26.3 C
Jakarta

Hati yang Terobati (Bagian XXXV)

Artikel Trending

KhazanahOpiniHati yang Terobati (Bagian XXXV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Stasiun demi stasiun terlewati. Pagi itu Jakarta kembali tersemai di depan mata. Bukan mimpi. Diva baru sampai di Stasiun Pasar Senen. Stasiun belum banyak berubah. Stasiun ini mengingatkan kenangan yang sudah-sudah. Kenangan bersama sosok lelaki yang raganya tertinggal di seberang sana, tapi hatinya dibawa pergi.

Hari pertama di Jakarta, inginnya istirahat di Hotel Syahida Inn. Dari stasiun menuju lokasi hotel lumayan jauh. Harus menempuh jalan sekitar satu jam, apalagi ditambah macet. Menghindari kemacetan, Diva naik Kereta Rel Listrik (KRL) dari Stasiun Pasar Senen ke Stasiun Tanah Abang. Transit sejenak di Tanah Abang, kemudian bergegas melanjutkan perjalanan ke Stasiun Pondok Ranji. Begitu sampai di Pondok Ranji perjalanan sudah hampir sampai di hotel. Tinggal naik motor pakai ojek online.

Saat kaki menginjakkan tanah Jakarta, Diva berharap perjalanan ini bisa mengobati hati yang terluka, melupakan kenangan bersama, dan membenci cinta tanpa ridha orangtua. Harapan-harapan ini nihil. Semakin perjalanan ini menjauh, ditandai stasiun demi stasiun yang terlewati, hati makin sakit nan perih menanggung luka yang menganga, kenangan yang sudah-sudah makin dekat di jiwa, bahkan cinta itu semakin tambah melekat dalam hati.

Perjalanan ini, batinnya, seakan tidak memberikan feedback sedikit pun, malah menambah masalah yang tak berujung. Bukan kebahagian melihat bangunan bersusun, meninggi, dan mencakar langit di pinggir jalan. Keramaian seakan kesunyian yang mencekam.

Di sebuah hotel Diva hanya berdiam diri sejenak setelah mengabari kepada Ummi baru saja sampai di Jakarta. Suara Ummi tidak pernah berubah. Ummi selalu dingin melihat perasaan Diva seolah masalah ini sepele. Diva tidak ingin membenci Ummi, karena murka Allah ada pada murka orangtua.

Keadaan serba sulit. Rasanya tindakan yang bodoh apabila mengikuti nafsu dan meninggalkan orangtua yang lebih awal mencintai dari kecil sampai sekarang. Tentu, mengikuti kemauan nafsu hanya akan membuat hati semakin terluka. Apakah ridha Allah selalu identik dengan ujian yang penuh tantangan yang menyakitkan? Bukankah Allah menguji hamba-Nya sesuai kadar kemampuannya? Kenapa cinta selalu menyakitkan, bukan menyenangkan? Padahal dahulu aku salah menafsirkan, cinta itu membahagiakan, batinnya.

Di tengah gejolak jiwa, Diva ingin rindu bertemu Sang Kakek yang tiba-tiba hadir dalam alam bawah sadar. Kakek itu banyak mengajarkan Diva tentang cinta. Mungkin perjumpaan dengannya akan melerai masalah. Tapi, di mana? Diva mendesis. Semua itu dahulu seakan mimpi, namun rasanya benar-benar nyata.

Tubuh yang terasa penat dilemparkan ke atas kasur empuk. Pikiran seketika rileks. Ternyata berbaring di atas kasur dapat menyegarkan pikiran yang pening. Pikiran semakin merambah ke negeri antah berantah.

Di sebuah hutan, entah tak tahu di hutan mana, seorang kakek berdiri pas lurus di depan mata. Diva terperanjat melihat sosok kakek tua. Raut mukanya tidak ada yang berubah. Bekas hitam di jidatnya tetap terlihat. Melihat raut muka Diva bercucuran keringat dingin, kakek menenangkan, “Tenang, Nak. Aku orang baik-baik, bukan penjahat.”

BACA JUGA  Urgensi Pendidikan Karakter sebagai Tameng Kontra-Radikalisme Daring

Mendengar pengakuan sang kakek, Diva kembali tenang. Kakek mulai berbicara, “Ada apa anakku?”

Sang Kakek terlihat akrab sampai memanggil Diva dengan sebutan “anak”. Diva sontak menceritakan kegusaran hatinya yang sudah berlarut-larut hingga berhari-hari. Kekek tampak tenang menyimak cerita Diva, tanpa sedikit pun memotongnya, sehingga cerita itu mengalir bak air sungai ; lurus dan berkelok.

“Nak, hidup ini tidak selamanya mulus. Penuh tantangan yang harus dilewati. Kenapa Tuhan menciptakan sesuatu berlawanan, malam-siang, barat-timur, kanan-kiri, dan atas-bawah? Karena di sana juga tercipta bahagia dan sedih.” Kakek sedikit melerai masalah yang terkesan menggunung.

Huk-huk-huk. Kakek terbatuk-batuk. Sejenak batuknya reda, kakek melanjutkan, “Mencintai itu bukan sebatas menikmati rasa manisnya, tapi siap mengecap rasa pahitnya. Mencintai bukan soal memiliki, tapi merelakan, termasukan merelakan saat kehilangan.”

Diva terdiam. Bungkam seribu bahasa.

“Maka kenapa ada sebuah pertanyaan yang menjangkit para pencinta: Jika tidak mungkin bersama, kenapa harus mencintai? Tadi kakek udah katakan, cinta itu merelakan, termasuk merelakan saat kehilangan.”

Kakek berkata tandas, pertanyaan masih bercokol dalam pikiran sehingga mendorong Diva mencurahkan segala uneg-uneg yang ada di pikiran.

“Adakah yang lebih menyakitkan daripada cinta tanpa ridha orangtua?”

“Ada.”

“Apa, Kek?” Diva terbelenggu rasa penasaran. Tidak sabar menunggu petuahnya.

“Kebencian.” Kakek menjawab singkat. Diva tidak mengerti seakan jawabannya filosofis banget.

“Maksud, Kakek?”

“Benci itu adalah penyakit hati, Nak. Semakin membenci sesuatu, samakin menyakitkan hati. Benci dapat mengotori hati yang suci. Hati yang kotor tidak dapat memantulkan cahaya kebaikan.”

Diva sejenak instropeksi. Menyadari perjalanan ini karena benci, membenci cara orangtuanya yang memberangus harapan cintanya dengan Fairuz. Selain itu, dia sering membenci keadaan yang serba menyakitkan.

Sebelum Diva terhenti dalam lamunan, kakek berpesan, “Jika kau menyukai sesuatu, cintailah, walau harapan tak seindah kenyataan. Karena kesucian hatimu, cinta itu akan indah pada waktunya. Kau tidak bakal bisa membaca garis takdir masa depanmu. Hanya Tuhan seorang yang kuasa mengatur, termasuk menentukan jodohmu. Tugas hamba sebatas berusaha mencintai, tanpa membenci.”

“Kekkk,” desisnya terperanjat dari tempat tidur. Ruangan hampa, tanpa siapa pun. Berselimut kesunyian. Diva menatap dinding dengan pandangan kosong. Pesan-pesan kakek masih membekas. Mendengar petuah kakek, sakit ini mulai terobati. Ia bergegas ke kamar mandi. Tak terasa sudah siang. Terik matahari membungkus kota Jakarta.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru