26.1 C
Jakarta
Array

HT adalah Neo-Khawarij

Artikel Trending

HT adalah Neo-Khawarij
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Cirebon. Hizbut Tahrir (HT) memiliki beberapa irisan dengan Khawarij. Hal tersebut disampaikan oleh Muhammad Sofi Mubarok, mengutip makalah yang ditulis oleh Syamsul Rijal yang ditulis di tahun 2010, pada diskusi publik yang digelar Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Astanajapura pada Jumat (6/10) di Kampus II An-Nidzomiyah Kidul, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon.

“Ternyata, Hizbut Tahrir itu memiliki arsiran, memiliki anatomi yang hampir serupa dengan khawarij, sebagai organisasi ekstrim yang pertama kali muncul di dunia Islam,” katanya.

Kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan, bahwa kemiripan pertama terletak pada posisi Hizbut Tahrir yang selalu menempatkan diri pada pihak oposisi. “Kemiripannya adalah bahwa organisasi ini memiliki apa yang dikatakan oposisionalism,” ujarnya.

“Jadi ketika Hizbut Tahrir itu berdiri sebagai sebuah organisasi dan berdiri sebagai sebuah harokah, gerakan, yang selalu ditampilkan oleh Hizbut Tahrir adalah gerakan oposisinya, perlawanan,” lanjut pria asal Cirebon itu.

Bedanya, lawan Khawarij adalah umat Islam, sementara lawan HT adalah hegemoni Barat. “Hanya saja berbeda dengan Khawarij, kalau saat itu Khawarij perlawanannya dengan intern umat Islam, yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir itu perlawanan terhadap hegemoni Barat,” kata penulis buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah itu.

Orang Islam saat ini banyak meyakini dan menggunakan pemikiran Barat, seperti nasionalisme, perbankan, dan perundang-undangan.

Tenaga ahli Kementerian Agama itu memberi contoh. GP Ansor sebagai suatu organisasi pemuda itu juga dianggap sebagai institusi yang mesti dilawan. “Ansor diperangi karena dianggap terpengaruh dengan pemikiran barat,” jelasnya.

Menurut Sofi, HT memerangi pemikirannya, bukan individunya. “Yang diperangi bukan individu, melainkan pemikiran.”

Irisan kedua terletak pada penolakannya terhadap tafsiran. “Yang kedua adalah menolak hermeneutik, menolak penafsiran”

Hibut Tahrir tidak menggunakan konstruk ushul fikih, takwil, dan maqasid syariah dalam pemikirannya. “Mereka menggunakan sisi dzohiriyahnya nas,” katanya.

“Mereka tidak mengerti istilah interkoneksitas Al-Quran, Al-Quran yufassiruhu ba’dluhu ba’dlo,” lanjutnya.

Sementara itu, poin irisan ketiga adalah fanatisme agama yang sangat kuat.“Yang ketiga adalah fanatisme agama yang kuat.”

Menurut alumni Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, itu, beragama boleh fanatik, tetapi tidak juga dengan menutup ruang dialog.

“Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap pandangan agamanya. Berbeda dengan Hizbut Tahrir yang taklid buta dengan pandangan para pendirinya. Pandangan mereka tidak pernah keluar dari kitab referensinya saja, yakni al-kutub al-mutabannat. Terutama karyanya Taqiyuddin Al-Nabhani dan Abdul Qodir Zallum,” jelasnya.

Syakirnf

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru