28.2 C
Jakarta

Habib Husein Orang Arab yang Keindonesia-indonesiaan

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanHabib Husein Orang Arab yang Keindonesia-indonesiaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Islam merupakan agama semitik yang turun terakhir sesudah dua agama sebelumnya: Yahudi dan Nasrani, kalau sekarang, Kristen. Islam seiring dengan perkembangannya menjadi agama yang paling banyak digemari penduduk di Indonesia. Sebagai agama mayoritas Islam seringkali dijadikan “jembatan” untuk meraih kepentingan yang bersifat individualis.

Orang Islam sendiri yang sering mengatasnamakan agamanya demi kepentingan pribadi adalah kelompok separatis. Kelompok separatis ini biasanya lebih dikenal dengan kelompok radikal. Mereka berpikir tertutup dan melakukan aksi-aksi kekerasan. Sebut saja, mengkafirkan, menyesatkan, bahkan aksi-aksi bom yang biasanya dilakukan oleh kelompok teroris.

Kelompok separatis di Indonesia itu sudah merambah ke pelbagai wilayah. Kehadiran kelompok separatis jelas mengganggu kebhinekaan Indonesia, karena mereka tidak menerima alias menyesatkan orang di luar Islam. Padahal, Indonesia dengan kebhinekaannya terbuka terhadap perbedaan agama.

Lebih dari itu, kelompok separatis melihat Islam sangat sempit dan tertutup. Islam itu bagi mereka hanya sebatas berpakaian putih, bersorban, dan bersarung, bahkan kalau bercelana, diharuskan pakai celana cingkrang. Merespons ketertutupan cara berpikir mereka, pemikir muda Habib Husein Ja’far Hadar meluruskan bahwa yang terpenting itu sebenarnya bukan Arab, Barat, Jawa, Sunda, Makasar, Bugis, dan lain sebagainya. Tapi, kita keindonesia-indonesiaan atau kearab-araban? Jadi, kalau ada orang Indonesia atas nama Islam kemudian kearab-araban, Habib Husein menegaskan dirinya sendiri orang Arab yang keindonesia-indonesiaan.

Identitas dalam kehidupan manusia, sebut Habib Husein, itu penting, tapi dalam posisinya sebagai identitas itu sendiri. Maksudnya, kita harus memahami identitas sebagai sebuah identitas, bukan nilai, latar belakang, atau tujuan. Nabi Saw. mengajarkan khususnya berkaitan dengan hukum, bahkan passion bahwa passion-passion tertentu itu menjadi identitas umat Islam sekarang. Misalnya, celana cingkrang, celana di atas mata kaki, itu sudah diajarkan Nabi Saw. Dalam sabdanya: Angkatlah celanamu sampai di atas mata kakimu. Tapi, apa nilainya? Apakah pada identitasnya saja? Nabi ingin mengunggulkan, orang Islam identitasnya mengangkat celana? Jelas bukan begitu.

Karena, lanjut Habib Husein, orang Islam dilihat secara kualitatif, bukan kuantitatif. Islam itu adalah sebuah nilai bukan passion, bukan bentuk, bukan apapun. Karena itu, segala bentuk diterima oleh Islam. Siapa yang masuk Islam tidak perlu merubah bentuk, karena Islam itu nilai. Menutup aurat dalam passion itu Islam. Menutup aurat dengan apapun, sarung, jubah, celana, dan lain sebagainya disesuaikan dengan budaya yang berkembang. Karena itu, kita dihargai di dalam Islam. Allah katakan: Sanurihim ayatina fi al-afaqi wa fi anfusihim. Allah tunjukkan ayat-ayatnya bukan hanya di dalam Al-Qur’an, tapi di alam semesta dan diri kita masing-masing.

BACA JUGA  Sudahkah Kelompok Radikal Memerangi Hawa Nafsunya sebelum Memerangi Sesamanya?

Maksud ayat tersebut, bahwa Allah itu ada pada diri kita, bukan hanya di dalam Al-Qur’an saja. Karena itu, ulama menyatakan: Man arafa nafsah faqad arafa Rabbah, siapa yang bercermin dan merenungkan dirinya, dia akan menemukan Tuhan di dalam dirinya sendiri. Jadi, kita sangat dihargai di dalam Islam. Tidak perlu merubah bentuk dalam Islam. Mari kita pelajari, apakah identitas yang diajarkan itu adalah identitas yang dibuat untuk membedakan antara kita dan yang lain? Ternyata, tidak seperti itu.

Soal perintah Nabi terkait celana cingkrang, Habib Husein tegaskan bahwa alasan perintah ini adalah karena dulu kalau celana di bawah mata kaki itu dinilai sombong. Maksudnya, Nabi Saw. mengajarkan kita agar terlatih tidak sombong, sehingga disarankan mengangkat celana agar tidak ada identitas yang disombongkan. Karena, hukum seringkali menjadi identitas yang kita sombongkan.

Makanya, sebut Habib Husein, orang lebih suka berislam secara hukum, karena kalau berislam secara hukum akan beda dengan yang lain, non-muslim. Kita sebagai muslim melakukan shalat ibadah rutin setiap hari Jum’at, sedangkan orang non-muslim melakukannya di hari Minggu. Karena beda, bentuk shalatnya juga beda. Kalau kebaikan itu sama. Makanya, Allah katakan: Fastabiqu al-khairat, berlomba-lombalah dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran. Kebenaran itu seperti pakaian dalam. Kita pakai, tapi tidak perlu ditunjukkan ke luar, cukup kita harus pakai. Kalau tidak, bahaya. Karena, kebenaran itu sangat pribadi dan sangat sensitif.

Melalui uraian Habib Husein tersebut, diharapkan dapat memberikan peta yang baik bagi kelompok separatis yang gemar berpikir dan bertindak ekstrem. Lebih dari itu, mereka mengerti bahwa Islam itu tidak mendewakan bentuk, tapi melihat nilai. Nilai itu sifatnya batin, sedangkan bentuk sifatnya dhahir. Lihatlah sesuatu bukan dari luarnya saja, tetapi dari dalamnya juga. Karena itu, kita melihat Islam bukan sebatas kearab-araban saja.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini dinarasikan dari gagasan Habib Husein Ja’far Hadar yang terdokumentasi dalam bentuk video

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru