27.7 C
Jakarta
spot_img

Harmoni Dua Kutub: Islam dan Kristen dalam Bingkai Toleransi

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuHarmoni Dua Kutub: Islam dan Kristen dalam Bingkai Toleransi
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Koeksistensi Islam-Kristen, Penulis: Mun’im Sirry, Penerbit: Suka Press, Tahun: 2022, Tebal: x + 291 hlm, ISBN: 978-623-7816-66-9, Peresensi: Laila Wafiatul Alfia.

Harakatuna.com – Sebagian besar umat Islam memahami hubungan antara Islam dan agama lain, khususnya Kristen, sebagai sebuah relasi yang sarat konflik. Pandangan ini diperkuat oleh narasi sejarah yang sering kali menonjolkan ketegangan, seperti Perang Salib, yang dianggap sebagai puncak dari konfrontasi dua agama besar ini. Akibatnya, muncul asumsi bahwa sejak awal kelahirannya, Islam dan Kristen memang ditakdirkan untuk berseberangan.

Namun, benarkah narasi ini adalah satu-satunya wajah relasi Islam-Kristen? Buku Mun’im Sirry memberikan sudut pandang yang berbeda. Ia menggali data-data sejarah untuk menunjukkan sisi lain yang jarang terungkap—hubungan koeksistensi yang sebenarnya pernah tumbuh di antara keduanya.

Salah satu hal yang mengejutkan dalam buku ini adalah bagaimana Mun’im mengungkap kontribusi besar komunitas non-Muslim pada masa-masa awal pemerintahan Islam. Bertentangan dengan asumsi bahwa non-Muslim selalu menjadi oposisi, ternyata pada era imperium Islam seperti Dinasti Fatimiyah, non-Muslim memainkan peran penting dalam pemerintahan. Mereka bahkan menduduki posisi strategis sebagai wazir (menteri), melebihi jumlah yang diisi oleh kaum Muslim Isma’ili sendiri.

Fakta ini mematahkan stereotip bahwa non-Muslim tidak pernah memiliki ruang dalam struktur kekuasaan Islam. Jika pada masa itu hubungan yang harmonis dapat terjalin, mengapa di era modern ini kita masih mempersoalkan isu kepemimpinan non-Muslim? Mun’im menegaskan bahwa mempertentangkan hal tersebut tidak hanya lemah secara tekstual, tetapi juga tidak memiliki dasar sejarah yang kokoh.

Mun’im juga tidak menutup mata terhadap perbedaan teologis yang signifikan antara Islam dan Kristen, seperti pandangan tentang Yesus, doktrin Trinitas, dan konsep ketuhanan. Alih-alih mengabaikannya, Mun’im mendorong pembaca untuk memahami bahwa perbedaan ini adalah bagian dari realitas pluralisme agama.

BACA JUGA  Bersama untuk Satu Kemungkinan: Dialog Antaragama Demi Lingkungan

Penulis dengan lugas menjelaskan bahwa doktrin Trinitas dalam Kristen sering disalahpahami. Ia menekankan bahwa umat Kristen menyembah satu Tuhan, bukan tiga, sebagaimana yang kerap diasumsikan. Trinitas bukanlah Triteisme (penyembahan tiga Tuhan), dan umat Kristen sendiri menghindari perbuatan syirik sebagaimana yang dikecam dalam Al-Qur’an. Pendekatan ini menawarkan wawasan yang lebih mendalam dan meminimalisasi kesalahpahaman antarumat beragama.

Mun’im menggarisbawahi bahwa rekonsiliasi antara Islam dan Kristen hanya bisa dicapai melalui dialog yang jujur dan keterbukaan untuk saling belajar. Keragaman agama adalah fakta alamiah yang tidak bisa kita tolak, dan memahami agama lain menjadi langkah awal untuk mengikis prasangka.

Dalam pandangan Mun’im, toleransi tidak berarti menghapus perbedaan, tetapi menerima dan menghormati keberadaan perbedaan itu. Proses ini membutuhkan keberanian untuk merefleksikan ulang keyakinan pribadi, bahkan merevisi pandangan jika diperlukan. Semakin luas wawasan seseorang, semakin rendah kecenderungannya untuk melihat dunia secara sempit.

Mun’im Sirry tidak hanya menawarkan pandangan yang berani, tetapi juga membuka ruang untuk kritik ilmiah. Buku ini, meskipun dijuluki sebagai “kitab pedoman toleransi beragama,” bukanlah karya yang kebal dari evaluasi. Justru, penulis mengundang pembaca untuk mendebat isi buku ini dengan argumen yang kuat dan data yang valid, bukan dengan serangan emosional atau tuduhan tak berdasar.

Kesimpulannya, toleransi tidak akan tercapai tanpa pemahaman yang mendalam terhadap agama lain. Sebagai umat beragama, kita dituntut untuk terus belajar dan tidak malu merevisi pandangan kita. Dengan cara ini, jalan menuju koeksistensi yang damai akan semakin terbuka lebar.

Laila Wafiatul Alfia
Laila Wafiatul Alfia
Penulis kelahiran Jambi, Sumatera. Kini tinggal dan nyantri di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru