32.9 C
Jakarta

HTI, Organisasi Nir-Kekerasan yang Sangat Berbahaya

Artikel Trending

Milenial IslamHTI, Organisasi Nir-Kekerasan yang Sangat Berbahaya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tulisan ini berdasarkan hasil obrolan dengan salah seorang rekan di sebuah kafe di Ciputat, Rabu (8/3) malam. Rekan tadi merupakan tokoh yang berpengalaman dalam dunia terorisme. Setelah diskusi panjang lebar tentang suatu topik, ia kemudian bertanya kepada saya: kenapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap radikal jika mereka tidak melakukan kekerasan dan atas dasar apa mereka dianggap ancaman. Tentu saja saya kaget—pertanyaan ini multitafsir.

Saya sudah bilang padanya, saya akan menuliskannya. Selama ini, saya keras melakukan kontra-narasi HTI. Bagi saya, eksistensi organisasi yang secara de jure bubar pada 2017, itu mengancam negara. Boleh jadi tidak dalam jangka pendek, tapi ia tetap berbahaya. Maka, adalah menarik jika kemudian seseorang masih mempertanyakannya. Saya sebut multitafsir karena sejumlah alasan. Namun yang jelas, pertanyaan tersebut lahir sebagai protes terhadap argumentasi saya selama ini.

Rekan saya tadi memulai pernyataannya melalui sebuah tesis bahwa ‘semua hal di republik ini berpotensi jadi ancaman’. Jika ancaman saja ditakuti, menurutnya, maka seharusnya HTI bukan satu-satunya yang harus dilakukan kontra-narasi. Ia tegas mengatakan, HTI tidak akan melakukan makar. Karena itu, HTI juga tidak melakukan kekerasan. “Mengapa harus ditindak jika tidak ada unsur pidana di situ, kecuali jika karena kepentingan politisasi,” ujarnya. Menarik.

Ada dua poin yang ingin saya bahas. Pertama, apakah HTI ancaman atau bukan, bagi Indonesia. Kedua, mengapa kontra-narasi HTI harus terus dilakukan. Pembahasan tentang ini saya tujukan untuk menepis anggapan bahwa organisasi nir-kekerasan tidak berbahaya untuk negara. Terlepas dari apakah HTI mengagendakan makar (bughat) atau tidak, itu hal yang politis. Intinya, hanya karena tidak menggunakan cara kekerasan, bukan berarti sebuah organisasi harus diabaikan begitu saja.

Ideologi HTI

Syariah Islam bukan hanya mengatur urusan yang dibahas oleh agama, tetapi juga urusan yang dibahas oleh ideologi. Dengan lingkup syariah Islam yang meliputi dua wilayah ini; agama dan ideologi, maka tepat sekali Islam disebut sebagai agama dan ideologi sekaligus.” Demikian dikatakan oleh tim penulis HTI dalam buku ‘Syariah Islam dalam Kebijakan Publik’. HTI menganggap Islam sebagai ideologi yang, melalui ideologi tersebut, ideologi non-Islam ingin diganti.

Doktrin HTI bahwa Islam adalah agama dan ideologi merupakan bagian utama dari keyakinan atau prinsip dasar akidah mereka. Penolakan terhadap akidah tersebut akan membuat seorang Muslim terpelanting dari Islam alias murtad (Arif, 2016). Pada titik itulah dapat ditarik garis runut logis dari argumentasi HTI atas wajibnya penerapan syariah Islam secara politik, yakni dengan menegakkan khilafah. Karena khilafah itu sistem, maka HTI ingin mengganti sistem yang ada.

BACA JUGA  Menciptakan Optimisme Politik, Memperbaiki Demokrasi

Dalam soal kenegaraan, HTI menginginkan khilafah Islamiah, yang dianggap mengacu pada sistem politik Islam era Nabi Saw. dan khulafa’ al-rasyidin. Melalui perjuangan yang konsisten, HTI hendak mengubah bentuk kenegaraan NKRI menjadi khilafah, sehingga narasinya menjadi antitesis negara-bangsa (nation-state). Dalam doktrin ideologis HTI, Islam menuntut persatuan umat yakni kesatuan global keumatan dalam payung besar khilafah Islamiah. Apakah ideologi ini berbahaya untuk Indonesia?

Jawabannya: tentu. Negara ini sudah memiliki bentuk dan sistem pemerintahan sendiri, yang berasaskan konsensus, yang sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Karena itu, adalah tidak mungkin lagi sebuah ideologi baru diterapkan, apalagi jika mengganti ideologi negara. Bahkan sekalipun HTI tidak melakukan kekerasan fisik, ideologi mereka adalah ancaman yang nyata. Gagasan mereka, yakni khilafah sebagai sistem, berbahaya bagi NKRI di masa depan.

Khilafah vis-à-vis NKRI

Ketika Suteki, tokoh HTI mengatakan, Indonesia bisa menerapkan khilafah tanpa mengutak-atik sistem yang ada, ada dua kemungkinan di situ. Pertama, Suteki tidak paham konsep khilafah yang ingin HTI tegakkan. Kedua, ketidakjelasan aspek ampiris dari khilafah itu sendiri. Bagaimanapun, mendirikan sistem di dalam sistem adalah kemustahilan. NKRI telah memiliki sistem politik-pemerintahan yang sah, maka penegakan khilafah sebagai sistem politik secara otomatis adalah ilegal.

Di sini juga perlu digarisbawahi bahwa tolok ukur radikalisme bukan kekerasan, melainkan sejauh apa kontra-empat pilar kebangsaan terjadi. Sekalipun HTI tidak pernah melakukan kekerasan dan tidak punya riwayat makar, tetap saja ia berbahaya karena doktrinnya tentang khilafah bercita-cita menggantikan sistem pemerintahan yang sah. Tidak ada yang tahu bahwa kelak, ketika kekuatannya sudah besar, HTI akan memberontak. Sekarang lebih dahulu atur kesiapan.

Apakah Indonesia anti-khilafah? Mengapa umat Islam fobia khilafah? Kedua pertanyaan ini telah menjebak beberapa orang ke garis demarkasi antara pendukung NKRI dan pendukung khilafah. Padahal, NKRI sendiri sudah menegakkan khilafah, khilafah dalam arti pemerintahan, dengan sistem demokrasi. Yang berbahaya bukanlah khilafah secara umum, tetapi khilafah HTI. Khilafah HTI merupakan sistem tersendiri yang anti-NKRI, yang ditawarkan kepada masyarakat sebagai agenda jangka panjang.

Jika bahaya atau tidaknya HTI digantungkan pada adanya kekerasan, maka di negara ini tidak ada organisasi terlarang. Jika demo semarak khilafah boleh dibiarkan karena ini negara demokrasi, maka masa depan NKRI dipastikan ada di jurang. HTI adalah ancaman untuk ideologi negara, sehingga ia berbahaya untuk masa depan bangsa Indonesia. Ketika HTI sudah jelas menolak Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945, masihkah ia layak dicap tidak berbahaya? Kesalahan fatal.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru