Harakatuna.com – Dalam kitab-kitab halaqah Hizbut Tahrir (HT) ada 3 ayat yang dijadikan dalil kewajiban menegakkan khilafah lebih tepatnya khilafah tahririyah yakni QS. Al-Maidah: 48-49 dan Al-Baqarah: 30.
Tiga ayat ini sudah ada sejak 15 abad yang lalu. Jauh sebelum HT berdiri. Tidak ada perubahan satu huruf pun. Tiga ayat ini sudah ditafsirkan oleh para mufassir dari abad pertama hijriah sampai sekarang. Untuk melihat bagaimana tafsir tentang tiga ayat ini dapat dicari di internet.
Hanya Taqiyuddin an-Nabhani yang menafsirkannya menjadi dalil kewajiban mendirikan khilafah lebih tepatnya khilafah tahririyah. Tafsir yang menjadi tafsir resmi HT sampai hari ini.
Saya bahas satu ayat saja agar tulisan ini tidak terlalu panjang, yaitu ayat 48 surat al-Maidah yang berbunyi:
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًاۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ
Di dalam kitab-kitab HT ayat ini di-crop menjadi
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ
“Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 48)
Menurut penafsiran HT, maksud dari potongan ayat tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:
- Seruan untuk Rasulullah saw juga seruan untuk umatnya.
- Menetapkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai al-hakim (penguasa dalam sebuah pemerintahan).
- Para Khalifah adalah hakim penerus Nabi saw setelah wafat.
- Sistem pemerintahan yang dipimpin para Khalifah disebut Khilafah.
- Mengangkat Khalifah hukumnya wajib.
- Mendirikan sistem Khilafah tempat Khalifah memimpin jadi wajib. (Ajhizah ad-Daulah Khilafah (Struktur Negara Khilafah), HTI Press, cet. 3, 2008, hal. 14-15, Al-Khilafah, Pustaka Fikrul Islam, cet. 2, 2024, hlm. 52-53).
Penafsiran HT ini merupakan penafsiran baru yang belum pernah ada sebelumnya di dalam kitab-kitab tafsir mu’tabarah. Mengapa demikian? Mengapa penafsiran HT berbeda dengan pemahaman para mufassir? Di mana letak permasalahannya?
Masalahnya HT tidak mengembalikan maksud dari penggalan ayat ke dalam konteks ayat secara keseluruhan. Konteks ayat secara keseluruhan membicarakan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah, bukan sebagai kepala negara dan pemerintahan. Hal ini ditunjukkan oleh kalimat pertama di awal ayat:
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
Tentu saja seseorang yang diturunkan kitab kepadanya oleh Allah swt adalah seorang yang berkedudukan sebagai Nabi dan Rasul, bukan kepala negara dan pemerintahan.
Andaikata kitab Allah swt diturunkan kepada seorang yang berkedudukan sebagai kepala negara dan pemerintahan maka Fir’aun, Namrudz, Abu Jahal, dan Abu Lahab layak mendapatkannya.
Benar bahwa Muhammad saw menjadi hakim dalam memutuskan suatu perkara, akan tetapi hakim dalam kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul Allah, bukan hakim dalam arti kepala negara dan pemerintahan.
Hal ini dipertegas oleh asbabun nuzul ayat. Mengutip tulisan Al-Habib Prof. Dr. K.H. R. Shohibul Faroji Azmatkhan, dalam kitab tafsir karya Al-Wahidi disebutkan:
قيل في سبب نزولها، أنَّ رجل يهوديًا زنا بامرأة يهودية، فطلبوا التحاكم لرسول الله -صلى الله عله وسلم لأنَّه بعث بالتخفيف في الشريعة، إذ أنَّ الرجم كان حدًا في التوراة، فحكم فيهم بما هو موجودًا عندهم في التوراة.
“Disebutkan bahwa asbabun nuzul surat Al Maidah ayat 48 adalah bahwa seorang laki-laki Yahudi melakukan zina dengan perempuan Yahudi. Lalu kerabatnya minta keputusan dari Rasulullah, karena tahu kalau Rasulullah biasanya menghukum dengan ringan. Sebab hukuman zina muhshan dalam kitab Taurat harus dirajam. Namun ternyata Rasulullah juga menghukumi mereka dengan rajam sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Taurat”.
Hubungan Muhammad saw dengan kaum Yahudi adalah hubungan antara kepala negara dan pemerintahan dengan warga negara berdasarkan Piagam Madinah. Pasal 25 Piagam Madinah memberi kebebasan beragama kepada kaum Yahudi. Dalam hukum agama Yahudi pezina mukhshan dihukum rajam.
Jika berdasarkan Piagam Madinah yang merupakan hukum negara, maka Yahudi pezina dipastikan dihukum rajam. Guna menghindari hal tersebut, Yahudi pezina meminta putusan hukum kepada Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul dengan harapan ada putusan lain selain rajam.
Akan tetapi Nabi Muhammad saw tetap menghukum rajam berdasarkan perintah Allah swt. Putusan hukum yang diberikan Muhammad saw dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul, bukan sebagai kepala negara dan pemerintahan.
Jadi, berdasarkan konteks ayat secara utuh dan asbabun nuzulnya, tafsir HT tentang kedudukan Muhammad saw sebagai hakim dalam pengertian sebagai kepala negara dan pemerintahan adalah keliru. Dengan demikian penafsiran HT tentang QS. Al-Maidah: 48 tidak dapat dijadikan dalil untuk mendirikan khilafah, lebih tepatnya khilafah tahririyah.