33.5 C
Jakarta

Gus Dur; Manusia Ruhani

Artikel Trending

Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbeda dengan makhluk lainnya,  manusia punya aspek fisik sekaligus batin. Ada tubuh, ada pula ruh. Untuk hidup di alam fisik, manusia perlu tubuh. Jangan abaikan syarat tubuh bisa jadi tempat bersemayamnya ruh: sehat dan selamat. Demikian yang hendak tentang Gus Dur, di momen haulnya ini.

Namun sepenting-pentingnya tubuh, dia hanya tempat ruh. Manusia mati, tubuh hilang menyatu dengan tanah yang menjadi asalnya. Ruh terus hidup untuk masuk ke alam yang lebih hakiki. Karenanya, kedirian manusia yang lebih abadi adalah sebagai makhluk ruhani.

Ada manusia yang hanya hidup sebagai makhluk jasmani. Waktu dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Bahkan dengan cara yang jauh melampaui kebutuhan yang sesungguhnya.

Manusia jasmani akan berinteraksi dengan lainnya didasarkan pada hal-hal yang bersifat jasmani. Meski dekat secara jasmani,  bisa jadi secara ruhani jauh. Kehadirannya tidak berjejak di hati yang lain.

Sebaliknya ada manusia yang sejak di dunia sudah jadi makhluk ruhani. Semua hal yang bersifat fisik tak membuat ruhnya berpaling dari-Nya. Gemebyaring dunyo tidak menumpulkan batinnya.

Manusia seperti ini mudah dekat dengan manusia lain walau tak pernah bersua secara fisik. Kehadirannya hidup di banyak hati manusia. Kematian fisiknya tak membuatnya lenyap di hati orang lain.

Teladan Gus Dur

Gus Dur adalah satu di antara sedikit dari entah berapa jumlah manusia yang sudah wafat, namun terus hidup di banyak hati dan masih terus menjadi inspirasi. Walau masih hidup, keberadaan kita bahkan belum tentu disadari oleh orang lain. Sementara beliau yang sudah wafat,  masih saja disadari kehadirannya.

Gus Dur tidak ma’shum, karenanya wajar jika berbuat salah. Tapi di situ justru kekuatan umat Rasul yang mampu konsisten meneladaninya. Apalagi dalam posisi yang tidak biasa-biasa saja. Bayangkan menjadi Kiai sekaligus presiden. Cobaan seorang kiai pasti besar. Sebagai presiden, apalagi. Lah ini pernah jadi Kiai sekaligus presiden.

Teladan Gus Dur yang utama adalah menjadikan kemanusiaan sebagai perspektif dalam melihat orang. Baginya, apapun apapunnya selagi dia manusia, maka wajib diperlakukan secara manusiawi. Inilah salah satu ajaran inti Islam: memanusiakan manusia, atau memperlakukan manusia secara manusiawi.

Perbedaan manusia, bahkan perbedaan iman pun, tidak menjadikan sebab bolehnya kita memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Apalagi perbedaan lainnya yang sepenuhnya ditentukan Allah seperti lahir dengan jenis kelamin, suku, dan bangsa apa.

Gus Dur Kedamaian Lintas Iman

Bagaimana mungkin orang diperlakukan tidak manusiawi karena menjadi perempuan, atau tidak menjadi laki-laki, sedangkan ia tidak ikut menentukannya? Bagaimana mungkin orang diperlakukan tidak manusiawi karena menjadi bagian dari suku atau bangsa tertentu, sedangkan ia tidak minta memilih?

BACA JUGA  Ada Beberapa Hal Kenapa Zakat Fitrah Perlu Dikeluarkan, Apa Itu?

Manusia mesti diperlakukan secara manusiawi apapun apapunnya karena perbedaan yang mereka miliki juga tidak sepenuhnya mereka tentukan.  Seperti menjadi orang bodoh, miskin, atau keduanya sekaligus.

Bagaimana mungkin orang diperlakukan tidak manusiawi karena bodoh, sedangkan akses untuk menjadi pintar tidak bisa dijangkaunya? Bagaimana mungkin orang diperlakukan tidak manusiawi karena miskin, sedangkan akses untuk sekadar hidup wajar pun tertutup baginya?

Begitu pun soal perbedaan iman. Iman adalah perjalanan spiritual sepanjang usia masing-masing orang. Mau mengutip Gus Mus takut salah konteks. Namun beliau semalam mengingatkan hal penting bahwa orang beragama itu beragam tingkatannya. Ibarat pendidikan ada yang baru TK, SD, SMP,  SMA,  mahasiswa, bahkan sudah Guru Besar. Kita tidak bisa menerapkan standar keberagamaan tunggal bagi semua orang. Bayangkan menjadikan standar seorang Guru Besar untuk pada mereka yang masih TK.

Ada kearifan yang sangat diperlukan dalam beragama. Jangan jadikan keberagamaan diri sendiri sebagai standar tunggal. Apalagi keberagaman diri sendiri juga masih berproses sampai mati. Kita tidak pernah tahu di level mana keberagamaan kita. Namun, 1 hal yang pasti: semakin beragama seseorang, semakin manusiawi sikapnya.

Haul

Haul bukanlah untuk mengenang wafatnya seseorang, melainkan atas hidupnya. Gus Mus menjelaskan mengapa Nabi Muhammad Saw diperingati hari lahirnya (Mauludan). Demikian pula Isa As (natal)? Karena mereka adalah para Rasul yang ma’shum. Perilakunya terjaga sejak lahir hingga akhir hayat.

Umatnya tidak satu pun yang ma’shum. Ada yang masa mudanya sangat baik, ternyata di usia dewasa berubah sebaliknya. Ada pula yang masa muda dan dewasanya baik, ternyata di usia senja sebaliknya. Hanya manusia yang dinilai sampai akhir hayatnya konsisten baik yang diperingati haulnya, atau dikenang kebaikannya semasa hidup.

Menarik guyonan mbak Inayah dalam sambutan semalam. Haul banyak diperingati untuk laki-laki. Eh bener ya?  Langsung mengkeret mikir siapa tokoh perempuan di kampung sampai tokoh nasional yang diperingati haulnya. Sampai sekarang belum nemu. Kalau benar, sudah pasti hal ibi bukan karena tak satu pun perempuan yang sepanjang hidupnya konsisten baik. Haul itu juga perayaan yang bersifat sosial,  sampai sini ketemu ya kata kuncinya.

Akhirnya,  Gajah mati meninggalkan gading.  Macan mati meninggalkan belang.  Manusia mati meninggalkan kemaslahatan. Sejauhmana hidup manusia memberi maslahat, sejauh itu pula makna kehidupannya.

“Aku maslahat,  maka aku ada!”

Semoga bisa meneladani Gus Dur untuk maslahat seluasnya, lintas iman,  lintas bangsa,  lintas gender,   semampunya. Al-Fatihah!

Ciganjur,  28 Desember 2019

Salam Maslahat,

Dr. Nur Rofiah Bil Uzm

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru