Harakatuna.com – Setiap tanggal 25 November, Indonesia merayakan Hari Guru Nasional. Penetapan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1994, yang juga merujuk pada sejarah penting Persatuan Guru Indonesia (PGI). Organisasi ini sebelumnya dikenal sebagai Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) dan mengalami transformasi usai proklamasi kemerdekaan RI.
Kongres Guru Indonesia pertama, yang berlangsung pada 24–25 November 1945 di Surakarta, Jawa Tengah, menjadi tonggak sejarah penting. Salah satu keputusan signifikan dari kongres tersebut adalah penghapusan diskriminasi berbasis suku, agama, ras, politik, dan lainnya.
Namun, peringatan Hari Guru Nasional tidak seharusnya sekadar menjadi momen seremonial. Tantangan dunia pendidikan hari ini jauh lebih kompleks. Salah satunya adalah isu kesejahteraan guru yang masih jauh dari kata layak.
Selain itu, degradasi karakter siswa juga menjadi perhatian serius, terutama karena derasnya arus informasi di media sosial yang tidak tersaring dengan baik. Dalam situasi itu, peran guru menjadi sangat penting sebagai pembimbing moral yang menghadapi tantangan era digital.
Salah satu tantangan terbesar yang harus diatasi oleh lembaga pendidikan adalah upaya pencegahan radikalisme di sekolah. Mengapa hal itu menjadi krusial? Siswa, sebagai kelompok dengan rasa ingin tahu yang tinggi, mudah terpengaruh oleh informasi yang mereka dapatkan, terutama melalui media sosial. Loyalitas mereka terhadap kelompok tertentu juga dapat membuat mereka rentan terhadap ideologi radikal.
Di lingkungan masyarakat yang cenderung homogen, siswa kerap kesulitan menerima perbedaan—baik dari segi agama, suku, ras, maupun budaya. Karena itu, guru harus mampu membawa pembelajaran yang kontekstual, mengenalkan keberagaman, dan mengajarkan nilai-nilai toleransi.
Pembelajaran di sekolah tidak cukup hanya berfokus pada buku teks. Guru perlu menghubungkan materi pelajaran dengan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Hal itu akan membantu siswa memahami realitas di luar sekolah dan membangun sikap kritis terhadap berbagai isu.
Peran Guru dalam Mencegah Radikalisme
Sedikitnya, guru memiliki dua strategi utama untuk mencegah radikalisme di kalangan siswa. Pertama, pembelajaran inklusif. Indonesia adalah bangsa yang plural, namun budaya homogen masih sering menjadi pola pikir masyarakat. Banyak individu yang merasa kelompoknya paling benar tanpa memberikan ruang untuk memahami kelompok lain.
Dalam konteks itu, guru perlu menerapkan pembelajaran inklusif agar siswa memahami dan menghargai perbedaan. Pendekatan semacam itu tidak sekadar membangun kesalehan sosial, tetapi juga kesalehan individual. Pendidikan inklusif harus menjadi dasar di semua jenjang pendidikan agar siswa terbiasa hidup berdampingan dalam keberagaman.
Kedua, pembelajaran konseptual. Guru perlu membawa fenomena sosial yang sedang terjadi ke dalam pembelajaran di kelas. Isu-isu yang menjadi perbincangan publik, seperti konflik berbasis SARA, dapat dijadikan bahan diskusi yang relevan. Dengan demikian, siswa tidak belajar teori semata, tetapi juga memahami bagaimana teori tersebut berhubungan dengan realitas. Pendekatan tersebut akan membantu mereka menjadi individu yang kritis dan reflektif terhadap tantangan masyarakat.
Agar langkah-langkah tersebut dapat terlaksana, guru harus memahami peran mereka sebagai garda terdepan dalam pencegahan radikalisme di sekolah. Guru harus memiliki kemampuan analisis, berpikir kritis, dan memahami isu-isu lapangan. Pemerintah juga perlu mendukung dengan menyediakan pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi para guru. Dengan kolaborasi antara lembaga pendidikan dan pemerintah, guru dapat benar-benar menjadi ujung tombak dalam menangkal radikalisme.
Wallahu A’lam.