28 C
Jakarta
Array

Hijrah Yang Menyelamatkan Nyawa

Artikel Trending

Hijrah Yang Menyelamatkan Nyawa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dari sebuah gua yang sepi, senyap dan pengap, Nabi tampil dengan senyum dan percaya diri. Tuhan melalui Jibril telah membisikinya pesan-pesan profetik yang harus disampaikan kepada dunia yang tengah sekarat dan dalam kegelapan yang pekat. Tuhan memproklamirkannya sebagai kekasih, Nabi dan utusan-Nya. Muhammad bin Abdillah sendirian, melangkah setapak demi setapak tetapi pasti dan tanpa gentar, meski pedang Umar yang tajam bakal menebas lehernya. Ia menghadapi “Jagoan” Makkah itu dengan senyum. Tak lama kemudian, ia bertekuklutut, bersimpuh di hadapan dan siap membelanya meski dengan mempertaruhkan nyawanya.

Tiga belas tahun lamanya Nabi Muhammad saw menawarkan gagasan profetik-humanistik. Ia menyerukan kaumnya di Makkah untuk beriman kepada Allah. “hai manusia, hanya Tuhan saja yang seharusnya kalian sembah, yang kalian agungkan, bukan yang lain”, ujarnya setiap saat. Sejumlah orang mengikuti seruannya, tetapi masih lebih banyak lagi yang menentangnya. Kehadiran Nabi dengan gagasan monoteistik itu telah mengganggu ketenangan tradisi, mengancam kekuasaan status quo. Maka penindasan demi penindasan terhadap Nabi dan pengikutnya terus berlangsung, setiap hari, setiap saat dan dengan segala cara; merayu, mengancam, teror, kekerasan fisik, sampai politik isolasi.

Menjelang tahun ketiga belas misi profetiknya, para penentang Nabi sudah kehabisan akal dan kehilangan cara untuk menghentikan gerakan dakwah Nabi. Di Dâr al-Nadwah,semacam balai sidang/musyawarah, mereka berembuk. Suara hingar-bingar, meledak-ledak penuh emosi memenuhi ruang itu. Berbagai usulan muncul. Keputusan akhir kemudian diambil: Muhammad harus dibunuh malam hari secara ramai-ramai. Jika klan Muhammad menuntut darahnya, mereka akan patungan untuk memberinya tebusan.

Jibril segera hadir di kamar Nabi dan membisikinya soal rencana pembunuhan itu. Tuhan segera mengizinkan beliau hijrah ke Yatsrîb (kini bernama Madinah). Nabi sendiri merasa begitu berat meninggalkan tanah kelahirannya itu. Tetapi nyawa manusia begitu berharga. Ia selalu memikikannya agar nyawa itu tak mati sia-sia. Ia harus meninggalkan kota itu demi keselamatan jiwa-jiwa itu. Sebelum meninggalkan rumahnya, Nabi menatap Ka’bah dan bukit-bukit di sekeliling Makkah dengan hati membiru. Ia begitu mencintai tempatnya kelahiran dan tempat bermain dan menggembala domba ketika kanak dan remaja. Dengan mata basah, beliau menyampaikan kata pamit:

“Oh, Makkah yang indah,
Aku mencintaimu seluruh
Jika saja tidak karena pendudukmu terus mengganggu,
Aku tidak akan meninggalkanmu. Pasti.

Oh, Ka’bah yang anggun,
Betapa mulianya engkau.
Jika saja tidak karena darah yang terus mengalir
Aku tidak akan ingin berpisah dengamu,
Selamanya, selamanya.
Tetapi aku kini harus pergi, harus pergi
Aku harus menyelamatkan nyawa manusia”.

Langit merah saga beringsut menjadi temaram lalu gulita. Abu Bakar, teman setianya, menunggu dalam cemas di balik batu-batu di seberang rumah Nabi. Ali, anak pamannya, sudah sampai di rumah, lalu masuk ke kamar Nabi dan segera mengambil selimut yang biasa dipakai sepupunya itu. Ia diminta Nabi tidur di atas tikar-tidurnya. Dan Nabi Saw, seperti biasanya, mengambil air wudhu, shalat dan berdo’a dengan seluruh jiwa. Sementara itu, para pembunuh berpencar di semak-semak di sekeliling rumah itu. Pedang sudah diasah berjam-jam sejak siang, hingga rambut licin bisa ditebasnya, begitu tajam. Dengan satu kali “pluit” komando mereka secara serentak bangkit lalu mendobrak rumah itu dan menghunuskan pedang itu untuk ditebaskan ke tubuh nabi secara bersama-sama.

Usai shalat dan berdo’a Nabi yang mulia itu membuka pintu dan melangkah keluar. Di luar rumah, nabi tak melihat siapa-siapa, tak ada orang, sepi. Nabi menemui Abu Bakar yang seperti tak sabar, untuk selanjutnya bersama-sama menuju gunung Tsaur (Banteng). Para pembunuh begitu kecewa; “Muhammad lolos”, kata mereka.

Tiga hari kedua orang yang saling mengasihi itu berada di dalamnya. Mereka lepas dari pengejaran para pembnuh. Esoknya mereka berjalan menuju Madinah untuk bertemu dengan rakyat di sana yang sudah lama merindkan kehadirannya.
Memasuki pintu Madinah, perempuan-perempuan kota itu berbaris untuk menyambutnya dengan suka cita sambil bernyanyi dan menari riang :

“O, Purnama telah hadir di tengah kita
Dari lembah, bukit Wada
Ayo kita berterima kasih pada Tuhan

Hampir sepuluh tahun Nabi di kota yang berpendar cahaya ini. Ia rindu kembali ke kampungnya di Makkah. Ia pun pergi bersama beribu sahabatnya. Abu Sufyan, salah seorang arsitek pembunuhan Nabi bersama para pengikutnya gentar. Nabi mengerti. Kepada mereka Nabi dengan suara tenang penuh wibawa mengatakan : “Kalian bebas”.

(Kiai Husain Muhammad)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru