31.8 C
Jakarta
Array

Gus Dur dan Politik Humor

Artikel Trending

Gus Dur dan Politik Humor
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur memang sosok yang luar biasa nan langka. Tak ayal jika sampai detik ini, Gus Dur terus menjadi bahan pembicaraan bahkan setelah lama meninggal dunia (wafat). Selain dikenal sebagai tokoh yang cerdas dan gigih memperjuangkan pluralisme, Gus Dur juga dikenal humoris.  Secara personal, penulis pernah menyaksikan langsung kehebatan dan kisah humor Gus Dur.

Suatu kali, pada akhir 1980-an, saya mengikuti seminar sehari tentang politik-ekonomi di Gedung Balai Pustaka, Jakarta. Salah satu pembicaranya adalah K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sejak awal acara (pada pagi-red), Gus Dur sudah duduk sejajar dengan para pembicara lain di hadapan hadirin.

Tak lama kemudian, dia tampak terkantuk-kantuk. Tapi, menjelang sore, ketika giliran bicara sampai pada dirinya, banyak pandangan yang disampaikan para pembicara sebelumnya dikomentari dan dibahasnya secara rinci oleh Gus Dur. Tak sedikit peserta seminar tersenyum, tertawa, geleng kepala, dan tepuk tangan.

Pengalaman serupa dialami banyak orang. Ketika belum tahu, kebiasaan Gus Dur “tertidur” pada suatu seminar dan semacamnya, kita akan melihatnya sebagai tak adanya sikap menghargai orang lain. Pakar ilmu komunikasi dan cendekiawan Islam, Jalaluddin Rakhmat, pada suatu diskusi di Bandung, Jawa Barat, 2005, mengaku pernah berpikiran seperti itu.

Tapi, setelah menyaksikan sendiri bahwa Gus Dur sesungguhnya tetap menyimak dengan baik ucapan rekan-rekan bicaranya pada suatu perbincangan di depan publik dan bahkan mampu mengulasnya secara rinci, Kang Jalal menepis penilaian seperti itu.

Kisah serupa datang dari pengamat politik, Fachry Ali. Suatu kali, Gus Dur ke Australia, lalu mampir ke tempat kediamannya. Setelah asyik mengobrol, Fachry dan istrinya masuk kamar untuk tidur dan meninggalkan lelaki kelahiram Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940itu duduk sendiri di depan televisi.

Humor Politik

Tengah malam, Fachry dibangunkan istrinya karena televisi terdengar masih bersuara. Fachry menengoknya. Televisi sedang menayangkan pertandingan sepak bola dan Gus Dur terlihat duduk tertidur di depannya. Tapi, ketika Fachry hendak mematikan televisi, putra pertama dari enam bersaudara pasangan Wahid Hasyim dan Solichah ini malah melarangnya seraya berkomentar bahwa pertandingan lagi seru-serunya.

Moh. Mahfud M.D., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, punya pengalaman lain tentang humor yang dilontarkan Gus Dur. Mahfud mengaku heran ketika dia diminta menjadi Menteri Pertahanan Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin Gus Dur.

Saat itu, Mahfud adalah dosen di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan pertahanan bukan bidangnya. Dia mengaku kepada Gus Dur bahwa dirinya tak punya pengalaman di bidang tersebut. Dengan enteng, lelaki yang lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil ini membalas, dia juga tak punya pengalaman sebelum dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia (RI). “Saya heran kok saya dijadikan Menhan. Gus Dur memang nyeleneh. Kalau nggak nyeleneh, nggak mungkin memilih saya menjadi Menhan,” cetus Mahfud.

Mahfud juga pernah menceritakan humor politik yang sering dilontarkan Gus Dur pada berbagai kesempatan setelah dirinya menjadi Presiden RI yang keempat sejak 20 Oktober 1999 hingga 22 Juli 2001. Ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke Kuba, di sela-sela pembicaraannya dengan Presiden Kuba, Fidel Castro, Gus Dur memancing tawa dengan mengatakan bahwa semua Presiden RI gila.

Presiden pertama, Sukarno, gila wanita; presiden kedua, Soeharto, gila harta; presiden ketiga, B.J. Habibie, benar-benar gila alias gila beneran; sedangkan Gus Dur sendiri sebagai presiden keempat sering bikin orang jadi gila karena yang memilihnya juga orang-orang gila. Sebelum tawa Castro reda, Gus Dur langsung bertanya, “Yang Mulia Presiden Castro termasuk yang mana?” Sambil tetap tertawa, Castro menimpali, “Saya termasuk yang ketiga dan keempat.”

Ketika terjadi pro-kontra mengenai wacana negara kesatuan dan negara federal pada 1988/1989, Gus Dur menawarkan solusi jalan tengah yang mengundang senyum. Waktu itu, Amien Rais sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional mengajak kita memikirkan kemungkinan Indonesia menjadi negara federal. Alasannya, sistem federal bisa lebih demokratis diterapkan di negara sebesar Indonesia. Amien diserang banyak pihak lantaran dianggap mau merusak keutuhan dan persatuan bangsa dan negara.

Ketika ditanya soal kontroversi itu, secara diplomatis, Gus Dur menjawab, negara federal baik karena lebih menjamin demokrasi, sedangkan negara kesatuan baik karena lebih menjamin keutuhan bangsa. “Kalau saya, begini saja: namanya tetap negara kesatuan, tapi isinya pakai negara federal. Gitu aja kok repot,” imbuh ayah empat anak ini.

Gus Dur dan Kekuasaan

Selain tindakan dan pikirannya, Gus Dur memang sering memanfaatkan humor untuk mendesakralisasi kekuasaan. Kita tentu masih ingat bagaimana entengnya dia menilai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI, yang sekaligus juga sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, yang baru saja memilihnya sebagai Presiden RI. Gus Dur berpandangan bahwa kedua lembaga tersebut serupa dengan sekumpulan anak taman kanak-kakak (TK) dan Gus Dur mencetusnya di rumah para wakil rakyat itu sendiri.

Upaya serupa ditunjukkannya dengan berkali-kali tampil sangat informal (hanya berkaus dan bercelana pendek) di istana dan penampilannya itu diliput media massa secara luas. Pada hari tertentu, dia juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menyambangi istana. Semua itu tak pernah dilakukan tiga Presiden RI sebelumnya.

Di tangan Gus Dur, kekuasaan bisa tampak begitu ringan, bersahaja, serta sekaligus humoris, menghibur dan menggelitik. Selama ini, terutama selama Orde Baru, kekuasaan berwajah formal: berat, rigid alias kaku,  hati-hati, dan diam-diam bengis. Gus Dur mulai melengkapi wajah itu dengan keinformalan yang lentur, spontan, dan humanis.

Dengan guyonan dan spontanitasnya, Gus Dur memang sering membuat banyak orang kesal, keki, atau bahkan marah. Tapi, jauh lebih sering lagi banyak orang dibuatnya tertawa ngakak atau sekurangnya tersenyum oleh berbagai humornya yang terkesan tak ada habisnya.

Saking lucunya kisah-kisah humoris yang dilontarkan Gus Dur, beberapa pelawak Srimulat merasa kelabakan jika beradu lucu dengan Gus Dur. Tarzan, misalnya, mengaku pernah kehabisan bahan untuk melucu ketika acaranya didahului dengan sambutan Gus Dur yang sangat lucu. Timbul juga pernah merasa kalah lucu oleh Gus Dur.

“Rata-rata pemimpin kelas dunia punya rasa humor demikian, tetapi yang selucu Gus Dur, saya belum pernah dengar,” ujar Hermawan Sulistyo, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam buku Presiden Dur yang Gus Itu, Anehdot-anehdot K.H. Abdurrahman Wahid (2000). Kalimat tersebut seperti mengekalkan pendapat Jaya Suprana bahwa Gus Dur adalah presiden terlucu sedunia.

Kemampuan Gus Dur menciptakan atau meramu humor tak lepas dari kecerdasannya. Sebab, tak ada seorang humoris yang tak cerdas. Apalagi, dia sangat dekat dengan dunia pesantren. Pesantren dan kiai identik dengan humor.

Dalam kitab-kitab kuning yang dikaji para santri di pesantren, ada banyak humor tentang beragam hal. “Di pesantren, humor itu jadi kegiatan sehari-hari,” katanya. Apalagi, Nabi Muhammad juga merupakan sosok yang banyak bercanda. “Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat,” tambahnya.

Politik dan Humor

Sayangnya, cara kita beragama belakangan ini jauh dari humor. Tak sedikit orang mudah mencela atau bahkan menghina cara beragama orang lain, meskipun agamanya sama. Maklum, makin banyak orang yang merasa paling pintar dan paling benar. Di tangan mereka, sebagaimana politik, wajah agama juga menjadi menyeramkan. Bukan menyejukkan.

Sasaran humor sendiri tak harus orang lain. Humor yang baik memang terutama ditujukan untuk diri sendiri. Untuk instrospeksi. Itulah wujud kearifan, kedewasaan, dan kejujuran dalam humor. Apalagi, tambah Gus Dur, “Bangsa ini hampir kehilangan kejujurannya.” Kalimat terakhir tersebut menjadi sangat kontekstual ketika banyak kasus yang mencuat belakangan ini serta melibatkan sejumlah pemimpin dan tokoh terkenal menunjukkan banyaknya orang yang makin tak malu berbohong di depan publik.

Namun, karena humor itu pula, para pengritiknya tetap menganggap Gus Dur sebagai pribadi yang tak serius dan menggampangkan setiap persoalan. Padahal, sense of humour-nya yang tinggi menunjukkan kapasitas spiritual intelligence yang tinggi pula.

Di sisi lain, dalam kapasitasnya sebagai politikus, humor menjadi salah satu instrumen politik yang membuat langkah politik Gus Dur tak mudah dibaca atau diduga oleh lawan atau seteru politiknya. Pada titik tertentu, humor digunakannya untuk menyindir, mengritik, menyerang, atau bahkan berkelit tanpa melupakan unsur kelakar yang mampu mengundang senyum atau tawa geli.

*Iwan Gunadi, penjaga Gawang Bale Buku Bekas.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru