32.9 C
Jakarta

Habib yang Tidak Radikal dan Tidak ke-Arab-Arab-an

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuHabib yang Tidak Radikal dan Tidak ke-Arab-Arab-an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku:  Identitas Arab Itu Ilusi Saya Habib Saya Indonesia, Penulis: Musa Kazhim Alhabsyi, Tahun Terbit: 2022, Penerbit: Mizan, ISBN: 978-602-441-279-1, Peresensi: Muhammad Nur Faizi.

Harakatuna.com – Realitas kehidupan masa kini sedang bergerak ke zaman tribalisme, dimana status sosial seseorang, ditentukan oleh hak istimewa (previllage) ataupun garis keturunan. Gelar Habib yang menandakan representasi dari keturunan Nabi, dimunculkan untuk menggerakkan beberapa elemen, baik politik, sosial, ekonomi, dan tidak terkecuali agama. Dalam dakwah Islam, gelar Habib mengambil peran sentral untuk memimpin sekaligus menggerakkan massa. Kesan kharismatik yang dimunculkan, dapat dengan mudah menarik perhatian masyarakat akan gerakan-gerakan yang dilakukan.

Meskipun begitu, ada beberapa tokoh yang menihilkan gelar Habib dalam konsensus dakwahnya. Sebut saja tokoh ternama seperti, Muhammad Quraish Shihab yang memilih tidak menyandang gelar Habib. Selain itu, ada Musa Kazhim Alhabsyi pengarang buku Identitas Arab Itu Ilusi Saya Habib Saya Indonesia yang mempunyai darah Alawiyin, namun tidak menggunakannya. Dalam buku Identitas Arab Itu Ilusi Saya Habib Saya Indonesia, beliau memberikan pemaknaan yang mendalam tentang gelar Habib.

Dalam buku tersebut, Musa Kazhim Alhabsyi bercerita bahwa gelar Habib akan lebih indah jika disandang oleh mereka yang mempunyai darah Alawiyin dan mempunyai tingkat keilmuan yang mendalam, baik dalam bidang agama, akhlak, politik, dan membawa misi kerasulan. Secara bahasa, Habib diartikan sebagai “kekasih atau yang dikasihi” (hal. 26). Secara historis, gelar tersebut semula disandang oleh ulama awal yang berasal dari Hadhramaut, Yaman dan masih ada hubungan darah dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah, dan Nabi Muhammad saw.

Begiitu luasnya pemaknaan Habib, membuat sebagian kelompok menghilangkan gelar tersebut dari status sosialnya. Menilik sejarah Islamisasi Nusantara, terdapat golongan yang berada di jalur keturunan Ahmad bin Isa memilih meninggalkan gelar tersebut, dan memilih berbaur dengan masyarakat (hal. 45).

Tidak ada perasaan ingin diunggulkan atau ingin dihormati sebab gelar habib yang ada pada mereka. Namun pada kenyataannya, masyarakat sendirilah yang memberikan gelar kehormatan pada mereka dengan sebutan Wali, Sunan, Sultan, dan penyebutan lain yang menandakan kedalaman keagamaan mereka.

Kontribusi mereka, Walisongo, dalam mengislamkan Nusantara, membawa pengaruh besar di masyarakat. Dampak positif tidak hanya dirasakan pada bidang keagamaan, namun juga pada bidang budaya, perekonomian, perpolitikan, dan bidang sosial.

Contoh paling nyata dalam bidang sosial adalah anjuran saling menghormati, yang diwujudkan oleh Sunan Kudus dengan tidak menyembelih sapi, untuk menghormati keyakinan masyarakat zaman dahulu yang menempatkan sapi sebagai hewan suci (hal. 54). Kemudian ada Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang membentuk kesenian untuk memperbaiki akhlak dan tuntunan sesuai kaidah Islam.

BACA JUGA  Penanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana

Dengan pengaruh yang begitu besar, mereka diberi gelar kehormatan sebagai rasa terima kasih masyarakat atas kontribusi yang telah diberikan. Pun dengan menihilkan gelar Habib, masyarakat masih tetap percaya dan mendukung setiap program dakwah yang dilakukan. Maka pada puncaknya, Islam berhasil menarik lebih banyak masyarakat dan menjadi agama mayoritas di Nusantara.

Berbalik dengan masa Islamisasi Nusantara, pola dakwah masa modern lebih mengedepankan sisi teoritik. Akibatnya gelar Habib menjamur sebagai pentasbihan pemimpin agama. Namun permasalahannya, gelar tersebut dipakai serampangan dan banyak disalahgunakan, hanya untuk meraih kepentingan politik, kehormatan, dan berbagai keuntungan lain yang dapat diraih secara instan. Maka tidak heran, jika gejolak keagamaan makin bertambah dengan penjamuran labelisasi ini.

Abad 19 adalah awal dimana gelar Habib menjamur di Nusantara. Penjamuran ini tidak terjadi secara tiba-tiba, namun dimulai dari budaya Arab yang perlahan masuk mempengaruhi adat sosial masyarakat Nusantara, mulai dari bentuk pakaian, corak kebudayaan, makanan, dan komunitas, semuanya menjadikan sudut pandang baru dalam realitas keagamaan di Indonesia (hal 68).

Pada puncaknya, muncul sebagian kelompok yang mendeklarasikan dirinya sebagai Habib dan memimpin pandangan umat soal bagaimana keagamaan di Indonesia sebaiknya dijalankan.

Karena berbagai keuntungan sosial yang didapatkan oleh seseorang yang bergelar Habib, maka sebagian kelompok yang mempunyai garis keturunan dari Hadramaut ramai mengkultuskan dirinya sebagai Habib. Tidak peduli soal penguasaan ilmu ataupun amanah menyampaikan risalah dakwah, mereka lantang berbicara dan menimbulkan kegaduhan dimana-mana.

Oleh karena itu, buku karangan Musa Kazhim Alhabsyi ingin mengajak kita untuk memahami klasifikasi gelar Habib secara luas. Bagaimana gelar tersebut tercipta, siapa saja yang berhak menyandang gelar tersebut, dan apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang terpilih menggunakan gelar Habib.

Kesemuanya pemahaman itu, akan memunculkan satu argumen dasar, yaitu menjadikan Islam sebagai agama yang indah dengan makna yang luas. Menjadikan Islam sebagai pegangan semua orang, dengan menerapkan prinsip murni yang ada dalam agama Islam.

Dengan membaca buku ini, secara tidak langsung pembaca akan bersinggungan dengan realitas sosial yang terjadi di sekitarnya. Kontruk-kontruk agama yang sengaja dibenturkan, akan dibahas secara tuntas dalam penyimpangan dakwah yang dilakukan oleh golongan Habib di zaman sekarang.

Oleh karena itu, buku ini sangat bagus dibaca untuk memahami peta keagamaan yang sedang dimainkan di zaman sekarang, hal ini bermaksud agar pembaca tidak terjebak dalam skenario jebakan-jebakan dakwah yang menyesatkan. Pembaca tidak akan lagi tertipu, oleh propaganda-propaganda panjang, yang digunakan untuk memecah dan mengadu domba anak bangsa.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru