32.9 C
Jakarta

Hijrah Menuju Islam Kaffah: Bagaimana Anak Muda Tidak Terbius pada Pemahaman Anti NKRI?

Artikel Trending

KhazanahTelaahHijrah Menuju Islam Kaffah: Bagaimana Anak Muda Tidak Terbius pada Pemahaman Anti...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Fenomena hijrah bagi anak muda merupakan demam sosial yang membius untuk berlomba-lomba melakukan hal yang sama secara serentak. Jika hijrah adalah sebuah etos diri untuk memperbaiki kualitas hidup yang berisi dan menuju kebaikan serta perbaikan, seharusnya menjadi gerakan personal yang bisa dilakukan oleh diri sendiri, supaya tidak menjadi gerakan politis.

Namun, belakangan gerakan hijrah menjadi gerakan sosial yang mampu menghipnotis anak muda untuk terus berpacu berlomba-lomba dalam meningkatkan relasi sosial keagamaan. Apakah ini salah? Sebenarnya tulisan ini tidak ingin menjelaskan salah atau benar. Namun, dalam konteks gerakan hijrah yang berkembang pada anak muda, bagaimana kemudian, hijrah yang menjadi jalan berislam secara kaffah, tidak menjadi gerakan politis yang mendekatkan anak muda pada sikap anti NKRI, karena tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Menilik sejarah, hijrah sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw, di antaranya sahabat Umar bin Khattab yang dikenal sebagai seorang yang keras, orang yang paling menentang Islam, kemudian justru menjadi pembela Islam paling gigih. Peristiwa hijrah ini juga dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika membangun negara di Madinah dengan upaya mempersaudarakan kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Teladan kisah yang ditorehkan oleh Rasulullah Saw. menjadi sebuah peringatan dalam diri bahwa, ajaran Islam sangat menjunjung perilaku baik yang dapat mengundang kemaslahatan.

Di kalangan anak muda, gerakan hijrah menjadi gerakan sosial baru sebagai salah satu gerakan Islam yang terjadi, baik skala nasional ataupun global. Banyaknya gerakan hijrah ini, menciptakan sekat sosial keagamaan baru untuk menunjukkan cara paling islami dalam melakukan kehidupan. Gerakan hijrah di Indonesia, khususnya di kalangan anak muda bisa dilihat melalui beberapa hal, di antaranya:

Pertama, Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP), yang diinisiasi oleh La Ode Munafar. Gerakan ini merupakan upaya untuk menentang perzinahan yang rentan terjadi pada kalangan anak muda karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Gerakan ini menjadi digandrungi khususnya bagi anak muda yang sedang mengalami disorientasi identitas. Pencarian identitas diri yang dilematis, apalagi menghadapi realitas sosial yang semakin menunjukkan jauh dari Islam, diminati oleh anak muda sebagai ruang berekspresi dan ruang untuk belajar tentang Islam. Dalam gerakan ini, mengajak untuk menerapkan pergaulan antar sesama dengan menggunakan konsep Islam. Di media sosial, khususnya di instagram sudah memiliki followers sebanyak 871 ribu.

Kedua, gerakan 212 yang menjadi moral force. Aksi 212 yang menjadi gerakan bela negara dan bela tauhid, berhasil menghadirkan umat Muslim di Indonesia tanpa memandang status, kelompok, organisasi ataupun latar belakang suku dan ras lainnya.

BACA JUGA  Generasi Khilafah Adalah Perusak Bangsa

Fenomena hijrah di atas sangat tidak mengindahkan relasi sosial keagamaan yang terjadi di lingkungan kita. Adanya fenomena tersebut bisa dilihat antara selebrasi dan dehijrahisasi di tengah kesadaran geliat kesadaran Muslim untuk melaksanakan hijrah. Kondisi ini juga bisa disebut kebangkitan Islam yang mencoba untuk mengambil suara umat Islam cukup masif.

Sikap Kritis Anak Muda Dibutuhkan

Tapscott, seorang konsultan bisnis yang kerap kali berbicara tentang anak muda, mengemukakan bahwa anak muda sebagai “net generation”. Net generation ini memiliki delapan karakteristik, di antaranya: Pertama, freedom yakni kebebasan yang dimiliki di media sosial.

Kedua, customization artinya mereka adalah konsumen aktif yang mengetahui bagaimana mencari informasi yang ada di media baru dan membangun identitas lewat media baru. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yang tidak hidup di media sosial, atau baru menggunakan media sosial. Anak muda lebih mahir membangun identitas dirinya di media sosial.

Ketiga, scrutiny, artinya anak muda bersifat kritis terhadap kualitas infomrasi yang diterima. Mereka tidak segan-segan untuk mencari lebih banyak informasi yang diterima dari berbagai sumber. Keempat, integrity, artinya anak muda memiliki komitmen terhadap kejujuran, tanggung jawab, toleransi dan kesadaran dalam menggunakan media sosial.

Kelima, collaboration, artinya anak muda dalam menggunakan media sosial menciptakan jejaring sosial atau berkolaborasi dengan yang lain. Kolaborasi ini juga berlanjut pada kehidupan offline. Dalam contoh sederhana, kita bisa melihat berbagai komunitas online yang berjalan dengan sangat sempurna sesuai dengan bidang dan minatnya masing-masing. Keenam, entertainment, artinya anak muda mencari kesenangan dan hiburan di dalam media baru. Ketujuh, speed, artinya anak muda melakukan respon yang menjelaskan bahwa anak muda melakukan respon yang cepat melalui media baru. Kedelapan, innovation, artinya anak muda terus berinovasi menciptakan konten-konten baru dan ide-ide baru dalam menggunakan media teknologi komunikasi.

Berdasarkan karakter ini, maka pengetahuan agama harus dimiliki oleh anak muda dalam menghadapi realitas sosial. Selain karakter di atas, kecerdasan dan sikap kritis dalam beragama, ditambah dengan skill bermedia sosial, harus sejalan. Gerakan hijrah adalah gerakan personal yang perlu diimplementasikan untuk menciptakan kemaslahatan, kebaikan pada diri dan sekitar. Gerakan hijrah yang berupaya mengambil suara umat Muslim, kemudian menjadi gerakan politis, semata-mata adalah gerakan yang mencoba mencuri suara anak muda Muslim untuk menyongsong upaya menegakkan hukum Islam di Indonesia. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru