26.7 C
Jakarta
Array

Gonjang-ganjing Literasi

Artikel Trending

Gonjang-ganjing Literasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbagai data menunjukkan kondisi literasi di Indonesia ada di titik yang mengecewakan. Data UNESCO menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Satu dari 1000 yang memiliki minat untukmembaca.Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. 64 dari 65! 

Penyebab lainnya, budaya menonton masyarakat Indonesia yang tinggi. Hal ini melemahkan minat membaca dan menulis siswa di Indonesia. Berdasarkan data BPS, dikatakan bahwa, jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per hari. Jumlah ini terlalu besar dibanding anak-anak di Australia yang hanya 150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari. Sementara di Kanada 60 menit per hari.

Di tengah pelbagai data yang negatif tentang tanah air tercinta, ada sehembus napas yang melegakan. Belum lama ini (29/12/15), Jakarta dideklarasikan sebagai provinsi literasi pertama. Sebelumnya ada Surabaya yang diproklamirkan jadi kota literasi pertama dan SMP 10 Salatiga yang diklaim sebagai sekolah literasi pertama.

Embel-embel gagah ‘literasi pertama’ tersebut bermuara pada sebuah proyek yang mulia, Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan tersebut dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuan gerakan ini untuk membiasakan dan memotivasi siswa agar mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti.Salah satu bentuk riil dari gerakan ini adalah dianjurkannya membaca buku non pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai.

Namun seolah kembali berlawanan dengan semangat literasi tersebut, setiap tahun harga buku selalu naik sekitar 10 hingga 20 persen.Kenaikan tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Harga kertas yang terus melambung, bermacam-macam pajak, inflasi, dsb. Celetukan-celetukan bahwa distribusi buku di Indonesia dimonopoli oleh toko buku ‘G’ juga tak boleh dianggap sepele. Buku-buku (terutama yang baru) seolah ada di rak eksklusif yang tak tergapai.

Intelegensia Embun Pagi, buku baru Dee yang diterbitkan Februari 2016 ini dibandrol dengan harga Rp. 118.000. AAC 2 dijual dengan kisaran harga Rp. 95.000. Buku-buku baru Tere Liye juga harga segitu. Kemudian Ayah karya Andrea Hirata, harga launchingnya sembilan puluh ribu, kalau gak salah inget. Itu jatah makan seminggu untuk sebagian orang.

Dari tadi mengeluh mulu yak? Lalu apa solusinya? Bagaimana mengatasi harga-harga yang tak masuk di akal itu? Kritik yang konstruktif dong! Yep!!!

Berikut hal-hal yang bisa dilakukan sejauh ini.

1. Bangun/ ikut komunitas. Tukar guling buku. Pinjem-pinjeman sama temen sekomunitas. Saling merekomendasikan buku favorit. Angkringan Literasi Kreatif (ALIF),sudah memberikan jalan untuk itu. Tinggal gimana manfaatinnya.

2. Beli buku bekas. Buku bekas tak kalah menggoda. Dengan harga bisa sampai 90% lebih murah, bahkan gratis(bonus pembelian). Kalau dapat koleksi pribadi yang masih mulus bahkan sudah disampul dengan rapi. Main ke ‘G’ kolo-kolo saja, karena sesungguhnya ‘G’ adalah kemewahan. 

3. Pakai aplikasi dan baca ebook. Sesungguhnya kita beruntung sekali hidup ditengah kemajuan teknologi. Dengan adanya buku yang lewat hak ciptanya, kita legal membacanya. Berbagai karya-karya klasik dan berbagai ebook yang legal maupun ilegal(kalau tega) bisa lho diakses secara bebas. Sekarang ada platform baru namanya Bookmate yang sudah kerja sama dengan Bentang. Sebagai pendaftar baru, kita dikasih akses selama sebulan free. Dengan 4000 buku lokal di librarynya dan 500.000 buku keseluruhan dari berbagai bahasa. Bulan selanjutnya baru berbayar. Kita bisa membaca buku-buku baru (seperti Ayah – Andrea Hirata) secara legal. Menarik untuk dicoba bukan?
[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru