Gus Khoiron: Aktivis HTI Ahistoris dan Gagal Memahami Nash
Harakatuna.com. Jakarta. Masuknya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke Tanah Air sekitar tahun 1980-an semacam menjadi duri dalam daging di tubuh negara yang berdasar pada Pancasila. Sebab, kelompok ini (HTI)—dengan menggunakan celah kebebasan berpendapat yang dibuka lebar sejak era reformasi 1998, mulai mengkampanyekan gerakan pembumian khilafah yang tentu saja sangat kontradiktif dengan sistem yang dianut oleh negara ini.
Mereka juga tampak tidak berkaca pada sejarah awal pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di mana kelompok islamis (yang diwakili Natsir)—setelah perdedabatan panjang—telah sepakat untuk menggunakan Pancasila sebagai dasar negara yang diusung oleh kelompok nasionalis (yang diwakili Soekarno).
Kecenderungan HTI yang ahistoris itu juga diungkapkan oleh Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jakarta, Muhammad Khoiron, yang mengatakan bahwa kecenderungan semacam itu disebabkan latar belakang mereka yang tidak jelas.
“Karena begini, mereka punya latar (backround) yang tidak jelas, terkait masalaah historisitas,” terang Khoiron kepada triknews.com dalam obrolan via telepon. Namun Khoiron tidak menjelaskan lebih lanjut terkait dengan pernyataannya itu.
Tidak hanya itu saja, lanjut Khoiron, kecenderungan semacam itu juga tampak pada kekeliruan mereka di dalam memahami makna khilafah di dalam konteks al-Quran.
Bahkan kecenderungan salah paham semacam itu juga tampak pada cara pandang mereka (kelompok HTI) terhadap teks dalam al-Hadits.
“Tidak hanya itu, kesalahan mereka juga tidak memahami atau kurang memahami, bahkan gagal memhami sebuah hadits yang menurut mereka sebagai sebuah hadits yang menginstruksikan untuk mendirikan negara dengan sistem khilafah,” tutur Khoiron.
Lebih lanjut, Khoiron menceritakan bahwa dirinya pernah menulis sebuah makalah ilmiah terkait dengan kesalahan kelompok HTI ini dalam memahami hadits yang mereka klaim sebagai justifikasi terhadap gerakan pembumian khilafah.
Terkait dengan itu, Khoiron menunjukkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan juga Imam muslim yang menurutnya sudah salah dipahami oleh kelompok gerakan khilafah ini.
Khoiron menjelaskan bahwa di dalam sejarah Islam sendiri, yang dinyatakan secara jelas oleh Rasulullah sebagai khalifah antara lain: Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Walaupun demikian, lanjut Khoiron, di dalam kitab ‘Dalail ‘an Nubuwah’ karya Imam al-Baihaqi, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan khilafah setelah khalifah yang empat adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Bahkan hal ini juga diakui serta diamini langsung Syaikh Yusuf al-Nabhani, kakek pdari endiri dari kelompok Hizbut Tahrir sendiri yakni Taqiyuddin al-Nabhani.
Menurut Syaik Yusuf, dengan menyitir pendapat Imam al-Baihaqi tersebut, bahwa yang dimaksud dengan khilafah (terakhir -red) menurut Hadits yang diriwayatkan oleh Khudzaifah Ibnu al-Yaman adalah ‘khilafah nubuwah’ yang diprakarsai atau pun ada pada zaman Umar bin Adbul Aziz.
“Dan inilah yang oleh ahli hadis disebut dengan ‘Bi-syarah Khilafah Nubuwah al-Khamisah’. Jadi kalau mereka memang mengelu-elukan Bi-Syarah Khilafah Nubuwah yang kelima, itu sebenarnya mereka tidak pernah membaca ataupun mereka tidak mau membaca kitab yang ditulis oleh Imam al-Baihaqi,” terang khoiron.
Argumentasi yang seringkali dikemukakan ulama, lanjut Khoiron, karena di masa Umar bin Abdul Aziz ini, pemerintahannya berjalan dengan begitu adil seperti pada masa Umar bin Khattab.
“Karena menurut para ulama, bahwa pada masa Umar bin Abdul Aziz, keadilan ataupun sistem pemerintahan itu persis sama dengan apa yang dilakukan Sayyidina Umar bin Khattab,” tuturnya.
Ketika ditanya apakah beberapa kekhalifahan sebelumnya (Khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiyah, hingga Turki Utsmani) tidak cukup menjadi landasa konsepsional bagi HTI untuk meneruskan pardigma berpikir mereka tentang sistem khilafah, Khoiron menyatakan bahwa hal itu akan kontradiktif dengan apa yang dikampanyekan oleh HTI.
“Saya rasa ketika HTI memaksa untuk mengadopsi sistem pemerintahan yang misalnya oleh Daulah Abbasiyah, kemudian Fatimiyah, kemudian Daulah Turki Utsmani, saya kira itu akan saling kontradiktif. Karena di dalam sejarah, daulah-daulah itu tidak mengggunakan sistem khilafah secara de facto. Tetapi menggunakan sistem monarki absolut ataupun kerajaan. Makanya dinamakan Bani Abbasiyah. Karena apa? Karena penguasa kerajaan adalah anak cucu dari Abu al-Abbas,” teragnya.
Walaupun demikian, Khoiron tidak menafikan bahwa Syaikh Yusuf sendiri diakui sebagai ulama dan akdemisi yang mumpuni bila dilihat dari latar pendidikan dan karya-karya yang dihasilakannya.
“Kemudian yang menjadi persoalan, tradisi keilmuan ini mengalami pergeseran. Karen ghirah terhadap khilafah terlalu tinggi, sehingga menafikan sejarah keilmuan tersebut,” sambungnya.
Tidak hanya itu saja, Khoiron juga menyebut bahwa kelompok HTI ini tidak bisa memahami secara benar makna ayat-ayat ataupun sunnah yang mereka klaim sebagai justifikasi gerakan mereka. Mereka juga disebut sangat lemah di dalam menanalisis teks-teks itu.
“Baik dalam persepktif Ulumul Quran ataupun argumentasi-argumentasi yang melatar belakangi para ulama dalam mempolemikkan ayat itu,” pungkas khoiron. (AF)
TRIKNEWS.COM