31 C
Jakarta
Array

Hikayat Qurban, Dari Masa Adam Hingga Ibrahim AS

Artikel Trending

Hikayat Qurban, Dari Masa Adam Hingga Ibrahim AS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jazirah arab kala itu tanah luas yang gersang, tak satupun makhluk yang mampu bertahan baik hewan dan tumbuhan, pun juga manusia. Tak ada mata air maka tak ada penghidupan selain itu gurun yang dikala siang panasnya kelewatan pasir dan kerikil tak hentinya disinari matahari belum lagi angin yang tak terbendung bukit bukit ketika malam cuaca dingin sangat menggigit.

Serasa tak akan ada satupun makhluk yang mampu hidup disana, secara perlahan akan mati kehausan, kepanasan, atau kedinginan. Namun diantara hamparan pasir yang luas itu di sekitar lembah ada kehidupan manusia. Di ujung sebelah timur, terdapat kerajaan Babilonia, Asyur, dan Persia. Di sebelah utara terdapat pula kerajaan Bangsa Het, Tadmur, dan Romawi. Begitupun di sebelah barat ada wilayah Mesir, Libo, dan kartago. (Baca: Sirah Nabawi).

Kerajaan demi kerajaan itu silih berganti tak satupun mampu bertahan dan abadi. Sedangkan di tanah itulah Allah SWT berkehendak mengwujudkan pagelaran pentas drama besar yang sangat memukau, jauh dari jangkauan akal, fikiran manusia biasa. Kecuali dengan iman.

Terlihat jauh disana, dari sebelah utara dua unta berjalan menuju hamparan luas kabur pandangan kabur penglihatan fatamorgana menari-nari didepan sejauh mata memandang. Tampaklah seorang lelaki dan seorang perempuan berjalan beriringan didekapnya banyi kecil yang masih disusui. Ia adalah Abul ambiya’ Nabi Ibrahim As bersama istri keduanya Hajar yang dipangkunya bayi kecil itu anaknya bernama Ismail.Mereka bertiga dari negeri Palestina meneuju negeri tanpa penghuni disana. Kemudian bayi yang dielu-elukan kelahirannya itu ditinggal begitu saja dengan ibunya, di gurun gersang yang tak satu pun makhluk mampu bertahan.

Siapa yang rela meninggalkan anak istri yang masih sayang-sayang nya di tengah gurun tak berpenghuni, kalau bukan karena Tuhannya Ibrahim tidak akan melakukan itu, seperti pertanyaan yang di sampaikan Hajar sebelum Ibrahim beranjak pulang; “Apakah Allah yang memerintahmu wahai Ibrahim?” Nabi Ibrahim AS menjawab, “Iya, benar”. kemudan Hajar berucap: “Jika demikian, Allah tidak akan menelantarkan kami”. (Baca: HR. Bukhari, 3364).

Keajaiban demi keajaiban terjadi diantara Ibu Hajar dan Bayi Ismail, ketika itu Hajar panik bolak bali berlari dari bukit shofah dan bukit marwah mencari mata air untuk melepas dahaga bayi dan dirinya, Ismail kecil menangis mengentakan kakinya kebumi, dengan kuasa Allah mata air yang dicari memancar dari hentakan bayi ismail, yang sekarang bernama zam-zam. Jangankan kematian, haus dan lapar tak sedikitpun menghapiri mereka, sehingga dengan perlahan mata air tersebut memanggil suku badui jurhum bermukim disana, inilah awal dari sebuah peradaban.

Ibrahim sewaktu-waktu datang menjenguk keluarganya, suatu ketika dia menuturkan mimpi pada Ismail yang masih belia, nampak imut dan asyik diajak bermain jika hal itu diibaratkan pada usia anak saat ini: “…, Hai anakku, sesungguhnya aku melihat melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” (Baca: QS. Ash-Shaffat: 102).

Apa jawaban Ismail?, pada surah dan ayat yang sama Allah mengabadikan dalam al-Qur’an: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu”.

Sejak kecil Allah menuntun Ismail dalam Rihlah aqidah bapaknya Ibrahim, sehingga menjadikannya Cinta Makhluk kepada Sang Khalik melibihi dari sekadar Cinta Ayah pada anaknya, Cinta ayah pada istrinya, begitu pula Cinta anak pada Kedua orang tuanya dan sebaliknya. Keluarga beriman ini mempertontonkan bahwa sebesar-besarnya cinta kita kepada makhluk, tak akan pernah mampu menandingi sang pemilik Cinta Allah SWT.

Akhirnya tubuh Ismail direbahkan di tanah, wajahnya dihadapkan ketanah karena Ibrahin enggan untuk melihat anak semata wayangnya disembelih oleh tangan dan pedangnya sendiri yang sangat tajam itu, tatkala ibrahim mengayunkan tangannya yang memegang pedang, untuk segera melaksanakan perintah Allah SWT.

Ritual ini Allah abadikan dengan ayat: فلما أسلما “Tatkala keduanya telah berserah diri…” seperti inilah makna Islam yang sebenarnya, memberikan semua yang dimiliki hingga tak tersisah dalam diri, termasuk yang paling dicintai.

Berakhirlah ujian besar yang diberikan kepada Ibrahim serta keluarganya, Dan Allah menebus pengorbanan Ismail dengan menyembelih seekor kambing besar.

Maka hari itu dijadikan hari raya bagi orang Islam yang belum disyariatkan sebelumnya, hari raya yang mengingatkan kejadian besar sebuah hakikat kepasrahan yang dipersembahkan Ibrahim dan Puteranya kepada Allah SWT. (Baca: Nabi-Nabi Allah).

Sebenarnya tradisi qurban sudah lama, sejak masa Nabi Adam As. Ketika manusia pertama di dunia tersebut diturunkan oleh Allah SWT kemuka bumi dengan istrinya Hawa karena melakukan pembampangan di surga, antara barat dan timur Adam dan Hawa terpisah jauh kemudia Allah pertemukan kembali mereka, sehingga menjalin kasih dan cinta.

Allah karuniai mereka dalam setiap kandungannya lahirlah sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan, begitu pula seterusnya.

Sehingga lahirlah Qabil dan saudari perempuannya, kemudian Habil dan saudari perempuannya. Pernikahan kala itu disyariatkan dengan tidak menikahi kembarannya sebagai awal dari peradaban di dunia. Namun Qabil menentang keputusan itu, Qabil menginginkan calon istri Habil (adeknya) sehingga mereka mulai berselisih.

Nabi Adam As, sebagai Nabi Allah dan bapak dari keduanya meminta mereka untuk mempersembahkan qurban kepada Allah SWT sebagai bukti diterimanya qurban tersebut akan dilalap api dari langit. Barang siapa qurbannya yang diterima maka dialah pemenangnya.

Qabil adalah seorang petani berbagai macam buah dan biji, sedangkan adiknya Habil seorang pemburu dan pengembala kambing. Ketika hendak mempersembahkan qurban hati Qabil berbisik untuk memilih hasil panen yang buruk. “Kalau mimang api yang akan memakan qurbanku, untuk apa mengurbankan milikku yang terbaik?”. Ungkap Qabil sendiri.

Sedangkan adiknya Habil berpikir lain, iya akan mempersembahkan hasil jerih payahnya yang terbaik bagi Tuhan penciptanya seekor domba yang baik, gemuk, dan sehat. Kemudian keduanya meletakan qurban masing-masing keatas bukit.

Apa yang terjadi!, ternyata Api yang Allah utus melahap qurban Habil, dan membiarkan begitu saja qurban Qabil.
Tak berselang lama api amarah pun bergejolak dalam dada Qabil yang merasa dengki, cemburu, dan iri terhadap Habil hingga maut merenggut nyawah adik yang ditikam kakak kandungnya. Itulah pertumpahan darah yang terjadi peratama kali dimuka bumi ini, ini merupakan kesalahan kedua dalam catatan manusia setelah pembangkangan di surga, hingga saat ini. Harta, tahta, dan wanita menjadi pemicu perselisihan hingga menumpahkan darah.

Pada hakikatnya Allah akan menguji makhluknya dengan kesukaannya, termasuk juga perhiasaan dunia harta dan anak cucunya, sebagai tolak ukur sejauh mana kecintaan makhluk tersebut pada Tuhannya. Allah Maha Kaya tidak membutuhkan apapun dari semesta ini. Dan cinta tersebut diukur dari niat dan kualitas serta kadar keimananya. Allahu ‘alam…!

*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Al-Khairat Pamekasan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru