26.3 C
Jakarta

Gus Baha, Kado Pesantren untuk Kemerdekaan Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamGus Baha, Kado Pesantren untuk Kemerdekaan Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ketika negeri ini tengah semrawut yang, di antara penyebabnya: keruhnya pemahaman keagamaan, Islam tentunya, ada sesuatu yang agung yang mesti disyukuri bersama, yaitu: Tuhan mengirimkan Gus Baha untuk kita. Ini bukan lagi ungkapan fanatisme belaka. Siapa pun yang mengamati arus keagamaan di dunia maya, akan menyadari satu fakta: manipulatif. Hari ini, narasi-narasi negatif masif sekali, yang salah satu sebabnya ialah pendangkalan agama.

Bulan Agustus sekarang ini, sebagai bulan proklamasi, bulan kemerdekaan, menjadi momentum yang pas untuk merefleksikan kembali kemerdekaan yang telah kita raih 75 tahun silam. Apakah masih ada kolonialisasi politik, ekonomi, bahkan keagamaan, atau memang telah benar-benar merdeka. Kolonialisasi keagamaan yang dimaksud ialah, apakah dalam tataran nasionalisme, kita masih dibayangi provokasi-provokasi akan ketidakislamiannya?

Peran pesantren untuk kemerdekaan Indonesia tidak bisa diabaikan. Pesantren berada di garda terdepan, dan Pancasila yang dipakai hari ini, merupakan bukti konkret bahwa jiwa kenegaraan kaum santri tidak lagi diragukan. Kiai Bahauddin Nur Salim alias Gus Baha, sebagai representasi pesantren, dengan sarungnya yang khas, dengan peci dan bajunya yang sederhana, menjadi kado untuk Indonesia, terutama pada bulan kemerdekaan ke-75 tahun ini.

Iklim keislaman di Indonesia, hari-hari ini, laik untuk dikatakan rigid, kaku, dan absen dengan imej moderasinya. Banyak dai berdakwah untuk ideologinya sendiri, sembari mengklaim untuk Allah. Term muballigh direduksi; kita mendapati para pendakwah menceburkan diri ke dalam rimba kebodohan dan, pembodohan umat. Jelas, ini bukan perang ideologi Barat atau Timur. Ini adalah tentang tradisi pesantren yang dihidupkan kembali—menyegarkan Islam yang dirigidkan.

Dalam setiap ceramah Gus Baha, ada beberapa paduan penting: canda, kebenaran, dan koreksi. Tanpa menyebut nama tertentu sama sekali, Gus Baha meluruskan suatu topik, memaparkan yang sebenarnya, diselingi guyon khas pesantren. Jika, dulu, pesantren berperan untuk memerdekakan bangsa, hari ini Gus Baha berperan menyegarkan agama. Tetapi tujuannya sama; merawat dan meruwat bangsa tercinta, Indonesia.

Penyegaran Islam ala Santri

Dalam tataran ideal, Islam, sampai kapan pun, adalah satu. Tidak terkotak-kotak ke dalam ideologi tertentu, dan tidak laik dipakai untuk kepentingan tertentu. Tidak tergantung si dai, apalagi justifikasi ideologi dirinya. Namun, rupa keislaman kita masuk ke dalam kategori pemahaman keislaman, al-fikr ad-diniy. Dan selama itu, mestinya perbedaan menjadi sesuatu yang maklum, dan di Indonesia, perbedaan tersebut oleh dai disikapi beragam.

Ada yang ngotot ingin memurnikan Islam, tentu saja kemurnian tersebut subjektif dirinya sendiri. Term bid’ah hingga khilafah menghiasi harian dai model ini. Ada yang berpandangan modernis, juga ada yang cum-salaf; moderat dalam kasus tertentu, dan rigid dalam kasus lainnya. Kesemuanya menampilkan imej keagamaan yang tidak santai—terasa sulit dan berat. Di tangan Gus Baha, kebekuan tersebut dicairkan, disegarkan ke tataran yang paling esensial.

Misalnya, dalam kasus khilafah, ekstremisme, dan sejenisnya. Gus Baha mengatakan, kita tidak perlu ribut yang berlebihan, karena tidak ada yang tahu pasti kebenaran oknum mereka. Yang jelas, santri kesukaan Mbah Moen itu mewanti-wanti, beberapa di antara umat Islam memiliki karakter ibaratnya Khawarij. Mereka menuntut Islam yang ideal seraya mengabaikan aspek yang lainnya. Khawarij mengukur segala sesuatu berdasarkan standar sendiri yang dianggapnya benar. Bahkan, di masa lalu, mereka menegur Rasulullah—merasa lebih benar dari beliau.

BACA JUGA  Beragamalah dengan Rasional di Tahun Politik

Tidak sedikir gagasan segar lahir dari kedalaman ilmu-spiritualitas Gus Baha. Yang paling menakjubkan, dirinya tidak pernah menyebut nama orang yang dikoreksinya. Dua nama; Rukhin dan Musthafa, sering disebut, seakan menjadi lawan bicara, lalu Gus Baha mengatakan bahwa yang demikian adalah tradisi pesantren. Kita mungkin lelah dengan para penceramah yang saling tuding benar-salah. Kini, wajib, dan momen yang pas, untuk kita meninggalkan mereka.

Gus Baha menyegarkan pemahaman keislaman dengan cara-cara santri; guyon, dan dengan tradisi pesantren; menghindari cercaan-makian. Tanpa gelar akademik apa pun, Gus Baha hendak menggertak kita bahwa tradisi pesantren tetaplah lebih agung daripada sekadar gelar akademik belaka. Dan dengan cara itu pula, ia berusaha membentengi negeri.

Gus Baha Benteng Negeri

Membentengi negeri yang dimaksud di sini ialah menjaganya dari paham apa pun yang dapat meruntuhkan, baik secara sistem politik maupun iklim keagamaan itu sendiri. Gus Baha memainkan peran ini. Oleh karena ustaz-ustaz kita, para dai masyhur, mengandalkan gelar Lc, MA, atau sejenisnya, Gus Baha hadir meneguhkan eksistensi dengan cara yang sangat khas pesantren. Tentu saja itu disebabkan kesadaran, bahwa masyarakat kita, melihat gelar sebagai tolok ukur integritas seseorang.

Maka kita seringkali mendengar Gus Baha berucap, “beliau masih buyut saya,” “paman saya,” dll, ketika bercerita tentang tokoh besar. Misal ketika bercerita tentang Kiai Hamid Pasuruan. Gus Baha sama sekali tidak bermaksud sombong, tetapi masyarakat kita memang harus diembeli yang semacam itu. Tanpa sosial media, bahkan tidak punya WhatsApp, adalah cara khas Gus Baha dalam memperkenalkan nuansa santri-pesantren. Itu hendak menegaskan, tugas dirinya murni untuk menebarkan kebenaran an sich, tanpa kepentingan apa pun lainnya.

Gus Baha tidak bersedia mengisi pengajian umum, dan hanya memilih mengaji. Bukankah mengaji itu adat pesantren? Itu hendak menegaskan: negeri ini tidak butuh sosok yang hanya pandai ceramah, memoles syariat dengan nafsunya sendiri, memelintir agama demi kepentingan politiknya sendiri. Bahwa Indonesia, di usia kemerdekaan ke-75 ini, tidak kekurangan penceramah. Tetapi, alih-alih meneduhkan, para dai tidak jarang memprovokasi umat. Tidak mengherankan ketika Gus Baha sering berpesan, “ngaji, ngaji, dan ngaji.”

Kita memang tidak bisa mengatur keadaan. Tetapi, andai semua tokoh masyarakat kita itu seperti Gus Baha, yang tidak mengedepankan kepentingan ideologi atau finansial, negeri ini tidak semrawut. Tak akan ada aksi bela Islam, bela ulama, dan agenda absurd sejenisnya. Mereka yang berbuat ulah dan kemudian merasa tertindas akibat ulahnya sendiri seharusnya tidak mendapat simpati masyarakat, bukan malah manggut-manggut menyetujuinya.

Indonesia butuh sosok seperti Gus Baha; beliau kado kemerdekaan untuk negeri tercinta ini. Sudah bukan waktunya kita mengidolakan muballigh yang hanya pintar memecah-belah dan memprovokasi umat: sudah tidak menyumbang memerdekakan, malah mau menghancurkan. Na‘udzu billah min dzalik.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru