30 C
Jakarta
Array

HTI: Parpol Fosil di Negeri Sendiri

Artikel Trending

HTI: Parpol Fosil di Negeri Sendiri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

HTI: Parpol Fosil di Negeri Sendiri

Oleh: Imam Muhlis*

“HTI selalu bikin resah.” Pelbagai kampanye untuk mendirikan Khilafah Islamiyah di negara Pancasila terus dikomandangkan melalui banyak cara; mulai dari aksi demonstrasi, ceramah, diskusi publik, pengajian, penerbitan buku, majalah, buletin, hingga bendera-baliho bertebaran di mana-mana yang bertuliskan: “Tegakkan Khilafah Islamiyah”, atau “Khilafah: Kewajiban Syar’i, Jalan Menuju Kebangkitan Umat.”

Pemberitaan HTI-pun dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi trending topik di pelbagai media, cetak maupun media sosial. Penyebabnya tak lain adalah seputar impian “Khilafah Islamiyah” yang selalu digaungkan mereka semakin berani dan terang-terangan tampil ke permukaan.

Anehnya, HTI yang jelas-jelas tidak membawa berkah dan malah menjadi ancaman bagi keberlangsungan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia masih saja disambut baik oleh masyarakat yang minus pengetahuan dan tidak cerdas dalam menerima informasi. Ironisnya, sambutan hangat atas kehadiran HTI itu dilakukan oleh kaum cerdik generasi muda, seperti tayangan yang beredar di media sosial dan YouTube tentang “Ikrar Sumpah Khilafah” yang dilakukan mahasiswa, yang digelar di IPB Dramaga Bogor beberapa waktu lalu (www.www.harakatuna.com/harakatuna).

HTI semakin berani berkoar-koar menolak Pancasila dan demokrasi sejak reformasi pada tahun 1998 lalu, ketika kran demokrasi dibuka. Baginya, Pancasila dan demokrasi adalah sistem thoghut yang telah meracuni pikiran umat Islam yang menyebabkan umat Islam sendiri terjerumus dalam kondisi tak berdaya. Tapi lucunya, suporter HTI sendiri malah menikmati hidup di negara Pancasila sembari mendompleng angin segar demokrasi untuk menancapkan pengaruhnya di bumi Indonesia.

Ini aneh! Tapi itulah HTI. Hizbut Tahrir Indonesia (Inggris: Party of Liberation; Indonesia: Partai Pembebasan/Arab: حزب التحرير) merupakan bagian dari jaringan Hizbut Tahrir (HT), sebuah partai politik yang bergerak secara internasional di 40-an negara dengan puluhan juta pengikut. Konsep tata pemerintahan dan kenegaraan yang tawarkan HTI adalah Khilafah Islamiyah sebagai kekuasaan politik global.

Hizbut Tahrir sendiri secara resmi dideklarasikan pada tahun 1953 di Al-Quds (Yerussalem) Palestina. Gerakan ini bertujuan membangkitkan umat Islam di seluruh dunia untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya syariah dan Khilafah Islamiyah. (Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis, 2002, h. 34). Pendiri HT adalah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1908-1977)—mantan petinggi Ikhwanul Muslimin (IM)—yang di negara asalnya, Mesir, IM sudah menjadi organisasi bawah tanah, tapi dijual di Indonesia malah laku dan bahkan berhasil mendirikan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). (Haedar Nashir, 2007, h. 33-34).

Pada mulanya, Hizbut Tahrir yang memproklamirkan diri sebagai Parpol ini (bukan Ormas Islam)–didirikan dalam rangka membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari sistem, perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir (dar al-kufr). Hizbut Tahrir bercita-cita untuk membentuk negara yang diatur dengan hukum-hukum syari’at Islam di bawah naungan negara Khilafah Islamiyah. (M. Imdadun Rahmat, 2005, h. 139).

Sejak berdiri, jualan HTI berupa barang “Khilafah Islamiyah” tidak pernah berwujud di bumi, bahkan di banyak nagara Arab telah mengalami penolakan dan kegagalan pada saat berupaya mengambil alih kekuasaan, seperti di Yordania pada tahun 1969, Mesir tahun 1973, dan serentak di Irak, Sudan, Tunisia, Aljazair pada tahun 1973. (Ihsan Samarah, 2002, h. 5-6).

Akhirnya, HT itu sendiri menjadi partai politik fosil di negaranya sendiri karena menjadi Parpol terlarang.

Bagi Hizbut Tahrir, banyak daftar negara di dunia ini yang dilabeli negara kufur (dar al-kufr), yang berhak diperangi (dar al-harb) untuk diubah menjadi dar al-Islam. Akibatnya, HT yang berpura-pura bertopeng Ormas Islam ini,—menurut catatan “Islam Watch”, dilarang di banyak negara seperti Arab Saudi, Turki, Mesir, Libia, Qatar, Suriah, Pakistan, dan Tunisia. Pemerintah Tunisia bahkan meminta pengadilan militer untuk melarang HT karena dianggap merusak ketertiban umum. Bangladesh juga melarang karena dinilai mengancam kehidupan damai di negara itu. Di negara-negara bekas Uni Soviet yang berbasis Muslim, HT juga dilarang, seperti Kazakhstan, Kirghistan, Uzbekistan dan Tajikistan.

Di tempat lain, HT oleh pemerintah Rusia pada tahun 1999 dianggap sebagai “Organisasi Kriminal”, dan pada tahun 2003 sebagai “Organisasi Teroris”. Di Jerman oleh Mahkamah Agung dilarang karena dianggap anti-semit. Di Perancis, Denmark dan Spanyol HT dianggap organisasi illegal. Sedangkan di China dianggap sebagai organisasi “teroris”. Di Malaysia, pada 17 September 2015 Komite Fatwa Negara Bagian Selangor menyatakan HT sebagai kelompok menyimpang, dan mengatakan siapapun yang mengikuti gerakan Pro-Khilafah akan menghadapi hukum. Sementara di Indonesia sendiri, “partai politik pembebasan” ini masih bisa unjuk gigi.

HTI di Indonesia

Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada awal dekade tahun 1980-an (banyak versi), dan keberadaan HTI sepertinya ada yang menyambut hangat. Sambutan hangat itu tentu saja karena HTI jualan syari’at Islam,—syaria’t menurut versi HTI. Menurut HTI berbagai krisis yang terjadi ini adalah akibat ulah maksiat manusia Indonesia. Maka HTI mengajukan konsep jitu, yakni dengan penerapan syariat Islam, setelah itu baru pembentukan Khilafah Islamiyah.

Di masa Orde Baru berkuasa, “organisasi politik” ini tidak berani terang-terangan di depan publik. Meraka masih menjalankan metode dakwah dan pembinaan dengan mengadopsi prinsip tanzim sirri (organisasi rahasia). (Solahudin, 2011, h. 113). Berapa jumlah anggota dan siapa saja yang ada dalam struktur kepengurursan organisasi juga tidak pernah dipublikasikan. Sebagian dari aktivis HTI memakai nama samaran untuk menutupi identitasnya. Nama-nama samaran berbau ke Arab-araban, misalnya Muhammad al-Khattath, Abu Fuad, Abu Dzar al-Ghifari, Taqiyudin al-Baghdady, Salman al-Farisi dan nama-nama sejenisnya. Seperti mantan DPP HTI Muhammad al-Khathath yang kini menjabat Sekjen FUI, ternyata nama aslinya adalah Gatot Saptono. Alasan para aktivis HTI untuk menyamarkan dan merahasiakan identitas serta berbagai aktivitas dakwahnya ataupun jumlah anggotanya, adalah sebagai upaya perlindungan diri selama era Orde Baru yang menganut haluan kebijakan politik “sapu bersih” terhadap kelompok Islam radikal. (Zaki Mubarak, 2008, h. 243-244).

Pasca reformasi yang ditandai dengan kebebasan yang semakin terbuka merupakan prakondisi yang kondusif bagi HTI untuk tampil ke permukaan. Pemikiran dan ideologi HTI mulai menyebar melalui jaringan kampus yang dikenal sebagai Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di beberapa universitas seperti UNPAD Bandung, UI Jakarta, UGM Yogyakarta, IKIP Malang (Universitas Negeri Malang/UM), UNAIR Surabaya, IKIP Surabaya (Universitas Negeri Surabaya/UNESA), UNHAS Makassar—semuanya merupakan kampus-kampus yang disebut “sekuler”,—dan dengan cepat mampu mencapai setiap provinsi di negeri ini. (Elizabeth Fuller Collins, 2011, h. 6).

Kini, HTI terus tumbuh dan merupakan acaman baru bagi Indonesia, meskipun HTI sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh Ismail Yusanto, bahwa organisasinya tidak anti Pancasila dan tidak menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan itu hemat saya mencla-mencle,—mereka penuh kepura-puraan dan kamuflase agar mereka dapat diterima oleh publik Indonesia.

Konsep dan doktrin HTI ini sudah pasti bertentengan dengan negara Pancasila. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang menjadi dasar falsafah negara adalah Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai konstitusinya. Sementara HTI mengkampanyekan dan menginginkan konsep “Daulah Khilafah Islamiyah” sebagai antitesis ideologis yang siap menandingi, bahkan mengganti posisi konsep negara-bangsa (NKRI) yang sudah dianggap final bagi Indonesia.

Gagasan dan doktrin HTI itu secara otomatis membangkitkan seteru abadinya, yaitu Islam Subtantif. Sejumlah elit organisasi sosial-keagamaan, terutama NU dan Muhammadiyah, menjadi gerah dengan menuduhnya sebagai organisasi makar yang hidup dengan mendompleng demokrasi. Buya Syafii Ma’arif, misalnya, menyebut secara spesifik bahwa HTI sebagai organisasi Islam transnasional.

Pada 1 April 2017 kemarin, misalnya, pawai ratusan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Jawa Timur mendapat penghadangan dari anggota Barisan Ansor Serba Guna (Banser) Nahdlatul Ulama sekaligus menurunkan paksa bendera khilafah islamiyah. Anehnya, aksi nyata Banser NU itu justru mendapat kecaman dari para netizen dengan Hastag “BanserBubarkanPengajian” menjadi tranding topik nomor wahid di media sosial Twitter.

Karena itu, publik sangat menyayangkan atas sikap dan komitmen Pemerintah terhadap organisasi radikal seperti “Partai Pembebasan/Hizbut Tahrir,” yang di negaranya sendiri sudah menjadi Parpol terlarang. HTI yang nyata-nyata mengancam ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI terkesan dibiarkan begitu saja,—disaat banyak organisasi kepemudaan mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap Pancasila dan NKRI. Atau jangan-jangan tinggal NU, Ansor dan Banser yang peduli NKRI? Wallahu A’lam bi as-Shawab.

 *Penulis adalah Alumnus Magister Ilmu Hukum UGM Yogyakarta dan Tim Riset Buku “Ensiklopedia Radikal”, Tinggal di Cilacap, Jawa Tengah

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru