27.6 C
Jakarta
Array

Hijrah dari Paham Radikal

Artikel Trending

Hijrah dari Paham Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Paham radikal memang sering mengatasnamakan jihad militansi agama, jihad yang disertai modus agama mudah laku di kalangan masyarakat global, termasuk Islam yang dianggap agama paling benar. Namun, masif persepsi masyarakat bahwa Islam terafiliasi dengan tindakan radikal. Diantaranya, perbuatan intoleran, dan penuh kebencian.

Radikalisme adalah gerakan fundamentalis, skriptualis, dan tekstualis yang hanya mengatasnamakan Islam, garis Islam sempalan ini banyak muncul di pelbagai penjuru negeri di dunia, invasi gerakan kelompok esktrem yang ada di Indonesia justru menginginkan negara yang berdasarkan Pancasila agar menjadi negara Islam.

Aspirasi kelompok ekstrem tersebut tampaknya menentang kesepakatan final NU-Muhammadiyah. Bahwa, Indonesia adalah negara Pancasila yang mana penekanan dua arah Islam ini datang dari kedua Ormas. Pertama, Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Islam Nusantara. Artinya, Islam yang mengakui adanya budaya di jagat Nusantara (Islam tradisional).

Kedua, Muhammadiyah, yakni Islam yang cenderung terhadap pemurnian atau pun pembaruan Islam (tajdid) itu sendiri. Peran kedua kelompok Islam ini (NU dan Muhammadiyah) cukup berkontribusi dalam kemerdekaan negara Indonesia. Dimana model pemahaman yang dikembangkan tujuannya adalah untuk meneguhkan Islam yang penuh rahmah.

Islam yang rahmatan lil ‘alamin ini dapat mendorong Islam moderat memberikan spirit perlawanan terhadap kelompok paham radikalisme. Dalam konteks ini, radikalisme merupakan paham yang sangat luar biasa membahayakan negara. Karena mau bagaimana pun, negara tidak mungkin untuk menjadi alat penindas agama.

Peran NU & Muhammadiyah

Meskipun Indonesia didominasi masyarakat Islam, lantas tidak harus mengadopsi kelompok penyebar Islam ekstrem. Karena itu, di negara Pancasila memang masyarakatnya sudah banyak menekankan terhadap Islam yang penuh rahmah. Antara lain, menjaga persaudaraan Islam (ukhwah Islamiyah), persaudaraan sesama manusia (ukhwah basyariyah), persaudaraan sebangsa setanah air (ukhwah wathaniyah).

Paham radikal faktor awal yang menimbulkan peperangan, dan perpecahan. Bahkan, dengan bahaya laten radikalisme. Agama, dan negara bisa menjadi pecah serta dapat menghilangkan model keislaman yang cenderung enklusif (NU-Muhammadiyah). Hal ini perlu kita pikirkan bersama untuk memerangi radikalisme yang menjadi pemicu perpecahan.

Terutama NU sendiri yang sampai detik ini mempertahankan tradisi keislamannya. Yaitu, mengadopsi pendidikan tradisional alias pesantren yang di dalamnya terdapat banyak santri belajar keislaman yang lebih melekat pada tradisi yang murni lahir dari Indonesia. Dan pesantren NU sangat dikenal sebagai organisasi yang sangat kontekstual dalam mengikuti wacana-wacana keagamaan.

Dari perspektif ini, sangat jelas bahwa dengan Islam yang rahmah-moderat ini setidaknya mampu memerangi kelompok paham radikalisme, tanpa peran NU-Muhammadiyah radikalisme di Indonesia potensial akan selalu bangkit. Pandangan seperti demikian perlu kita luruskan secara sosio-kultur-historis agar tidak kerap mementingkan egonya.

Proaktif Melawan Radikalisme

Pandangan kebangsaan Muhamad Mustaqim dalam karyanya (Politik Kebangsaan Kaum Santri: 2015), menegaskan, “keberhasilan NU merepresentasikan Islam Indonesia sebagai Islam yang ramah dan toleran adalah sebuah kearifan kebangsaan. Pada titik ini, NU tidak pernah menancapkan ideologinya di kancah internasional, sebagaimana kemunculan ideologi trans-nasional yang akhir-akhir ini marak terjadi”.

Tidak lepas dari peran NU pun, Muhammadiyah juga berkomitmen memerangi kelompok ekstrem (radikalisme), terutama kalau ingin menginginkan Indonesia sebagai negara Islam Indonesia (NII). Dalam kenyataannya, paham radikaslime merupakan masalah krusial yang menghambat adanya Islam rahmatan lil ‘alamin, dan perlu kita perangi bersama-sama.

Paham Islam sempalan ini sangat tidak mudah bagi masyarakat Indonesia untuk mengubur kelompok-kelompok ekstrem yang menggunakan jihad militansi agama. Di satu sisi, pemahaman ekstrem gampang memicu perpecahan di kalangan umat beragama, khususnya bagi umat Islam sendiri yang terlalu mudah terprovokasi dengan misinya.
Di tengah jiwa nasionalisme dan agama yang amat tinggi di kalangan masyarakat NU-Muhammadiyah, tentu ini adalah suatu keniscayaan yang dapat menjadikan Islam di negeri ini sangat responsif terhadap persoalan sosial, termasuk dalam upaya mewujudkan Islam kebangsaan, dan Islam kemanusiaan. Dengan dimensi Islam yang demikian setidaknya mampu menjaga identitas keislaman Indonesia agar ikut serta dalam menganggulangi paham radikalisme.
Oleh: Hasin Abdullah, Peneliti Muda Bidang Hukum UIN Jakarta, sekaligus Alumni SMA-Tahfidz Darul Ulum Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan.

[zombify_post]

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru