31 C
Jakarta
Array

Guru; Perevolusioner Tanpa Tanda Jasa di Era Milenial

Artikel Trending

Guru; Perevolusioner Tanpa Tanda Jasa di Era Milenial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

Sebagai prasasti terima kasihku

Tuk pengabdianmu

Demikianlah, penggalan lirik lagu yang diciptakan oleh Sartono untuk mengenang jasa para guru. Sekilas, jika kita menghayati dan meresapi lirik lagu tersebut, tentu kita merasa berhutang budi pada guru yang telah mendedikasikan keilmuanya untuk mencerdaskan Masyarakat Indonesia. Guru menjadi faktor urgen, bagi terciptanya masyarakat yang memiliki kualitas dan akhlak yang mulia. Maka tidak heran, jika Dri Atmaka mengartikan guru sebagai pendidik yang bertanggung jawab atas anak didik mengenai jasmani dan rohani agar tercapai suatu kedewasaan serta mampu memenuhi tugas-tugasnya sebagai makhluk Tuhan.

Dalam Bahasa Arab, guru memiliki arti murobbi yang berarti orang yang memiliki sifat-sifat Rabbani yakni kebijaksanaan, bertanggung jawab dan kasih sayang tehadap peserta didik (Thoha, 1996: 11). Makna bertanggung jawab tersebut dalam konsep khazanah Intelektual Islam, diartikan sebagai keshohihan atau kebenaran sebuah ilmu seseorang dari guru harus ditandai dengan adanya sanad (Red: sandaran keilmuan yang sampai ke Nabi Muhammad). Sebab, dengan adanya sanad ini jugalah yang membedakan antara ilmu Islam—seperti cara membaca al-Quran dan kitab-kitab klasik—dengan ilmu-ilmu lainya.

Peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pun menjadi cerminan bagi kita untuk merenungkan pentingnya guru bagi kemajuan suatu bangsa. Sebab, Pasca pengeboman tersebut, menjadikan Jepang menyerah pada perang dunia ke II (1942-1945) dan tindakan pertama yang dilaukan oleh kaisar Hirohito adalah memerintahkan kepada mentri pendidikan untuk menghitung jumlah guru yang masih tersisa kala itu untuk membangun kembali peradaban yang lebih baik.

Setidanya ada lima arahan dari Kaisar Hirohito yang ditujukan kepada para guru kala itu. Pertama, guru harus melakukan pendidikan yang bermutu. Kedua, guru harus disiplin dari murid. Ketiga, guru harus lebih pintar dari murid. Keempat, pendidikan harus bisa menuntun industri. Kelima, saya akan mengirim sebagian kalian ke luar negeri untuk belajar, pelajari dengan benar dan bawa pulang ke Jepang.

Terlepas dari hal tersebut, jika kita membandingkan Negara Finlandia dengan Negara Indonesia dalam segi pendidikan tentu sangat kalah jauh, bahkan Negara Finlandia masuk dalam kategori nomor urut dua dalam sistem pendidikan terbaik dunia. Hal tersebut dilatar belakangi beberapa hal, salah satunya adalah sistem pengajaranya, yakni satu guru hanya mengajar 12 siswa. Sedangkan dalam kelas sains, tiap kelas hanya terdiri dari 14-16 orang, agar praktek laboratoriumnya dapat berjalan kondusif. Peggunaan metode tersebut didukung dengan oleh pemerintah yang membiayai seluruh kehidupan guru, karena guru dipersepsikan sebagai pekerjaan yang mulia.

Di era milenial sekarang, dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin menggurita mengharuskan seorang guru harus mengkutinya tanpa ikut terhempas arus. Sebab, jika proses pengajaran yang digunakan seorang guru masih menggunakan metode klasik, maka murid akan kurang update terhadap peristiwa-peristiwa kekinan. Maka, hal ini akan berimplikasi pada kemunduran dan kebobrokan suatu bangsa. Di antara caranya adalah mengenalkan bagaimana menggunakan alat-alat teknologi dengan baik dan benar.

Tidak hanya itu, fenomena tuduhan terhadap guru menganiaya siswa yang dihukum oleh guru karena melakukan suatu kesalahan juga sudah menghiasi dunia maya. Padahal, dalam konsep pendidikan yang diajarkan oleh Rasul juga demikian, yakni jika anak sudah berumur 10 tahun tapi, sulit diperintah untuk sholat, maka sedikit kekerasalah yang menjadi solusinya.

Hakikat kemerdekaan guru

Dalam pandangan masyarakat jawa, istilah guru dapat diartikan dengan akronim gu dan ru. “Gu” yang berarti digugu (dianut) dan “ru” berarti dirtiru (dijadikan teladan). Maka tak heran, jika Doktor Mohammad Nasih—dosen magister ilmu poltik UI—menganjurkan bagi seorang guru harus merdeka secara finansial pribadi (red: Sindo, 14-Nov-2013). Sebab, guru adalah pewaris para nabi (waratsat al-anbiya’) yang memiliki keilmuan kenabian, maka idealnya guru tidak boleh menerima upah dari proses pengajaranya. Sebab begitulah yang telah diajarkan oleh al-Quran, yakni dalam Q.S. Yasin: 21, “Ikutilah orang yang tidak meminta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang yang mendapat petunjuk”.

Akan tetapi, jika hal tersebut belum bisa tertunaikan, maka langkah konkrit yang harus dilakukan pemerintah adalah menyejahterkan guru-guru yang ada di Indonesia. Sebab, dengan sejahteanya guru maka guru tidak harus berfikir tentang bagaimana mencari tambahan rizkinya untuk menghidupi keluarganya, melainkan fokus untuk menddik siswa. Membatasi skala murid dan guru pun juga menjadi poin yang harus diutamakan, karena dengan satu guru mengajar 12 orang, akan lebih efsien dari pada satu guru mengajar 50 orang. Dengan demikian, akan memepermudah terwujudnya cita-cita Negara Indonesia—mencerdaskan kehidupan bangsa—.

Maka dari itu, dirasa penting untuk mengenang dan menghargai jasa para “perevolusi” tanpa tanda jasa tersebut dengan cara selalu berbuat yang terbaik dan belajar untuk kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, dengan kita berbuat yang terbaik dan selalu belajar,  berarti kta telah berpartisipasi aktif dalam mewujudkan cita-cita Negara Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru