30.4 C
Jakarta

Gus Miftah dan Perilaku Nir-Adab: Pemicu Semaraknya Provokasi Radikalisme

Artikel Trending

Milenial IslamGus Miftah dan Perilaku Nir-Adab: Pemicu Semaraknya Provokasi Radikalisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Gus Miftah, tokoh kontroversial yang dikenal sebagai dai moderat dan simbol kerukunan antarumat, tengah menghadapi badai kritik akibat pernyataannya yang menghina seorang penjual es teh. Kata-kata kasarnya, yakni “goblok”, yang terlontar dari seorang yang seharusnya menjadi panutan itu telah mencederai pribadinya sekaligus menyulut antipati terhadap prinsip moderasi beragama yang ia wakili. Apa maksudnya?

Jadi begini. Pendeknya, sikap Gus Miftah menjadi bahan bakar narasi radikal. Ustaz-ustaz radikal, yang memang mengintai kelemahan lawan ideologisnya, memperalat Gus Miftah untuk melegitimasi dakwah mereka. “Lihatlah mereka yang mengaku moderat,” kira-kira begitu nada kritik yang dilontarkan. “Mereka tidak lebih baik dari kami yang kalian anggap radikal.” Narasi semacam itu, di tengah masyarakat yang geram, jelas mudah meresap.

Tentu, kecerobohan Gus Miftah adalah pelajaran pahit bagi para pendakwah moderat. Moderasi, atau wasatiah, merupakan prinsip jalan tengah untuk merangkul umat Islam tanpa terjebak ekstremisme kanan-kiri. Namun, bila perilaku tokohnya tidak mencerminkan keadaban, jalan tengah tersebut bisa berbelok menjadi jurang polemik. Satu pernyataan salah langkah, akan berubah jadi bahan bakar yang memperuncing polarisasi umat.

Kecerobohan semacam itu merugikan Gus Miftah secara pribadi karena biadab, sekaligus memberikan celah provokasi dakwah radikal. Ustaz-ustaz radikal kini memiliki amunisi baru untuk melancarkan kritik. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis digunakan sebagai apologi untuk menghantam moderasi itu sendiri. Masyarakat yang mulai kecewa pada sosok-sosok moderat pun perlahan terjerat pesan-pesan radikal; provokasi radikalisme.

Mengapa? Sebab, saat ini, Gus Miftah merupakan Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto di Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Idealnya, dia mengajarkan tentang keseteraan, akhlak karimah, dan membina masyarakat menuju keadaban. Bukan malah menjadi tokoh pengklaim moderat namun berucap dan bertindak biadab. Perilaku Gus Miftah akan dijaikan ‘momen provokasi’ oleh para radikalis.

Pesta Pora ‘Provokasi’ Kaum Radikal

Gus Miftah memang telah meminta maaf. Namun perlu dicatat, semaraknya radikalisme akibat kebiadaban semacam itu tidak melulu berasal dari kehebatan argumen ustaz radikal, melainkan kecerobohan dan perilaku tolol tokoh moderat itu sendiri. Bila seorang Gus Miftah bisa tergelincir ucapan kasar dan nir-etika, bisa dibayangkan betapa rapuhnya posisi narasi moderasi menghadapi radikalisasi yang semakin masif.

Penting untuk digarisbawahi bahwa, radikalisme bukanlah sesuatu yang muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh subur dalam situasi di mana ketidakpuasan sosial, frustrasi, dan kebencian menjadi pola pikir dominan. Artinya, apa yang saya sebut sebagai “kebiadaban Gus Miftah” bukan soal insiden verbal an sich, melainkan dampak signifikan mengenai persepsi publik yang terkikis terhadap dakwah moderat.

Hari ini, kaum radikal pasti tengah berpesta pora melakukan provokasi sana-sini. Untuk itu, tidak ada cara lain, Gus Miftah maupun tokoh moderat lain harus kembali pada prinsip utama dakwah Islam: tablig yang santun dan penuh hikmah. Hanya dengan cara itu, provokasi radikalisme dapat diredam dan narasi moderasi tetap memiliki taring di hati masyarakat. Moderasi mesti menjelma sebagai teladan, bukan omon-omon belaka.

Moderasi beragama bukan gagasan belaka, tetapi juga praktik nyata yang tercermin dalam tutur kata, sikap, dan kebijakan tokoh-tokohnya. Sayangnya, beberapa ustaz moderat kerap terjebak perilaku destruktif yang justru bertentangan dengan nilai moderasi itu sendiri. Gus Miftah hanyalah satu contoh dari gagalnya tokoh moderat menjaga integritas di ruang publik. Kini, sudah saatnya menghempas ustaz-ustaz tak beradab semacam itu.

BACA JUGA  Mewaspadai Radikalisme dan Mewujudkan Pilkada Berintegritas

Menghempas Ustaz Moderat yang Perilakunya Tak Moderat

Saya setuju dengan pernyataan Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH. Cholil Nafis. “Orang-orang berharap kepada penceramah apalagi merangkap pejabat untuk mendapat keteladanan. Itu tukang jual sedang berkasab mencari rezeki yang halal sesuai kemampuannya. Yang seperti itu jangan ditiru ya dek.. Astaghfirullah. Kalau penjual teh itu digoblokin saat pengajian, mana mungkin bisa moderat?,” ujar Kiai Cholil.

Ketika seorang ustaz moderat bersikap tak moderat, baik melalui tindakan emosional, ujaran kasar, atau sikap arogan, mereka sebenarnya tengah meruntuhkan kepercayaan umat kepada konsep moderasi itu sendiri. Publik tidak menilai dari isi ceramah atau argumen yang dibangun saja, tapi akhlak dan perilaku si ustaz. Jika tak sesuai, maka akan jadi celah yang dimanfaatkan ustaz-ustaz radikal untuk menggempur kredibilitas moderasi.

Ustaz moderat diharapkan menjadi duta Islam yang damai dan toleran. Namun, saat mereka terseret narasi polemis, bahkan yang bersifat personal, mereka sepenuhnya adalah bahan bakar api radikalisme. Pernyataan biadab yang boleh jadi diniatkan guyon, memiliki potensi untuk dijadikan narasi propaganda bahwa moderasi beragama hanyalah kemasan tanpa substansi. Perilaku tak moderat dari ustaz pengklaim moderat adalah momok berbahaya.

Efeknya semakin parah di era digital seperti sekarang. Kesalahan kecil cepat viral, dan ustaz-ustaz radikal yang ahli medsos pun menggunakan momen-momen seperti itu untuk menyebarkan propaganda radikalisme. Mereka menggiring opini publik untuk mempercayai bahwa moderasi agama adalah bentuk lain dari kemunafikan: ilusi yang tak mampu menjawab kebutuhan umat dan menciptakan kemaslahatan.

Tentu bukan itu saja. Ketidakhati-hatian ustaz moderat memantik polarisasi umat. Ketika masyarakat melihat kontradiksi antara ucapan dan tindakan, rasa percaya mereka goyah. Dalam situasi itu, mereka yang mencari kepastian cenderung berpaling kepada dakwah yang tegas—meskipun radikal. Dengan kata lain, kebiadaban ustaz moderat yang tak moderat seperti Gus Miftah adalah katalis penyebaran ideologi ekstrem. Ironis, bukan?

Untuk menangani persoalan tersebut, para tokoh moderat perlu introspeksi diri. Mereka harus paham, menjadi moderat itu mencakup tindakan dalam kehidupan nyata. Moderasi membutuhkan teladan moral yang tinggi, konsistensi sikap, dan empati terhadap umat. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi karikatur dari apa yang mereka perjuangkan—mudah menjadi bahan olokan pihak-pihak yang mereka lawan.

Pada saat yang sama, masyarakat juga perlu diedukasi agar tidak terpaku pada kesalahan personal dalam menilai moderasi agama. Moderasi bukan tentang tokohnya, melainkan prinsip soal toleransi dan kemanusiaan. Kesalahan satu-dua orang tidak lantas menggugurkan validitas moderasi secara konseptual dan implementasi. Yang perlu dihempas itu Gus Miftah dan omnivor sejenis, bukan moderasi beragamanya.

Moderasi memang akan terus terombang-ambing di antara ekspektasi publik dan serangan ustaz-ustaz radikal. Kunci keberhasilannya terletak pada keteladanan yang nyata, bukan retorika semata. Sebab, di tengah maraknya provokasi radikalisme, hanya sikap moderat yang benar-benar moderat yang bisa menjadi pemikat hati masyarakat. Gus Miftah harusnya belajar soal itu, agar kebiadaban dan kenihilan akhlaknya tidak lagi terjadi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru