30.1 C
Jakarta

Guru PAI Menangkal Radikalisme di Lingkup Pendidikan, Wajib!

Artikel Trending

KhazanahPerspektifGuru PAI Menangkal Radikalisme di Lingkup Pendidikan, Wajib!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Berbagai kegiatan teror yang dilakukan para teroris meningkatkan kewaspadaan semua elemen. Setiap warga memiliki kewajiban untuk melindungi anggota keluarganya supaya tidak terjebak dalam aliran yang menjurus pada radikalisme. Harapannya ada sinergi antara warga, tokoh masyarakat pemerintah dan berbagai lembaga dalam penanganan radikalisme khususnya di Indonesia. Supaya tidak adalagi korban berjatuhan karena serangan dari kelompok radikal yang akan memecah belah Indonesia.

Lingkungan pendidikan merupakan sasaran empuk bagi para pelaku radikalisme, para siswa yang belum banyak mengetahui mengenai tabiat-tabiat para kaum radikal akan lebih mudah untuk didoktrin supaya mau bergabung dengan mereka, dengan berbagai trik dan tipu daya untuk mengkader anak-anak belasan tahun ini.

Maka dari itu harus adanya pengawasan dan pengawalan untuk para peserta didik dalam sebuah lembaga pendidikan dari guru dan stakeholder yang ada, supaya lembaga pendidikan bersih dari sasaran pengaderan paham radikalisme. Salah satunya adalah proteksi dari guru Pendidikan Agama dan Budi Pekerti.

Dalam sekolah negeri mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti diberikan hanya satu minggu sekali, sehingga tidak bisa memenuhi segala aspek dalam pembelajaran khususnya dalam memahami Islam secara keseluruhan. Waktu yang singkat membuat para peserta didik yang haus akan ilmu agama dan tidak memilki background pendidikan pesantren akan mencari sumber ilmu di luar sekolah.

Seperti membaca buku, mengikuti kajian dan juga mencari video-video di youtube maupun media sosial. Dengan semangat yang mengebu-gebu dengan dalih ingin berhijrah, para peserta didik yang penasaran dengan ajaran agama, yang menganggap bahwa ajaran Islam yang selama ini mereka anut salah karena tidak sesuai dengan syariat akan semakin yakin bahwa apa yang sedang dipelajarai adalah benar, tanpa mencari tahu sumber dan background aliran yang sedang dianut. Hal itu yang menyebabkan masuknya  akar radikalisme dalam setiap diri mereka.

Munculnya berbagai ormas yang ikut andil di dunia pendidikan dan menyebarkan syariat yang mereka anut kepada para peserta didik. Beberapa ciri-ciri ormas tersebut adalah: pertama, menggunakan ajaran Islam khas Timur Tengah. Kedua, memahami Islam secara harfiah. Ketiga, mengenalkan istilah-istilah baru yang bernuansa Arab seperti, halaqah, dawrah, mabit.

Keempat, menggunakan kata ganti orang atau sebutan dengan bahasa Arab seperti: antum, anna, annti, ukhti, ikhwan. Kelima, melaksanakan kajian atau kegiatan keagamaan di dalam rumah yang hanya diikuti oleh anggota ormas tersebut. Kajian tersebut terkesan tertutup dan hanya diikuti oleh internal saja.

Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo melaksanakan penelitian pada Oktober 2010 – Januari 2011, mengungkapkan lebih dari 50% pelajar setuju dengan tindakan radikal. Data tersebut terdiri dari 25% siswa dan 21% Guru yang menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak relevan.

Sementara 84,8% siswa dan 76,2% gguru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.

Dari survei di atas dapat ditarik benang merah, bahwa peserta didik usia SMP/Sederajat hingga SMA/Sederajat adalah sasaran empuk dalam pengaderan kelompok radikal, masa remaja adalah masa eksplor dan pencarian jati diri di mana ketika seseorang tidak memiliki background akidah yang kuat maka akan mudah didoktrin mengenai pemurnian Islam dan ajaran Islam yang memang seharusnya diterapkan di Indonesia.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri khususnya guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti khususnnya di lingkungan sekolah negeri. Untuk menamankan Islam yang moderat dan ramah kepada para peserta didik supaya mereka tidak terjebak dalam jeratan radikalisme.

Peran Guru PAI dalam Menangkal Radikalisme

Dalam akronim Jawa guru ialah digugu lan ditiru dalam bahasa Indonesia bermakna guru adalah seseorang yang perilaku, perbuatan, tutu kata dan adabnya di percaya dan ditiru, maka dari itu sudah seyogianya para guru memberikan contoh perilaku terbaik untuk para peserta didiknya.

Dalam mata pelajaran PAI berisi doktrin-doktrin mengenai keagamaan dan keislaman ini tugas guru bukan hanya memahamkan peserta didik, namun juga mendidik dan membiasakan perilaku terpuji. Sebagai guru PAI juga harus bisa menanamkan nilai-nilai toleransi dalam peserta didik, dikarenakan yang bersekolah disekolahan negeri bukan hanya yang beragama Islam, namun dengan berbagai latar keagamaan, dengan begitu para peserta didik dapat menghargai setiap perbedaan.

BACA JUGA  Mitos: Menyangkal Labelisasi Agama sebagai Sumber Konflik dan Kekerasan

Dalam rangka mencegah masuknya radikalisme pada peserta didik guru PAI berperan penuh, guru PAI adalah guru yang mengajar dan mendidik agama bagi para siswa sehingga sudah menjadi tugas guru untuk ikut andil ketika ada ancaman radikalisme pada setiap peserta didiknya. Guru adalah orang tua siswa ketika di sekolah, maka dari itu ada beberapa hal yang bisa dilakukan guru PAI dalam menangkal radikalisme siswa. Anatara lain:

Pertama, mengajarkan kepada para peserta didik untuk tidak memahami ayat Al-Qur’an dan hadist sebagai teks saja. Seseorang yang baru belajar memahami isi Alquran hendaknya dijelaskan mengenai bagaimana seharusnya seseorang memahami isi dari Alquran tersebut, bukan hanya memahami  makna atau isi Alquran dari terjemahan namun juga asbabun nuzul dan asbabul wurudnya.

Dan memahamkan atau memberi pengertian kepada para peserta didik untuk mengenal sumber hukum selain Alquran dan Hadist seperti Ijma’dan Qiyas. Supaya peserta didik dapat belajar dari berbagai hal dan berbagai sumber.

Kedua, mengenalkan berbagai macam mazhab, dengan mengenal berbagai macam mazhab para peserta didik akan lebih moderat dan tidak kaku dalam menghadapi perbedaan. Tidak akan mudah mengafirkan sesama muslim dan mencemooh seorang yang berbeda. Para peserta didik akan lebih toleran dengan perbedaan dan tidak fanatis dengan salah satu madzhab. Hal ini dilakukan untuk menangkal atau upaya deradikalisasi.

Ketiga, mencaritahu background penceramah yang diundang ketika ada acara hari besar keagamaan maupun pembimbing dalam majelis taklim. Hal ini sangat penting dilakukan dalam proses deradikalisasi. Terkadang sekolah mengundang seorang ustaz atau penceramah untuk mengisi acara hari besar keagamaan atau menjadi pembimbing majelis taklim sekolah.

Sebelum menetapkan narasumber hendaknya guru PAI beserta stakeholder di sekolah telah mengetahui background pendidikan, aliran maupun organisasi yang diikuti oleh ustaz tersebut, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran paham radikal yang dibawa dari luar sekolah kepada para peserta didik.

Keempat, melaksanakan tambahan pelajaran seperti kegiatan rutinan pengajian atau siraman rohani setiap minggu. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di dalam kelas hanya diberi waktu 3 jam pelajaran setiap minggu, yakni sekitar 45 menit (tergantung kebijakan sekolah) x 3 jam.

Waktu yang sangat singakat apabila digunakan untuk mengkaji Islam secara keseluruhan, maka dari itu perlu adanya jam tambahan atau kegiatan rutinan yang dilakukan oleh guru PAI hal ini dilakukan untuk mendapatkan kedekatan atau chemistry antara pendidik dan peserta didik supaya guru bisa memantau kegiatan keagamaan dan organisasi apa yang sedang peserta didik ikuti.

Kelima, melakukan pendampingan pada kegiatan majelis taklim disekolah. Usahakan guru PAI menjadi pembimbing majelis taklim disekolah  supaya dapat memutus mata rantai penyebaran paham radikal melalui majelis taklim. Terdapat beberapa majelis taklim sekolah yang disinyalir bersifat radikal karena tidak adanya pengawasan dari guru yang bersangkutan.

Bahkan kajian yang dilaksanakan dalam sekolah tersebut bersumber dari video-video dari sosial media. Seyogianya pembelajaran ilmu agama harus bersumber dari guru dengan sanad keilmuan yang jelas, karena media sosial hanyalah alat.

Keenam, apabila ada siswa yang nyaris terindikasi bergabung dalam gerakan radikalisme dilaksanakan mediasi. Ketika guru menemukan hal aneh pada siswa, seperti suka menyendiri, mudah mengkafirkan dan enggan toleransi sering menyebut kawan lainnya berbuat bid’ah karena tidak sesuai dengan ajaran yang dianutnya. Maka guru harus melakukan mediasi atau memanggil siswa tersebut untuk di arahkan menuju pembelaran Islam yang moderat. Supaya akkar-akar radikalsme dapat hilang dari jiwa peserta didik tersebut.

Guru adalah orang tua siswa ketika di sekolah maka dari itu harus adanya proteksi supaya supaya para peserta didik tidak terjerumus dalam lingkaran radikalisme. Menangkal radikalisme bukan hanya tugas BNPT namun tugas setiap warga masyarakat Indonesia, untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang damai tanpa adanya ketakutan ancaman dari kelompok radikal. Mari cegah radikalisme di lingkungan pendidikan.

Anisa Rachma Agustina
Anisa Rachma Agustina
Mahasiswa Prodi PAI, Penggiat Literasi Pena Aswaja INISNU Temanggung.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru