28 C
Jakarta
Array

Hindari Kekerasan, Wujudkan Perdamaian

Artikel Trending

Hindari Kekerasan, Wujudkan Perdamaian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kekerasan dengan dalih Agama Islam masih ada, dan terjadi di Indonesia. Label kafir, sesat, sampai tindakan yang menjurus pengrusakan pada sejumlah fasilitas publik merupakan wujud perilaku kekerasan dengan dalih agama. Tentu kerugian material sampai menghilangkan nyawa manusia tidak bisa dihindari. Uniknya, laku seperti itu masih ada saja yang mau mengikuti, sekaligus mengakui sebagai pemahaman otentik dan mengandung kebenaran dibanding pemahaman lainnya.

Padahal Agama Islam yang diturunkan dari masa Nabi Muhammad sampai hari ini mengalami berbagai macam perkembangan. Mulai pengikutnya, pemikiran, sampai jangkauan wilayah Agama Islam juga berkembang. Tidak menutup kemungkinan, bahwa perkembangan ini melahirkan perbedaan pemahaman antar manusia lintas wilayah dan lintas generasi. Saya rasa perbedaan semacam ini niscaya adanya.

Sejarah mencatat perbedaan di Agama Islam mulai muncul setelah adanya arbitrase antara Syaidina Ali dan Muawiyah saat Perang Shiffin. Sebagian pengikut Syaidina Ali yang tidak sepakat dengan arbitrase, kemudian membentuk kelompok sendiri dikenal dengan nama Khawarij. Ketiga kelompok ini, menurut Aksin Wijaya di bukunya ‘Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia; Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan’, memiliki penerus yang mewarisi dan memperjuangkan pemahamannya masing-masing dalam beberapa tahun terakhir.

Khawarij dan Muawiyah pahamnya hari ini banyak diserap oleh Wahhabi dan Islam Islamisme. Ciri utama kedua kelompok ini sering melakukan kekerasan, baik sesama penganut Agama Islam sendiri maupun kepada penganut agama lainnya. Kelompok ini merasa bahwa tindak kekerasan yang mereka lakukan telah mendapat restu dari Maha Pencipta.  Sah untuk dialamatkan pada siapapun yang berani menentang, dan berbeda pemahaman dengan kelompoknya (hlm. 2). Dihujat, didebat, bahkan sampai dilenyapkan nyawanya menjadi wujud dari laku kekerasan yang dimaksud.

Di sisi lain, laku kekerasan seperti ini memiliki resiko yang cukup besar jika terus menerus diterapkan di Indonesia. Mengingat banyak sekali keragaman yang tumbuh subur. Jika kekerasan dibiarkan, tidak bisa dipungkiri akan melahirkan konflik, pertikaian, bahkan perpecahan akan terus terjadi tanpa bisa dikendalikan. Bahwa Agama Islam mayoritas, itu memang iya. Namun apakah dengan menjadi mayoritas lantas sah menyingkirkan minoritas yang beda pemahaman? Saya rasa tidak. Oleh karena itu Agama Islam dengan corak pluralis sangat diperlukan ditengah ragam perbedaan.

Buku ini menitikberatkan pada tokoh-tokoh yang menjadi panutan dalam tiap kelompok, baik Wahhabi, Islam Islamisme, maupun Islam Pluralis. Menurut Aksin Wijaya, tiap-tiap kelompok memiliki tokoh sebagai inspirator dan simbol gerakan (hlm. 5). Tokoh-tokoh ini yang merumuskan, membukukan, dan membumikan paham Agama Islam sesuai dengan coraknya. Sehingga pada masa tertentu, pahamnya ada yang mau mengkaji, mengikuti, hingga mengamalkan di tiap gerak langkahnya.

Wahhabi diwakili oleh Abdullah bin Abdul Wahab (1703-1792 M). Ia merupakan tokoh sekaligus pendiri Wahhabi. Ia memiliki paham kembali pada ajaran Islam yang otentik. Oleh karena itu, apapun yang datang dari Barat harus ditolak. Selain itu, ritual yang dilaksanakan oleh umat Islam hari ini perlu dibersihkan untuk menjaga kemurnian Agama Islam. Kekerasan dan perang dipilih untuk merealisasikan tujuannya itu.

Sedangkan paham Islam Islamisme diwakili oleh pemikiran Abul A’la al-Maududi (1903-1979 M) dan Sayyid Qutb (1906-1966 M). Agama Islam menurut paham kedua ini tidak cukup hanya didaras dan dikaji, melainkan harus diamalkan di kehidupan nyata. Orientasi dan cara yang digunakan hampir sama dengan paham Wahhabi. Menyingkirkan mereka yang berbeda paham. Kurang lebih demikian.

Meskipun antara Wahhabi dan Islam Islamisme memiliki banyak kesamaan, tapi dalam parktik menurut saya ada titik perbedaan. Saya rasa Wahhabi lebih tegas, jika tidak sepaham ya harus dilawan. Sedangkan Islam Islamisme melihat peluang terlebih dahulu. Jika dirasa kepentingannya aman atau malah diuntungkan, maka mendukung jadi pilihan mereka, begitupun sebaliknya. Dalam konteks Indonesia, misalnya PKS. Menolak sekaligus menggunakan demokrasi sebagai tunggangan untuk mewujudkan tujuannya.

Adapun Islam Pluralis diwakili oleh Sa’id Al-Asymawi, Muhammad Abu al-Qasim Haj Hammad, dan Muhammad Syahrur. Ketiganya memiliki pemahaman bahwa Agama Islam diturunkan bukan sebagai legitimasi perang, kekerasan, maupun politik, melainkan sebagai rahmat bagi manusia dan semesta. Bahwa dakwah itu merupakan keharusan memang iya. Tapi jalan berdakwah harus lebih santun, tidak membabat habis siapapun yang tidak sejalan dengan paham yang diusung. Sebab perbedaan juga bagian dari rahmat itu sendiri.

Agama Islam dengan paham pluralis lebih sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia hari ini. Sifatnya yang fleksibel, adaptif, dan mengedepankan kemanusiaan membuat wajah Agama Islam tidak lagi seram dan menakutkan, seperti paham yang diusung oleh Wahhabi dan Islam Islamisme. Selain itu, paham pluralis juga turut berkontribusi menjaga keharmonisan dan kerukunan (hlm. 185) di Indonesia. Tidak hanya sopan pada sesama penganut Agama Islam, namun juga santun terhadap pemeluk agama lainnya. Kira-kira demikian.

Selain berbeda karakter dan sifat, solusi yang diajukan oleh Islam Pluralis dengan Wahhabi dan Islam Islamisme juga berbeda. Semua problem -menurut Wahhabi dan Islam Islamisme- solusinya dengan mendirikan negara yang menerapkan syariat Agama Islam atau khilafah, dengan begitu masalah bisa tuntas. Padahal saya rasa belum pasti, bisa jadi malah muncul masalah baru. Berbeda dengan Islam Pluralis yang lebih adaptif untuk memberikan solusi dari tiap masalah. Tidak harus mendirikan khilafah, namun dilihat dahulu kadar dari problemnya, kemudian solusi dicari. Meskipun sumber solusi ada pada Al-Qur’an dan Hadits, tapi juga harus dikontekstualisasikan terlebih dahulu.

Terakhir, mengutip kata pengantar di buku ini dari Moch. Nur Ichwan bahwa perdamaian merupakan prinsip ajaran dalam Agama Islam. Caranya dengan mengedepankan kasih dan sayang. Oleh karena itu, mari belajar menyanyangi, tidak hanya pada manusia, tapi juga pada negara dan semesta. Demikian.

Judul               : Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia; Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan

Penulis             : Aksin Wijaya

Penerbit           : MIZAN

Cetakan           : cetakan I, 2018

Tebal               : xxx +262 Halaman

ISBN               : 978-602-441-067-4

*Ahmad Sugeng Riady, Mahasiswa Aktif Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru