32.9 C
Jakarta

Gus Miftah Provokator?

Artikel Trending

Milenial IslamGus Miftah Provokator?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Gus Miftah panen hujatan netizen usai menggelar wayang kulit dengan tujuan mengkritik Khalid Basalamah, yang beberapa waktu lalu viral karena mengharamkan wayang. Pagelaran wayang yang diadakan kelompok Pengajian Gus Miftah itu digelar di Pondok Pesantren Ora Aji yang dipimpinnya di Kalasan, Yogyakarta, Jum’at (18/2) lalu, dan bisa ditonton di YouTube dengan judul “Wayang Haram Dalang Ngamuk Wayang Basalamah Dikepruki Dalang”.

“Sigri milir….sang gethek si nogo bajul. Wah, begitu pandai iblis itu menyematkan imamah dan jubah. Dengan warna putih, seakan begitu suci tanpa noda, dengan menghitamkan yang lainnya,” kata Gus Miftah menyindir Khalid Basalamah ketika memberikan sambutan saat pagelaran wayang itu, seperti dilansir Tempo.

“Kamu siapa? Aku tahu jenggotmu panjang tapi belum tua. Wajar tak tahu budaya dan tatakrama,” kata dia melanjutkan sindirannya.

Di wayang itu, dalang terlihat mengamuki Khalid Basalamah, yang menggunakan kata kasar untuk mengungkapkan kegeramannya. Pilihan diksi dalang dan sindiran Gus Miftah itulah yang kemudian membuat namanya memuncak trending topic di Twitter hari ini. Hampir semua netizen melontarkan hujatan kepada Gus Miftah.

Seleb TikTok bernama Aab Elkarimi mengunggah video untuk mengungkapkan kekecewaannya terhadap Gus Miftah dan jamaahnya. “Gue menikmati wayang sebagai media dakwah. Tapi kalau ada orang berbeda pandangan menyatakan wayang itu haram, lalu yang enggak terima bikin pertunjukan wayang yang menghina orang itu, rasanya ini tindakan yang over, terlalu telanjang dan tidak dewasa,” katanya di video itu.

Netizen lain mengunggah video Sujiwo Tejo. “Kalau kita Pancasilais, kalau ada orang pakai celana cingkrang, hargai juga. Karena itu dari penalaran mereka, yang penting mereka tidak memaksa kita. Tapi dimaki-maki di medsos dan dibiarkan pemerintah, ‘masak musik haram,’ ya biarin, yang penting mereka enggak memaksa kita,” kata Sujiwo Tejo yang diunggah seorang pengguna Twitter.

Ada juga pendakwah bernama Umar Hasibuan Al Chelsea, mengaku warga Nahdliyin, yang komentar begini, “Apa yang dilakukan Miftah ini norak. Mustinya kalau berilmu ajaklah ustad Khalid berdebat. Bukan begini caranya. Miftah cari sensasi saja.”

Di Instagram, unggahan Gus Miftah soal pagelaran wayang itu menuai komentar lebih dari 19.600 yang rata-rata hujatan. Ia dianggap provokator. Namun benarkah demikian? Bukankah selama ini Gus Miftah dikenal sebagai sosok moderat karena berhasil berdakwah ke klub malam dan diterima banyak kalangan? Benarkah apa yang Gus Miftah lakukan menjadi bukti pincangnya narasi Islam moderat kaum Pancasilais? Dan bagaimana seharusnya kita semua menyikapi semua ini?

Wayang Gus Miftah

Kita, untuk masuk ke polemik ini, harus menyusun, pertama-tama, kronologi polemik. Selanjutnya kita akan memahami mengapa ini terjadi, bagaimana maksud sebenarnya serta bagaimana kita menanggapinya.

Polemik bermula dari perdebatan lama, soal mengagamakan tradisi atau mentradisikan agama: mana yang benar di antara keduanya. Perdebatan tersebut, sebenarnya dipelajari di bangku kuliah, semester awal, matakuliah Ilmu Sosial-Budaya. Kita mengenal yang namanya akulturasi—Wali Songo menggunakannya sebagai media islamisasi. Jadi untuk membuat pribumi memeluk Islam, waktu itu, Wali Songo memasukkan nilai-nilainya pada tradisi setempat. Sederhana, bukan?

BACA JUGA  Remoderasi Pendidikan di Indonesia

Prinsip akulturasi itu tidak sulit. Yang sulit adalah kecurigaan dan kebencian di sebagian masyarakat kita, bahwa dengan akulturasi, kita dianggap mencemarkan Islam sekaligus memasukkan nilai-nilai non-islami pada agama. Kecurigaan semacam itu tentu saja tidak lahir dari ruang kosong, ia diproduksi oleh doktrin ideologis tertentu. Dan iklim kecurigaan tersebut di Indonesia merupakan fenomena baru, yakni sejak Wahhabisasi memenuhi ruang-ruang publik.

Ustaz Basalamah, ini yang perlu ditegaskan, ada di ambang ambiguitas. Satu sisi, ia orang Indonesia. Kita yakin, ia paham apa itu akulturasi, dan kita tidak bisa menuduh dia sebagai orang yang benci Indonesia. Namun, di sisi yang lain, ia adalah korban dari Wahhabisasi tadi. Ia belajar ke Universitas Islam Madinah, tempat di mana Wahhabisasi bercokol. Ia, seperti banyak pelajar Indonesia yang kuliah ke Arab Saudi, menganut puritanisme Wahhabi—bahkan jika ia memungkirinya.

Sampai di sini, kita harus objektif, bahwa ustaz Khalid Basalamah memang harus diawasi agar tidak menjadi penebar virus Wahhabi. Kalau perlu, setiap ceramahnya yang berpotensi memecah-belah umat Islam di Indonesia harus dilawan. Namun yang dilawan adalah ideologi Wahhabi yang ia sebar, bukan pribadinya sebagai pendakwah. Banyak orang salah kaprah di bagian ini.

Wayang Gus Miftah adalah salah satunya. Kita memaklumi kekesalan Gus Miftah, ketika wayang yang merupakan media dakwah malah dikafirkan. Kita, sebagai orang yang paham akulturasi, maklum dengannya. Ia melalui pagelaran tersebut berusaha melawan narasi pengharaman wayang oleh ustaz Khalid. Lalu mengapa disebut provokator?

Melawan Ustaz Khalid

Mungkin, pagelaran wayang Gus Miftah memang kurang elok karena dua alasan. Pertama, ia sebagai tokoh moderat. Seharusnya ia mengajak ustaz Khalid untuk berdialog secara publik sebagai bentuk tabayun. Dengan begitu hasilnya presisi, masyarakat bisa menyimpulkan mana yang harus diikuti dan mana yang harus dihindari. Masyarakat, jika Gus Miftah unggul secara argumentasi, akan bersimpati dan perdebatan wayang pun selesai dengan adem.

Kedua, menyerang fisik ustaz Khalid. Membuat wayang, apalagi menampilkannya, yang rupanya disamakan dengan ustaz Khalid bisa dikatakan sebagai penghinaan fisik. Apalagi jika sampai memprovokasi agar diciptakan wayang islami yang berjubah dan berpeci, itu adalah bentuk nyinyir yang nyata-nyata tidak perlu dilakukan. Menyinyiri lawan tidak menyelesaikan masalah. Yang ada adalah, musuh semakin benci. Selain Gus Miftah, BNPT harus menyadari hal ini.

Menyerang narasi buruk ustaz Khalid adalah upaya melawan Wahhabisasi. Namun demikian, menyerang fisik ustaz Khalid adalah melanggengkan Wahhabisasi itu sendiri. Ini karena dorongan psikologis masyarakat, ketika mereka lebih bersimpati kepada ustaz Khalid Basalamah. Karenanya, dalam upaya melawan Wahhabisasi ustaz Khalid, kita juga wajib memperhatikan simpati masyarakat. Kita uraikan bahwa mereka keliru, lalu kita meluruskannya. Meluruskan, bukan menghinanya.

Jadi apakah dengan demikian Gus Miftah layak digelari provokator? Tidak. Apa yang ia lakukan hanyalah kealpaan belaka. Tidak salah, tetapi harus diperbaiki. Yang mesti kita tiru dari Gus Miftah adalah kegigihannya memerangi Wahhabisasi. Yang mesti kita hindari darinya adalah kesalahan cara dalam melakukan kontra-narasi Wahhabisasi itu sendiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru