30 C
Jakarta

Habib Rizieq dan Masa Depan Populisme Islam di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahPerspektifHabib Rizieq dan Masa Depan Populisme Islam di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke tanah air 10 November lalu, menghadirkan babak baru dalam konteks hubungan antara gerakan populisme Islam dengan negara. HRS yang selama tiga tahun terakhir diduga menetap di Arab Saudi karena menghindari beberapa kasus hukum yang menjeratnya di Indonesia, adalah tokoh kontroversial yang menjadi pemimpin dalam dua unjuk rasa besar bertajuk Aksi Bela Islam.

Aksi Bela Islam, merupakan fenomena mobilisasi massa yang oleh para pengamat/pakar dianggap menjadi bukti bangkitnya populisme Islam di Indonesia. Populisme Islam perlu dicermati serius dalam dinamika politik nasional. Karena bila diabaikan, gerakan ini tidak hanya akan menjadi semata penantang kekuatan politik dominan, melainkan justru malah bisa menjadi kekuatan dominan itu sendiri.

Populisme dan Populisme Islam

Populisme dalam kajian ilmu politik menjadi gagasan yang sampai saat ini masih diperdebatkan. Para ilmuan politik masih belum satu suara ketika harus menjelaskan definisi, bentuk, dan asal-usul pembentukan dari populisme. Meski demikian, hal itu bukan berarti kita tidak bisa mendapat gambaran dasar dari populisme.

Menurut Vedi R. Hadiz, selaku penulis buku Islamic Populism in Indonesia and The Middle East (2016), secara minimalis populisme dapat dilihat sebagai reaksi kemarahan dan kekecewaan publik atas kekacauan tatanan politik dan kegagalan pemerintah mewujudkan kesejahteraan sosial.

Reaksi demikian bisa muncul, menurut Vedi, setidaknya dipengaruhi oleh tiga asumsi. Pertama, populisme muncul dalam konteks semakin dominannya sistem ekonomi-politik neoliberal di dunia yang berdampak pada marginalisasi dan kesenjangan dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, populisme muncul sebagai reaksi atas krisis demokrasi yang terjadi di satu negara. Meski, dalam beberapa hal demokrasi tidak selalu bertentangan dengan populisme, tapi bisa berjalan berdampingan. Ketiga, populisme muncul sebagai bentuk kekecewaan terhadap berbagai janji modernitas yang menjanjikan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran yang faktanya sulit terwujud.

Karena populisme muncul sebagai reaksi atas tatanan yang kacau, populisme tidak selalu seragam di banyak tempat. Kadang ia menjadi populisme kiri, seperti di Amerika Latin atau sebagian Eropa Barat. Kadang ia menjadi populisme kanan seperti di Amerika Serikat (AS). Semuanya bisa terjadi tergantung lokasi di mana ia tumbuh. Namun semuanya tetap diikat oleh satu benang merah; reaksi kemarahan dan kekecewaan atas tatanan kehidupan yang kacau.

Reaksi kekecewaan dan kemarahan ini diartikulasikan oleh para tokoh/politisi dengan retorika identitas untuk mengikat publik yang marah dan kecewa menjadi satu kelompok yang memiliki kepentingan serupa. Retorika tersebut diarahkan pada objek tunggal yang dianggap menjadi biang keladi masalah, bisa berupa individu atau sistem sosial.

Contoh sederhana dari hal di atas bisa dicermati ketika Donald Trump berkampanye menjadi Presiden AS. Dalam tiap kesempatan, ia selalu menyebut bahwa penyebab krisis di negaranya adalah akibat ulah imigran dan kekuatan asing. Ia tak pernah menyebut bahwa penyebab keterpurukan negaranya adalah akibat dikuasainya sumber daya negara oleh segelintir elite. Ia justru menyalahkan para imigran yang dianggap menjadi sumber masalah.

Populisme Islam yang terjadi di Indonesia pun bekerja dengan alur serupa. Para tokoh gerakan ini, mengeksploitasi kekecewaan dan kemarahan publik dengan mengikatnya melalui retorika kultural yang menjadi basis semua kelas, berupa islam.
Kita bisa lihat sendiri beberapa tahun terakhir.

HRS sering mengatakan bahwa penyebab utama krisis di Indonesia adalah karena dikuasainya negara oleh pihak asing dan sistem tata negara yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Maka dari itu, solusi atas permasalahan yang mereka tawarkan selalu berkutat pada usir semua kekuatan asing, sekaligus penerapan syariat Islam di Indonesia, yang oleh HRS disebut sebagai NKRI Bersyariah.

BACA JUGA  Bulan Ramadan Jadi Sarana Penyebaran Paham Radikal, Waspada!

Di sini nampak bagaimana HRS membangun posisi antara kelompoknya melawan pihak-pihak yang dianggap menjadi biang masalah. Dalam konteks populisme Islam, ia kerap kali menggunakan diksi asing, aseng, dan kafir, guna menyebut pihak-pihak yang dipandang jadi sumber persoalan. HRS tidak coba melihat bagaimana peran para elite oligarki dalam menciptakan krisis.

Mereka justru mengambil jalan pintas dengan langsung menyalahkan pihak yang disebut asing, aseng, dan kafir, tanpa mau melihat persoalannya secara lebih sistematis. Hal ini tak berbeda jauh dengan yang terjadi di AS. Perbedaan mendasarnya hanya pada bahan bakar yang menjadi motor penggerak. Di AS berupa nasionalisme, di Indonesia berupa islam.

Masa Depannya di Indonesia

Kepulangan HRS ke Indonesia menjadi sinyalemen akan kembali menguatnya populisme Islam di Indonesia. Setelah gerakan ini sempat redup beberapa tahun terakhir, dengan kehadiran HRS, populisme Islam diprediksi akan kembali menguat dalam konstelasi politik nasional.

Walaupun, jika dicermati lebih lanjut, gerakan populisme Islam meskipun terkesan menguat, kalau dilihat secara mendetail, sebenarnya tidak memiliki masa depan semenjanjikan sebagaimana yang diprediksi. Menurut Abdil Mughis Mudhoffir, kandidat Ph.D, dari University of Melbourne, yang fokus meneliti tentang populisme Islam di Indonesia, kelompok populisme Islam memang tampak ramai dan powerfull, tapi kelompok ini tetap marjinal. Suara mereka tak terlalu signifikan dan tidak solid dalam ruang politik nasional.

Mereka hanya besar dari sisi basis massa, tapi kecil pengaruhnya dalam dinamika politik nasional. Hal ini terjadi karena hingga detik ini, tidak ada kelompok politik nasional seperti partai, yang merepresentasikan dirinya dengan kelompok ini. Dari sekian banyak partai, baik yang basisnya Islam maupun sekuler, tak ada satu pun yang mengafiliasikan dirinya dengan gerakan ini.

Artinya kelompok ini tidak punya kepanjangan tangan untuk bertarung dalam kancah politik nasional. Kenyataan itu menunjukan bagaimana rapuh dan tidak solidnya kelompok ini di hadapan kekuatan politik yang telah mapan di tanah air. Akhirnya mereka hanya ramai di ruang publik, tapi tidak punya kemampuan untuk merubah sistem ataupun kebijakan.

Mereka hanya tampak signifikan dalam situasi tertentu seperti momen Pemilu. Itu pun sifatnya masih marjinal, karena agenda Islam hanya dijadikan batu loncatan para politisi mapan untuk meraup suara dalam Pemilu, bukan malah dijadikan agenda utama.

Hal itu bisa dibuktikan ketika Pilpres 2019 lalu. Kelompok populisme Islam merapatkan barisan ke kubu Prabowo-Sandi. Tapi setelah Pemilu berakhir, Prabowo-Sandi justru malah bergabung dengan pemerintahan Jokowi yang selama masa kampanye diserang habis-habisan oleh kelompok ini.

Saat Prabowo-Sandi merapat ke Jokowi, kubu populisme islam pimpinan HRS tidak punya kekuatan apapun untuk menolak apalagi membatalkan hal tersebut. Yang terjadi, mereka seperti ditinggalkan begitu saja setelah perhelatan Pilpres usai. Inilah contoh bagaimana tidak signifikannya kelompok ini dalam konteks politik nasional. Mereka hanya signifikan dalam rangka membuka ruang untuk dikapitalisasi dalam mempertahankan kepentingan ekonomi-politik para elite oligarki. Di luar hal itu, tidak ada.

Meski demikian, fenomena HRS dengan gerakan populisme Islam tetap perlu diperhatikan secara serius. Karena walau mereka tak semenjanjikan seperti yang dikira, dalam dinamika demokrasi sehari-hari, mereka adalah kelompok yang cukup berisik, yang tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan di akar rumput. Untuk itu, perlu penyikapan yang terukur agar perilaku mereka ini tidak mengganggu hak-hak konstitusional setiap warga negara lain di Indonesia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru