-Qur’an, dan Kampus yang Jadi Warung Dedengkot Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Hati-hati dengan kegiatan kampus yang destruktif!

Harakatuna.com – Cukup pedas kritik Luthfi Assyaukanie, salah satu pendiri JIL, dalam tulisan singkatnya di Facebook berjudul “Problem Utama Perguruan Tinggi Kita”. Ia mengkritik keras kampus-kampus di Indonesia karena banyak urusan non-akademis yang membuatnya susah bersaing secara internasional. Assyaukanie memantik pula ihwal gerakan Tarbiyah dan HTI yang masif di kalangan mahasiswa. Kita harus belajar dengan benar, katanya, agar selamat dari dedengkot khilafah.

Terlepas dari sependapat atau tidak terhadap Assyaukanie, ia punya tujuan yang positif: mengembalikan marwah kampus sebagai pusat akademik murni, tanpa embel-embel agama. Atas itu, Assyaukanie kemudian menganggap ketentuan masuk kampus dengan syarat hafal Al-Qur’an adalah “tidak ilmiah sama sekali”. Kampus yang banyak terdistorsi hal-hal non-akademik tidak akan menghasilkan output berkualitas, justru hanya menjadi sarang Tarbiyah dan dedengkot khilafah.

Mengapa penghafal Al-Qur’an sering kali tertuduh sebagai yang mudah terjerumus radikalisme? Setidaknya karena dua alasan. Pertama, hafalan Al-Qur’an tengah menjadi tren milenial yang hijrah. Ini semacam ajang adu kesalehan, yang merupakan hasil indoktrinasi Rohis, Tarbiyah, maupun oleh dakwah-dakwah HTI. Kedua, gairah keagamaan di kampus semakin tinggi yang, faktanya, dekat terhadap eksklusivisme HTI. Kampus pun kemudian jadi warung HTI, afiliasi Ikhwanul Muslimin, dan lainnya.

HTI dan pengafal Al-Qur’an jelas tidak bisa digeneralisasi. Menghafal Al-Qur’an sudah biasa dilakukan para santri, produk pesantren, yang tidak akan terjangkit virus radikal. Kendati demikian, posisi-posisi strategis para dedengkot HTI di kampus melahirkan polarisasi, antara yang menghafal Al-Qur’an karena tradisi pesantren dengan yang menghafalnya karena tren milenial semata. Penghafal Al-Qur’an pun terpojok, gara-gara aksi dedengkot khilafah di kampus tersebut.

Aksi Dedengkot Khilafah

Aksi-aksi HTI melalui Gema Pembebasan atau IM melalui Rohis dan Tarbiyah sudah menjadi rahasia umum yang kampus umum menjadi sasaran utamanya. IPB, UGM, bahkan UI menjadi kampus-kampus besar yang menjadi tempat dedengkot khilafah itu beraksi. Mereka mempunyai tren tersendiri sebagai umpan gerakan, mulai dari tren hijrah, tren anti-pacaran, tren menghafal Al-Qur’an, hingga kajian dan diskusi di area-area kampus.

Mereka benar-benar memahami bahwa kampus umum membutuhkan nafas Islam, dan mereka jadi representasi Islam dalam peluang tersebut. Kampus ibarat warung mereka berkumpul, melakukan kaderisasi, dan mempertahankan eksistensi.  Lalu apakah menghafal Al-Qur’an harus distop sebagai tradisi kampus? Tidak juga. Yang mesti ditanggulangi ialah HTI dan dedengkot khilafah lainny, bukan penghafal Al-Qur’an yang, mereka, sebenarnya hanya oknum.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Ada narasi bahwa menghafal Al-Qur’an akan menjadikan seseorang berpandangan radikal, sementara memahami Al-Qur’an akan melahirkan sifat-sifat moderat. Luthfi Assyaukanie memakai kaidah tersebut. Namun, itu tidak sepenuhnya benar karena mendikotomi hafalan dan pemahaman. Padahal, seseorang akan mampu memahami Al-Qur’an secara utuh bila ia hafal, sehingga mampu menautkan ayat satu dengan ayat lainnya—sebagai jalan menuju tafsir yang holistis.

Penghafal Al-Qur’an yang harus diwaspadai adalah mereka yang hasil koderisasi Rohis, misalnya, yang hafalannya tidak menuntun ia menjadi moderat, melainkan sikap eksklusif merasa benar sendiri, saleh sendiri, dan paling islami dari yang lain. Karena jika demikian, berarti ia sudah terpapar indoktrinasi dedengkot khilafah. Pada gilirannya nanti, merekalah yang akan mendominasi birokrasi kampus. Dan saat itulah, kampus benar-benar jadi warung mereka menyebarkan pahamnya.

Bagaimana Nasib Kampus?

Nasib kampus tidak dalam bahaya hanya karena memasukkan penghafal Al-Qur’an sebagai syarat. Tetapi bahwa HTI dan dedengkot khilafah lainnya menampati posisi-posisi strategis di kampus, sehingga kampus seolah jadi warung tempat mereka berjejaring, mesti diperhatikan bersama. Jangan sampai, seperti dikatakan Luthfi Assyaukanie, setelah lulus, alih-alih jadi akademisi, mahasiswa malah jadi agen HTI, IM, atau jadi ustaz Wahabi.

Nasib kampus ada dalam sensitivitasnya melakukan filtrasi antara aspek-aspek akademis dan non-akademis di satu sisi, sebagaimana yang Assyaukanie sampaikan, dan jejaring dedengkot radikal di sisi lainnya. Keduanya sama-sama berbahaya, tetapi penghafal Al-Qur’an tidak bisa dikambinghitamkan. Jika setelah keluar dari kampus, seorang mahasiswa menjadi agen khilafah, dan ia kebetulan hafal Al-Qur’an, maka yang disalahkan bukan hafalannya, melainkan kampus itu sendiri.

Kampus yang terjangkit amaliah-amaliah khilafahisme sebenarnya ada dua macam. Pertama, sejak semula dibangun oleh dedengkot khilafah dengan tawaran gratis biaya, misalnya, untuk menarik peminat. Yang seperti ini, tindakan perlu segera diambil, karena kurikulum mereka pasti anti-Indonesia. Kedua, kampus umum dan kampus Islam tetapi jabatan-jabatan strategisnya ada di tangan dedengkot khilafah. Dekan dan rektor, misalnya. Yang seperti ini, kasusnya juga banyak sekali.

Barometer masa depankampus dan pendidikan secara umum tidak boleh menegasikan gerakan underground, yang mahasiswa berada dalam cengkeramannya. Mau penghafal Al-Qur’an dapat ruang atau tidak, masalah intinya adalah HTI cs itu sendiri. Selama kampus menjadi sarang gerakannya, menjadi warung tongkrongan para dedengkot khilafah dan narasi radikal-ekstrem lainnya, output yang baik dan kualitas kampus hanyalah utopia. Tidak akan terealisasi, kecuali kita memberantas mereka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru