26.1 C
Jakarta
Array

Hoax, Minat Baca dan Clicking Monkey

Artikel Trending

Hoax, Minat Baca dan Clicking Monkey
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setidaknya ada dua hal yang harus diwaspadai di dunia maya saat ini, yaitu berkata bohong (Hoax) dan ujaran dengan kebencian (hate speech). Dalam kasus Hoax, hal yang paling berbahaya adalah ketika informasi yang tidak benar menjadi alat pemecah belah keragaman masyarakat Indonesia. Hoax menjadi isu hangat saat ini ketika oknum tertentu memanfaatkan melimpahnya arus informasi untuk menyebarkan kebohongan, kebencian, bahkan fitnah di dunia maya.

Berita hoax ini pun makin meningkat karena masyarakat kita kehilangan tradisi tabayyun atau mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Hal ini ditambah dengan fakta bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Berdasarkan hasil survei Unesco pada tahun 2011, tingkat minat baca masyarakat hanya 0,001. Hal ini berarti hanya ada satu dari seribu orang yang memiliki minat serius dalam membaca.

Kajian lainnya dari Central Connecticut State University pada  tahun 2016 mengenai World’s Most Literate Nations, dimana tingkat literasi masyarakat Indoensia berada di urutan 60 dari 61 negara. Indonesia hanya berada satu tingkat di atas Botswana, negara kecil di Benua Afrika yang berpenduduk 2,1 juta jiwa.

Meskipun minat baca masyarakat Indonesia rendah tetapi kecerewetan masyarakat di media sosial merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Sepanjang 2016 lalu jumlah kicauan pengguna Twitter Indonesia mencapai 4,1 miliar, hal ini tentunya akan lebih besar jika dijumlahkan dengan postingan sosial media lainnya. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 jumlah pengguna internet Indonesia sebesar 132,7 juta jiwa atau 51,1% dari total penduduk Indonesia.

Rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia ditambah dengan tingginya angka pengguna sosial media merupakan alasan utama suburnya berita hoax di negeri ini. Mengutip dari seorang esais, Zen RS. “Bahwa Yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah: meningkatnya minat berkomentar.”

Hal inilah yang terjadi saat ini. Kita begitu cerewet di sosial media, membagikan dengan sukarela informasi-informasi yang bombastis agar dianggap update perkembangan dunia, tapi sayangnya informasi yang dibagikan adalah informasi yang sesat, salah, atau bahkan berisi fitnah.

Hal ini merupakan dampak nyata perkembangan dunia internet yang begitu praktis dan cepat. Sebagai contoh, dulu untuk melakukan riset, seseorang perlu membaca banyak buku dan menghabiskan waktu lama di perpustakaan mencari referensi yang tepat. Proses memahami, menganalisa, dan menelaah sebuah informasi pada masa lalu tanpa bantuan mesin pencari, terbukti mampu mengembangkan daya pikir kritis dan sikap tidak mudah percaya akan satu informasi yang masuk.

Namun ketika teknologi dan internet hadir, maka proses menyaring dan mengolah informasi tadi menjadi semakin mudah. Manusia tidak lagi berpikir kritis dan mengandalkan sepenuhnya pada bantuan teknologi. Kemudahan ini kadangkala menjadikan pola pikir kita menjadi tumpul dan mengalami ketergantungan yang besar terhadap internet dalam upaya memahami suatu masalah.

Kurang mampunya masyarakat kita dalam memilah dan memilih informasi yang benar, maka melahirkan para penyebar berita hoax yang terjadi saat ini. Merekalah yang disebut  the clicking monkeys.

Sebutan the clicking monkeys ini dipopulerkan oleh mantan Pemimpin redaksi Tempo.Co, Daru Priambodo. The clicking monkeys menurutnya adalah orang yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk mem-broadcast hoax ke sana-kemari, me-retweet, atau mem-posting ulang di media sosial. Mereka seperti kumpulan monyet riuh saling melempar buah busuk di hutan. Agar tidak ketahuan lugu, biasanya mereka menambahkan kata seperti: “Apa iya benar info ini?” atau “Saya hanya retweet lhoo.”

Para clicking monkeys ini sama merepotkannya dengan info palsu tadi. Berkat merekalah info makin tersebar. Makin menyebar hoax itu, kian “seolah benar”. Anehnya, para monkey ini tak lagi antusias menyebarkan saat info yang benar muncul. Persis monkey, kalau buah di tangan tidak busuk, ngapain dilempar-lempar ke sana-kemari, mending dimakan sendiri.

Media massa pembuat hoax dan Buzzer bukanlah penyebab utama suburnya berita hoax di dunia maya. Terkadang tanpa disadari kitalah ladang lembab tersebut, kitalah yang membuat berita hoax itu semakin viral dan tersebar luas. Secara tidak langsung, melalui tombol share yang kita tekan tanpa memeriksa isi informasi tersebut benar atau tidak, kita telah membagikan kebohongan, memberikan informasi yang tidak benar kepada teman dan kerabat di dunia maya.

Maka dari itu untuk menghindari berita hoax ini, maka perlu kiranya untuk menumbuhkan sikap skeptis terhadap seluruh informasi yang masuk ke dalam pikiran kita. Baik itu yang berasal dari jaringan berita ternama maupun portal berita dadakan. Dengan sikap skeptis ini, maka akan tumbuh keraguan. Sikap ragu inilah yang membuat kita untuk tidak mudah percaya atas informasi yang disajikan, menjadikan diri kita untuk kembali menanyakan kebenaran informasi tersebut dan mencari informasi lebih mendalam melalui berbagai sumber.

Itulah kunci untuk tidak menjadi ‘monyet’ yang latah. Terkadang berita hoax dibungkus dengan sangat menarik, kita terkadang berebut untuk menyebarkan berita tersebut untuk pertama kalinya. Akan tetapi ketika berita yang kita bagikan tersebut adalah hoax, maka kita sendirilah yang menjadi malu, dan semua orang akan tahu, betapa dangkalnya pengetahuan yang dimiliki.

 

Oleh: Ferry Irawan Kartasasmita, Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan, saat ini menjadi ASN di Kementerian Perhubungan.

 

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru