32.1 C
Jakarta

Guru dan Misi Pengentasan Radikalisasi Daring di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpiniGuru dan Misi Pengentasan Radikalisasi Daring di Indonesia
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Modernisasi yang didorong oleh pesatnya perkembangan teknologi, termasuk kecanggihan Artificial Intelligence (AI), telah menggeser bahkan mengubah berbagai aktivitas manusia. Dari yang semula dilakukan secara offline, kini hampir semua bergeser menjadi serba online, termasuk dalam penyebaran paham radikal. Realitas ini menjadi fakta tak terelakkan dalam kehidupan manusia abad ke-21.

Karakteristik media digital dan AI yang terbuka untuk diakses serta mampu menyebarkan konten atau informasi tanpa filter menjadikannya pedang bermata dua. Di satu sisi, media digital membawa dampak positif, tetapi di sisi lain, ia juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap penggunanya, bahkan terhadap keutuhan bangsa dalam konteks yang lebih luas. Bagaimana tidak, terdapat ratusan ribu konten berpaham radikal yang tersebar di platform digital. Hal itu menunjukkan bahwa kelompok radikal telah memanfaatkan media digital sebagai alat utama untuk menyebarkan pengaruhnya.

Data dari Alvara Research menunjukkan bahwa aplikasi AI yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia meliputi ChatGPT/OpenAI, Gemini, dan Copy.ai. Sementara itu, survei Populix yang dirilis Katadata mengungkapkan bahwa 51% pengguna AI dan media digital di Indonesia berasal dari kelompok usia 15–17 tahun. Usia tersebut tergolong rentan, karena para pengguna masih dalam fase mencari jati diri. Situasi itu menjadi permasalahan serius apabila mereka tidak dibekali dengan literasi digital yang memadai serta nasionalisme yang kokoh.

Di sinilah pendidikan, khususnya peran guru, menjadi sangat krusial. Guru memiliki tanggung jawab untuk membekali generasi muda dengan ilmu literasi digital yang mencakup kemampuan mengenali konten negatif, seperti paham radikal, sekaligus menginternalisasi nilai-nilai nasionalisme. Hal itu penting karena mayoritas pengguna AI dan media digital adalah anak muda yang masih berada dalam lingkungan pendidikan formal.

Arah dan Tujuan Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan elemen integral dari eksistensi dan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan generasi muda dan SDM yang unggul serta bermartabat. Tujuan tersebut hanya dapat dicapai apabila terdapat sinergi antara sistem pendidikan nasional, guru, dan ketersediaan sarana pendidikan yang memadai.

Dalam konteks Indonesia, pendidikan nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Sebagai penjaga garda depan pendidikan, guru diharapkan mampu mengadaptasi metode pengajaran yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya terlindungi dari bahaya radikalisasi daring, tetapi juga mampu memanfaatkan teknologi untuk pembangunan bangsa.

Tujuan pendidikan nasional harus diterjemahkan oleh institusi pendidikan dan guru ke dalam pembelajaran yang mendorong siswa untuk mampu menyaring informasi serta konten yang tersebar di media digital. Namun, keterbukaan akibat digitalisasi menciptakan tantangan baru. Aktivitas peserta didik kini lebih banyak berlangsung di ruang-ruang digital dibandingkan interaksi sosial langsung dengan masyarakat.

BACA JUGA  Syukur dan Ujian Kenikmatan: Tinjauan Konseptual-Praktis dalam Islam

Data yang dirilis Kompas menunjukkan bahwa rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu sekitar 7 jam per hari di media digital. Sayangnya, waktu tersebut sering dihabiskan tanpa panduan yang memadai, sehingga paparan terhadap konten negatif, termasuk yang berisi paham radikal, menjadi sulit dihindari.

Oleh karena itu, peran institusi pendidikan dan guru tidak cukup hanya beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan media digital. Guru juga harus mengajarkan cara memilih konten yang bermanfaat, relevan, dan selaras dengan ideologi serta dasar negara Indonesia. Hal itu memastikan teknologi digunakan untuk mendukung perkembangan siswa secara positif, bukan menjadi ancaman.

Guru: Penjaga Keutuhan Bangsa

Guru di Indonesia merupakan tenaga kependidikan profesional yang bertugas mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik agar menjadi manusia unggul dan mampu mewujudkan cita-cita bangsa. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, memberikan pedoman melalui semboyannya: “Ing ngarso sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.” Semboyan ini memiliki arti mendalam:

  • Di depan, guru harus menjadi teladan dan panutan.
  • Di tengah, guru harus mampu memberikan semangat dan motivasi.
  • Di belakang, guru harus mendukung dan mendorong peserta didik untuk maju.

Prinsip tersebut tetap relevan dalam konteks pendidikan modern, terutama dalam membimbing siswa agar terhindar dari paparan ideologi yang merusak.

Guru dan lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam mengawal potensi siswa agar berkembang ke arah yang positif. Paham radikalisme, yang sering menjadi akar tindakan kriminalitas dan aksi terorisme, adalah ancaman nyata. Sejarah mencatat tragedi bom Bali pada tahun 2002, yang menewaskan 202 orang, hingga pengeboman gereja di Surabaya pada 2018, yang melibatkan satu keluarga dan menewaskan puluhan orang. Kejadian-kejadian itu menyisakan trauma mendalam dan kekhawatiran bagi masyarakat.

Guru, dalam perannya yang multifungsi, tidak hanya berperan sebagai pendidik profesional. Lebih dari itu, guru adalah penjaga pertumbuhan moral, intelektual, dan potensi peserta didik. Guru juga harus aktif menjaga keutuhan bangsa dengan melindungi generasi muda dari infiltrasi radikalisme yang dapat datang melalui teman, lingkungan masyarakat, maupun media digital.

Dengan memanfaatkan teknologi secara bijak, guru dapat menciptakan generasi tangguh yang tidak hanya memiliki literasi digital, tetapi juga pemahaman ideologi yang kuat. Pendidikan berbasis nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan menjadi fondasi utama dalam membangun generasi muda yang kritis, kreatif, dan cinta tanah air.

Maka, sinergi antara guru, institusi pendidikan, keluarga, dan pemerintah menjadi kunci dalam menghadapi tantangan era digital. Guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga penjaga peradaban yang mengawal perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih aman, damai, dan bermartabat.

Imam Syafi'i
Imam Syafi'i
Mahasiswa Magister Prodi Interdisiplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru