Harakatuna.com – Hari ini kita berada di pertengahan bulan Rajab 1446 H. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pada bulan haram ini, HTI sangat masif mempropagandakan khilafah kepada umat Muslim di tanah air. Bagi HTI, baik dedengkot maupun simpatisannya, bulan Rajab memiliki makna spesifik: peringatan atas runtuhnya Turki Utsmani pada 1924. HTI memandang peristiwa tersebut sebagai tragedi besar hilangnya institusi politik global umat Islam. Itu klaim mereka, juga doktrin umum ke-HTI-an.
Sejak didirikan, HTI konsisten memanfaatkan Rajab sebagai sarana propaganda khilafah. Bahkan sebelum bubar pada 2017, HTI secara terbuka mengadakan berbagai acara seperti seminar, konferensi, dan kampanye besar. Acara-acara tersebut selalu diberi tema-tema menarik, seperti “Menghidupkan Kembali Khilafah” atau “Khilafah sebagai Solusi Krisis Global,” yang diselenggarakan di masjid-masjid, aula kampus, hingga tempat umum semisal JCC Senayan.
Tetapi pasca-bubar, HTI mengubah strateginya: dari kegiatan publik ke private yang terselubung dan eksklusif. Salah satu contohnya adalah penyelenggaraan acara “Metamorfoshow” di TMII pada 2024 kemarin, yang ditujukan untuk generasi muda tetapi menyisipkan propaganda khilafah dalam narasi yang sangat halus. Artinya, meski aktivitasnya tak lagi terang-terangan, HTI tetap aktif memanfaatkan bulan Rajab sebagai momen penting menyuarakan aspirasinya. Tetap petakilan, singkatnya.
Untuk diketahui, tahun 2025 ini menandai lebih dari satu abad sejak runtuhnya Turki Utsmani. Dalam perspektif HTI, ini adalah bukti dari “kelalaian umat Islam” mengembalikan institusi khilafah. Tak heran, HTI semakin gencar memanfaatkan bulan Rajab sebagai waktu khusus untuk mengeskalasi propaganda mereka. Saat ini petakilan HTI di mata publik semakin terang-benderang, kendati khilafah yang HTI tawarkan jelas utopis dan tidak relevan dengan kondisi zaman.
Sejarawan Islam, Prof. Azyumardi Azra menegaskan, konsep khilafah HTI adalah bentuk penyelewengan fakta sejarah. Turki Utsmani lebih menyerupai negara-bangsa dengan karakteristik otokrasi, bukan sistem pemerintahan global yang egaliter seperti yang dipromosikan HTI. Selain itu, narasi HTI yang menjadikan Rajab sebagai bulan khilafah mengabaikan fakta bahwa institusi kekhalifahan itu sendiri tak pernah dirayakan atau diperingati secara khusus dalam sejarah Islam.
Jadi, kendati bulan Rajab memiliki keutamaan tersendiri dalam konteks spiritualitas Muslim, seperti Isra’ Mi’raj, tetapi tidak ada kaitan langsung dengan peristiwa politik seperti yang dipropagandakan HTI. Dengan istilah lain, HTI menciptakan hubungan simbolik yang bid’ah; tidak ada dalam tradisi Islam, untuk kepentingan propaganda mereka sendiri. Alih-alih memanfaatkan Rajab sebagai momen meningkatkan spiritualitas berkah Isra’ Mi’raj, HTI malah petakilan sekali menyebar propaganda.
Lalu, bagaimana sebenarnya pendapat pakar ihwal romantisme khilafah di era modern? Menurut Dina Afrianty, romantisme khilafah HTI adalah wujud nostalgia berlebihan yang gagal memahami dinamika dunia modern. HTI menggambarkan khilafah sebagai solusi semua masalah, tetapi tak memberikan rincian konkret tentang kinerja sistem khilafahnya dalam kompleksitas global. HTI hanya “memanipulasi emosi umat” lewat propaganda Islam kafah dan one ummah.
Afrianty juga mencatat, upaya HTI membangkitkan kembali khilafah adalah strategi politik berbasis pembelokan sejarah dan syariat. Dengan framing runtuhnya Turki Utsmani sebagai tragedi besar, HTI berusaha menciptakan rasa kehilangan kolektif umat agar mendukung agenda mereka. Pendapat Afrianty kemudian didukung temuan Noor Huda Ismail, akademisi dan praktisi radikal-terorisme, bahwa HTI berusaha mengooptasi Islam dan menegasikan pluralitas politik Muslim itu sendiri.
Untuk menghadapi semua itu, langkah pertama adalah mengungkap kenyataan bahwa kekhalifahan, sebagaimana dielukan HTI, tidak pernah benar-benar ada dalam sejarah. Turki Utsmani, Abbasiyah, bahkan era awal Khulafaurasyidin semuanya memiliki perbedaan sistem politik, struktur kekuasaan, dan cara pengelolaan negara. Tak ada satu pun bentuk kekhalifahan yang dapat dijadikan model universal untuk dunia Islam modern—sebagaimana yang HTI propagandakan, utamanya setiap Rajab.
Selain itu, narasi HTI begitu rapuh jika diuji fakta sejarah. Turki Utsmani pada abad ke-19, misalnya, adalah entitas yang penuh intrik politik, krisis ekonomi, dan ketergantungan besar pada kekuatan-kekuatan asing. Bahkan pada puncak kejayaannya, rezim Turki Utsmani sering memaksakan otoritasnya pada wilayah-wilayah Muslim dengan cara militer daripada melalui persatuan ideologis. Artinya, secara sejarah, khilafah ala HTI itu tak islami-islami sekali.
Kontra-narasi dapat dibangun dengan menunjukkan bahwa kejayaan Islam di masa lalu tidak ditentukan institusi politik atau sistem pemerintahan bernama “khilafah”. Sebaliknya, kontribusi umat terhadap ilmu pengetahuan, seni, dan budayalah yang mendorong pada kejayaan. Artinya, alih-alih menggantungkan masa depan umat pada khilafah palsu HTI, umat lebih baik kembali menumbuhkan budaya intelektual dan inovasi-kreativitas sebagai titik tolak menuju kebangkitan.
Di bulan Rajab, orang-orang HTI pada petakilan gaungkan khilafah. Terkesan heroik dan islami, padahal di balik itu semua ada motif politik yang meresahkan. HTI selalu berusaha membungkus propaganda dengan retorika, tetapi sebenarnya mereka tengah memainkan proyek politik dengan Islam sebagai alat legitimasi. Karena itu, penting untuk membuka fakta bahwa HTI tak memiliki blueprint yang jelas tentang lanskap sistem khilafah yang mereka propagandakan setiap waktu.
Coba tanyakan sejumlah topik yang tajam pada aktivis HTI: Bagaimana khilafah mereka akan mengelola perbedaan mazhab dan kultur di dunia Islam? Bagaimana sistem ekonomi mereka akan mengatasi ketimpangan global dan melawan arus internasional? Bagaimana khilafah akan berfungsi dalam tatanan dunia yang diatur hukum internasional, mengalienasi diri? Pasti jawaban mereka sebatas retorika kosong yang semakin mengungkap ketidakberdasaran khilafah HTI itu sendiri.
Terakhir, untuk mengonter spirit petakilan HTI di bulan Rajab ini mempropagandakan khilafah, coba minta mereka solusi konkret atas masalah umat. Mereka akan bingung. Padahal, Islam selalu menawarkan solusi riil melalui nilai universal seperti keadilan, ukhuah, dan kolaborasi demi kemaslahatan. Itulah prinsip primordial pemerintahan yang Islam ajarkan, sehingga agama yang dibahwa Nabi Saw. itu tidak memerlukan sistem “khilafah ala HTI” yang mengada-ada. []