29 C
Jakarta

Habib Rizieq, Ulama Paling Radikal

Artikel Trending

Milenial IslamHabib Rizieq, Ulama Paling Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jika istilah ulama radikal disematkan kepada Habib Riziek Syihab. Tentu lebih tepat dari pada istilah ulama moderat. Kenapa demikian? Karena kalau kita cermati, beberapa ceramah keagamaanya terkesan tidak memiliki komitmen kebangsaan, dan persatuan dalam kehidupan bernegara. Bahkan, karyanya pun dominan radikal.

HRS tergolong ulama paling radikal, sebab dilansir dari kiblat.net hasil penelitian Anggota Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang memilih tiga kategori dari kata radikal, salafi, dan moderat. Saiful Umam, menegaskan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab menempati urutan teratas ulama populer di media sosial dengan kategori Radikal.

Bila kita baca karya penelitiannya waktu ia menjalankan studi di Universitas Malaya Kuala Lumpur. Judulnya “Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariat Islam Di Indonesia”. Narasi dan substansi yang ia tulis dalam tesisnya adalah bertujuan menguji hipotesis tentang benar adanya “keyakinan”. Yang menyatakan bahwa di Indonesia yang berdasarkan Pancasila mustahil dilaksanakan syariat Islam.

Hipotesis tersebut memperlihatkan cara pandang keagamaan HRS yang radikal kepada negara. Pasalnya, jika ia menguji Pancasila artinya ia tidak meyakini bahwa Islam memiliki keterkaitan. Dalam konteks sosio-kultur ia ingin menjerumuskan Pancasila, bahwa ideologi ini tidak ada kaitannya dengan syariat Islam.

Secara faktual-historis, selama ini cukup sering HRS menyampaikan orasi keagamaan yang terkesan tidak memperkuat kebhinekaan dan persatuan kita. Ironisnya, pola pikirnya yang radikal sering memicu pesan-pesan perpecahan, dan permusuhan di antara umat Islam yang tengah berbeda aliran hingga perbedaan dalam keyakinan.

Karena itu, Pancasila sudah Islam. Dasar ini yang mengajak ulama dan para tokoh bangsa untuk berpikir lebih moderat. Artinya, lebih bersikap bijaksana, sopan dan santun dalam setiap langkah dan dakwah. Akan lebih baik, jika menerima semua golongan yang teridentifikasi umat Islam maupun non-muslim yang tidak merasakan keadilan dalam pikiran.

Ulama Radikal yang Meragukan Pancasila

Ulama-ulama moderat memang hadir dari kalangan NU dan Muhammadiyah yang memiliki inovasi pemikiran keagamaan yang relevan dan kontekstual (moderatisme). Salah satunya refleksi Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan yang konsisten dengan tujuannya menjaga nilai-nilai kebudayaan yang ada dalam Pancasila.

Berbeda dengan ulama radikal seperti HRS yang terkesan tidak mencintai perdamaian. Di mana perdamaian itu tumbuh dari cara pandang ulama yang moderat yang peduli akan tegaknya keadilan (tawassuth), toleransi (tasamuh), dan perdamaian (islah). Sikap demikian akan lebih baik diperjuangkan jika HRS kembali ke Indonesia dan menjadi ulama yang moderat (deideologisasi).

BACA JUGA  Cara Berislam dengan Damai

HRS sebagai ulama yang memiliki keharusan untuk meyakinkan umat Islam agar tidak terpapar radikalisme, dan ekstremisme agama. Sebab itu, pemahaman tersebut hanya menjadi faktor pemecah belah persaudaraan dan persatuan yang punya maksud dan tujuan untuk mengganti Pancasila dengan konsep khilafah Islamiyah.

Khilafah Islamiyah memang merupakan bagian dari penerapan ajaran syariat, tetapi syariat Islam yang tidak cenderung kepada kekerasan. Karena Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW itu bukan untuk melakukan kekerasan. Namun, untuk menebar perdamaian. Kini, Pancasila lah yang menjadi simbol kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari sisi filosofis, muncul pertanyaan mendasar dari penulis. Mungkinkah ulama moderat itu meragukan Pancasila sebagai pengaruh dari implementasi syariat Islam? Jawabannya tidak. Oleh karenanya, hanya ulama yang berpikir radikal itu yang melekat dengan kekerasan (extremism) dan meragukan substansi dan ideologi.

Keragu-raguan atas Pancasila itu menunjukkan cara pandang yang tidak moderat, sehingga sikap radikal itu terus-menerus muncul dalam pikiran dan gerakan. Dengan demikian, agama tidak mungkin bersatu tanpa Pancasila. Karena sejatinya Pancasila itu menyatukan pemikiran semua agama yang di dalamnya terdapat nilai-nilai universal.

Ulama Kembali Ke-khittah

Radikalisme adalah suatu paham yang bisa mempengaruhi siapa pun, bahkan ulama sekalipun. Maka dari itu, kebenaran Pancasila yang dipersepsikan sebagai faktor utama terhambatnya pelaksanaan syariat Islam itu logika yang tidak mampu membantah sejarah dan pidato Bung Karno yang selama ini hidup di era orde lama, tetapi mampu berpikir moderat.

Jika selama ini HRS kerap menentang Pancasila berarti sama saja menentang ajaran Islam. Karena Pancasila sudah disepakati (ijtihadi) oleh para ulama yang ada dalam poros NU dan Muhammadiyah. Sehingga, kebenarannya hanya mengarah ke dunia historis yan tidak mungkin membantah hal-hal yang bersifat qat’i.

Sudah bukan hal yang wajar jika ulama seperti HRS masih menguji hipotesis dari kebenaran Pancasila itu sendiri. Pemikiran seperti ini yang sebetulnya memicu lahirnya api radikalisme yang bisa membakar semangat dan jiwa nasionalisme masyarakat awam umumnya. Paling tidak, perspektif yang tidak memiliki kekuatan argumen historis ini perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahan-pahaman dalam mempelajari sejarah.

Akhirnya, kita semua bisa membaca bahwa HRS hanya ulama yang tidak ingin menggunakan pendekatan moderatisme yang bisa berdampak kepada krisis jiwa nasionalisme dari sebagian masyarakat NKRI. Sebab pada dasarnya semua ulama moderat, baik itu dari NU maupun Muhammadiyah dan the Founding Fathers kita sepakat bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan syariat Islam. Jika ada yang menganggap itu berseberangan, maka itu berpikir radikal.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru