34 C
Jakarta

Gus Ulil: “Jangan Menghakimi Fenomena Anak Muda yang Sedang dalam Pencarian untuk Hijrah”

Artikel Trending

KhazanahTelaahGus Ulil: “Jangan Menghakimi Fenomena Anak Muda yang Sedang dalam Pencarian untuk...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Ulil Abshar Abdalla atau yang biasa disapa Gus Ulil, membuat sebuah cuitan yang cukup ramai. Dalam cuitannya tersebut ia menanggapi fenomena hijrah yang terjadi pada anak muda. Sebagai sosok yang pernah muda dengan segudang polemik pemikiran Islam yang dimiliki, Gus Ulil dikenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia.

Sebagai dalah satu cendekiawan muslim yang lahir dari pesantren, khususnya NU. Iapun lahir dalam tradisi pesantren yang begitu kuat, yakni Abdullah Rifa’i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati. Mertuanya yakni, Mustofa Bisri, atau yang akrab disapa Gus Mus, kyai dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang

Ia besar tidak langsung memiliki pandangan yang cukup menjadi kiblat para santri masa kini. Dalam menjalankan kisah hidupnya, “hijrah” menjadi salah satu pengalaman dalam pencarian jati diri yang cukup menyenangkan dan mengeyangkan. Hal ini terjadi pada saat di pesantren dan kuliah.

Dalam tulisan tersebut, ia menceritakan banyak hal tentang pengalamannya di pesantren dan masa kuliah. Keduanya adalah fase ia hijrah. Dalam pesantren, bacaan Ma’alim fi al-Tariq karya Sayyid Qutb cukup mengguncang pemikiran Gus Ulil dalam perjalanan panjang belajarnya. Bacaan tersebut tentu berpengaruh terhadap cara pandangnya tentang pemerintah Islam, hingga status kekafiran masyarakat karena berada dibawah pemerintahan yang tidak menerapkan Islam.

Gejolak pemikiran yang dialaminyapun tidak jauh berbeda ketika ia menempuh pendidikan tinggi di LIPIA Jakarta pada tahun 1989, hingga pengalaman tahun kedua dalam proses pendidikannya mengikuti “daurah” yang ternyata belakangan ini merupakan gerakan yg biasa disebut Tarbiyah, cikal bakal PKS. Penamaan “daurah” juga digunakan oleh organisasi ekstra kampus seperti KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).

Bisakah kita memaklumi fenomena hijrah masa kini?

Sebagai anak muda yang labil, selalu ingin tahu dan disuguhkan oleh berbagai ragam pemikiran Islam. Gus Ulil adalah adalah sebuah pengalaman  nyata yang cukup representatif untuk dijadikan contoh perjalanan hijrah. Apalagi dengan rasa ingin tahu yang tinggi, selayaknya memang kita perlu belajar dari perjalanan hidup orang-orang yang kini memiliki pandangan tentang relasi sosial keagamaan yang baik.

BACA JUGA  Melihat Gerakan Perempuan Akar Rumput dalam Upaya Pencegahan Radikalisme

Namun, ketika melihat fenomena demikian, bisakah kita memaklumi gerakan bawah tanah para kelompok-kelompok yang menggemborkan hijrah, dan amat nyata berafiliasi pada gerakan yang dimaksud Gus Ulil? Haruskah kita mentolerir demikian ketika gerakannya semakin kuat dengan strategi marketing di media sosial yang luar biasa?

Pengalaman Gus Ulil tidak sama dengan pengalaman lainnya. yakni 2 kondisi yang amat jauh berbeda. Apa perbedaannya? Koneksi internet, intensitas penggunaan media sosial, hingga berbagai informasi yang bisa diakses begitu cepat dan mudah. Tantangan kita hari inipun semakin berat dengan adanya media sosial. Maka ketika kita memiliki kesadaran bahwa gerakan diatas sudah berada di ruang bebas (red:maya), upaya yang kita lakukan juga harus semakin gencar dan massif

Titik penemuan dalam belajar

Pencarian jati diri untuk menemukan pandangan hidup yang akan dijalankan, sikap untuk terbuka dan berupaya mencari jalan kebenaran adalah hal utama. Maka prinsip long life learning sangat penting untuk dimiliki oleh kita sebagai remaja muslim millenial. Kegiatan untuk mencari tahu, membaca banyak literatur dan melihat banyak pandangan dari para cendekiawan muslim, ulama, serta berbagai tokoh menjadi wajib untuk kita lakukan.

Tidak hanya itu, sikap open mind dalam menerima berbagai informasi serta pengetahuan baru dari masing-masing orang adalah kewajiban. Bayangkan saja jika kita sedang melakukan proses hijrah, lalu menutui diri untuk belajar, berinteraksi dengan orang lain, tidak membaca buku, bahkan tidak mengupgrade keilmuan agama, maka selamanya kita terpaku pada kebenaran absolut yang kita ciptakan sendiri, padahal semua itu fana.

Dengan fenomena demikian, kehadiran keluarga sebagai teman, partner dan pemberian kesempatan untuk tumbuh dan memilih kepada anaknya adalah hal utama. Sebab independensi seorang anak dalam memilih kehidupannya juga harus diperhatikan oleh orang tua. Tanpa meninggalkan tanggung jawab menjadi orang tua kepada anaknya, Gus Ulil adalah cerminan nyata, bagaimana sikap orang tuanya yang memberi kesempatan tumbuh kepada seorang anak, hingga terciptalah Gus Ulil seperti sekarang ini. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru