32.9 C
Jakarta

Habib Rizieq: #VonisBebasUntukIBHRS dan Kebisingan Rijikers yang Tak Perlu Didengar

Artikel Trending

Milenial IslamHabib Rizieq: #VonisBebasUntukIBHRS dan Kebisingan Rijikers yang Tak Perlu Didengar
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Habib Rizieq kembali mendekam di penjara. Majelis Hakim resmi menjatuhkan vonis dengan hukuman pidana selama empat tahun penjara bagi Rizieq dalam perkara menyebarkan berita bohong terkait tes swab dalam kasus RS Ummi hingga menimbulkan keresahan. Hakim menilai Rizieq telah dinyatakan secara sah dan meyakinkan menyebarkan kabar bohong dan membuat keonaran di tengah masyarakat (CNN 24/6/2021).

Hakim menjerat Rizieq dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Rizieq sudah menyatakan akan banding atas vonis yang diberikan hakim dalam perkara tersebut. Dia juga menolak opsi pengampunan dari presiden (CNN 24/6/2021).

Sementara, massa pendukung Rizieq di depan PN Jakarta Timur ricuh. Tapi sidang vonis Rizieq tetap berlangsung (detik, 24/6/2021). Takbir menggema dan Rijikers terjadi bentrok dengan polisi. Mereka mencoba masuk dan memecah blokade polisi. Polisi menangkap 200 pendukung Rizieq dalam bentrok tersebut.

Rijikers membawa poster bertulis ‘stop the killing’ dan bendera merah putih. Seperti biasanya, mereka meneriakkan takbir, salawat, dan narasi ‘diskriminasi ulama’. Rijikers bergerombol dengan tarikan argumen eskapis. Bahkan ia tak takut korona yang telah banyak membinasakan manusia akibat gerombolan yang kurang berguna. Bentrok (kekerasan) jadi jalan utamanya. Dan narasi agama menjadi argumen pamungkasnya.

Barangkali masyarakat tak boleh kecolongan. Siasat tetaplah siasat. Apabila kita kecolongan, bisa jadi itu merupakan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan bom waktu itu kita rasakan akibat kecolongan di tiga dekade sebelumnya.

Habib Rizieq dan Rijikers

Jika dilihat, geromobolan Rijikers nalar yang dibangun ada tiga. Di antaranya: pertama, kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus modernitas sehingga umat Islam mencari dalil agama untuk “menghibur diri” dalam bayangan dunia utopisnya; kedua, adanya dorongan rasa kesetiakawanan terhadap beberapa negara Islam yang mengalami konflik, seperti Irak, Suriah, Mesir, Pelestina, dan Afghanasitan; ketiga, dalam konteks Indonesia, karena pemerintah dianggap gagal mewujudkan cita-cita negara yang berupa keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakatnya.

Dengan semakin maraknya tindakan kekerasan atas nama agama, Tuhan, dan nabi mutakhir ini, katagoris di atas bisa ditambah. Hemat penulis, bisa saja karena mereka tidak mendalami agama atau terlalu berjarak pada literatur keislaman yang jelas kredibel, otoritatif, dan autentik. Sehingga, mereka mencukupi keilmuan yang didapat dari sumber yang tidak jelas (melalui media sosial misalnya) dan berani mengobral dakwah atas perspektif yang mereka punya. Dengannya, mereka menjadi pengkhotbah agama yang bising dan menyebabkan kericuhan antar umat beragama.

Tetapi, pelaku tindakan ektrem dalam konteks Indonesia dan dunia, tidak saja dilakukan oleh orang yang “dangkal” dalam pemahaman agama. Melainkan juga pada mereka yang sudah mendalami ajaran agama, seperti mahasiswa, akademisi, ustaz, dan aktivis agama. Kendati apa masalahnya?

Aksi Wijaya dalam Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia: Dari Berislam secara Teologis ke Berislam secara Humanis (2019) berhasil memotret dan menjawab penyebab itu. Menurutnya, salah satu indikator penyebabnya adalah, salahnya menalar ajaran agama, metode agama, dan kian egoisme saling merebut tafsir kebenaran atas nama agama.

Kontestasi Pemikiran

Dengan demikian, argumen dasar paham ekstrem seperti FPI yang berada di bawah komado Rizieq Shihab misalnya, penting untuk dilacak dan dibaca. Dari situ kita bisa mendedah bagaimana sikap dan wacana ekstremisme diproduksi dalam lanskap agama. Untuk menuju kesana, kita lebih dulu harus membedakan antara agama Islam dan pemikiran.

BACA JUGA  Politik Dinasti: Pembajakan Islam dan Demokrasi yang Harus Ditentang

Ada perbedaan mendasar antara Islam dan pemikiran Islam. Islam adalah respons Ilahi terhadap realitias melalui Nabi Muhammad SAW. Sedang pemikiran Islam adalah respons manusia terhadap realitas melalui Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Menurut Wijaya, Islam pada dirinya hanya ada pada Tuhan semata, bersifat absolut, autentik, universal dan tidak mengalami perubahan sepanjang waktu.

Sebaliknya, hubungan Islam berhubungan dengan manusia, bersifat relatif, subyektif, partikuler dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Islam sebagai agama bersifat tunggal karena berasal dari Yang Maha Tunggal. Sedangkan pemikiran Islam beragam, karena lahir dari manusia yang beragam. Karena itu, muncul beragam pemikiran: ekstrem dan moderat.

Namun, pemahaman dan sikap ekstrem akarnya lahir dari paradigma eksklusif. Kelompok yang berparadigma eksklusif seperti Rizieq Shihab dan Rijikers (antek-anteknya FPI), mereka cenderung melakukan klaim kebenaran terhadap tafsir keagamaan tertentu sembari menyalahkan yang lain. Ujungnya, mereka melakukan garis damarkasi: muslim/non-muslim, Islam/kafir, surga/neraka, kawan/lawan, salah/benar, halal/haram dan selanjutnya.

Menurut penulis nalar ekstrem mereka dipengaruhi oleh pemikiran Islam yang berafiliasi pada gerakan Islam Transnasional, seperti Wahabi, Ikhwan al-Muslimin, dan Hizbut Tahrir, serta mazhab fundamentalis Islam lainnya. Juga dipengaruhi oleh para tokoh-tokohnya seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Ahmad Ibn Hanbal, Abul A’la al-Maududi, Sayyid Qutb, dan Ibnu Taimiyah.

Karena itu, perlu ada kontra narasi atau penggeseran paradigma: dari paradigma ektrem ke paradigma moderat; dari paradigma eksklusif ke paradigma inklusif; dari paradigma ingklusif ke paradigma pluralis; dari paradigma marah ke paradigma ramah.

Menalar Islam

Menalar Islam praksisnya adalah mengembalikan kembali kesadaran bahwasanya agama dan segala ciptaanya bersumber dari sumber yang sama: Allah. Begitu juga dengan terciptanya berbagai konsep-konsep di atas.

Dengan demikian, maka di atas semua itu ditempatkan pada tempat yang sama. Yaitu melihat kelemahan/kekurangan dan persamaan/perbedaan paradigma atas dasar “keabsahan yang setara” untuk mencari titik temu: keselamatan manusia. Bila menemukan konvergensinya, maka semuanya harus mengakui keberadaan keabsahan atas masing-masing yang dimilikinya, bukan atas dasar hierarkis kebenarannya. Dan juga harus mengakui dan menghormati kepada semuanya.

Konsep kesatuan dasar ajaran ini membawa pada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang berarti pula membawa kepada konsep kesatuan umat beriman sebagaimana disinggung di dalam Al-Qur’an, “sesungguhnya ini adalah ummatmu semua (wahai para rasul) yakni umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku (saja)” (al-Anbiya’:92).

Dengan demikian, maka esensi Islam menjadi jalan keluar: tidak terjebak pada struktur nalar eksklusivisme agama, relativisme agama, singkritisisme agama, fundamentalisme agama, dan radikalisme agama.

Sebab, semua agama Samawi berpadu pada esensi yang sama: sikap kepasrahan total manusia kepada tuhannya: Allah SWT. Dengan proses itu, maka ajaran agamaisasi kekerasan dapat berubah menjadi agamaisasi kedamaian. Dari ajaran Islam yang hanya berfungsi sebagai pemersatu emosional agama. Tapi bergerak berubah pada arah cara pandang pembagunan wacana yang humanistik dan ramah terhadap perbedaan agama.

Maka itu, ajaran Islam (imani) bercorak humanis (antroposentris) ini akan menjadi maslahat bagi sesama dan meniscayakan cinta keindonesiaan. Dengan konsep/nalar ini, kita bukan hanya santun dalam ritual, tapi berbudi luhur, dapat meningkatkan kualitas keimanan, kebangsaan, kemanusiaan, serta menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dan Rizieq Shihab dan Rijikers tidak perlu dibuat genting.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru