29.7 C
Jakarta

Goes to 2023: Media dan Vaksin Pemberantasan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifGoes to 2023: Media dan Vaksin Pemberantasan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tahun 2022 telah berlalu, meninggalkan banyak catatan terkait kerukunan dan masalah kebangsaan. Dunia yang semakin dipimpin digitalisasi, menjadikan wajah kerukunan berubah secara cepat. Zaman kuno yang menunjukkan batas kerukunan dengan gotong royong, diubah dalam dunia digital menjadi kerukunan ke arah komunikasi yang lebih ramah. Saling balas pesan kebajikan adalah indikator utama bagi ketenteraman itu.

Apabila melihat kilas balik satu tahun silam, tentunya banyak kejadian yang turut meramaikan pergolakan bangsa. Mulai dari politik identitas, kerusuhan yang ditunggangi oleh beberapa kelompok, islamfobia, isu kebangkitan khilafah 2024, hingga upaya pergantian ideologi yang dibuntuti terorisme.

Alur persoalan tersebut, dapat menuai hasil yang cepat dengan bantuan media sosial. Iklim persebaran informasi yang cepat, mampu mereduksi pemikiran individu ataupun kelompok, hingga berubah menjadi satu dukungan yang kuat terhadap satu gerakan yang dibentuk.

Mengutip pernyataan eks-Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, media sosial adalah senjata berbahaya untuk memicu kerusuhan di berbagai negara. Media sosial digunakan sebagai persebaran informasi teror ataupun narasi perekrutan, yang mengajak seluruh elemen untuk melakukan kudeta pada suatu negara. Akibatnya terjadi berbagai tindak kekerasan yang menewaskan banyak korban.

Dua Sisi Media

Pippa Noris (2013) membagi penggunaan media sosial dalam 2 kelompok besar, yaitu cyber-optimist dan cyber-pesimist. Kelompok cyber-optimist menganggap media sosial sebagai peluang untuk membantu manusia menghadapi zaman. Ia mampu menyapu sekat-sekat konvensional anatar rakyat dengan penguasa, sehingga seluruh elemen dapat urun suara dalam menentukan arah kebijakan negara. Media sosial bisa menjadi alat hebat yang membangun fondasi demokratis bagi negara.

Sedangkan kelompok cyber-pesimist lebih menyoroti media yang menyebabkan misinformasi, hingga membawa malapetaka. Misalnya misinformasi terkait Islamfobia ataupun kebangkitan khilafah di tahun 2024, yang menyebabkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Kemudian peperangan yang terjadi di Timur Tengah yang diawali oleh salah paham dan perang narasi di media. Kesemuanya menempatkan media sebagai ujung tombak pergerakannya.

Buku Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resenment (2018) karya Francis Fukuyama menjabarkan penyebab utama terjadinya politik identitas, yaitu adanya tuntutan dari suatu kelompok untuk diakui martabatnya. Tuntutan ini pada praktiknya diikuti oleh tudingan kotor yang dilemparkan kepada beberapa kelompok yang bersebrangan. Pada akhirnya, timbul salah paham yang menyebabkan perang narasi, yang saling menjelekkan antara satu kelompok dengan kelompok lain di media sosial.

BACA JUGA  Bahaya Islam Transnasional dan Kewajiban Masyarakat untuk Memeranginya

Parahnya, kuatnya animo politik identitas dari satu kelompok, dibumbui oleh berita hoaks yang masif disebarkan. Tercatat pada tahun 2022 kemarin, Robinopsnal Bareskrim Polri mencatat peningkatan berita hoaks selama lima bulan pertama.

Data tersebut mengalami peningkatan sebesar enam kali lipat dibandingakan lima bulan pertama di tahun 2021. Bahkan penindakan terhadap kasus penyebaran berita palsu terus dilakukan setiap bulan. Bahkan pada bulan Januari hingga Maret, polisi sampai menindak tiga belas perkara.

Kokohkan Pilar Persatuan Bangsa

PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945) adalah pilar persatuan yang dapat dikerahkan untuk menutup celah misinformasi dalam dunia digital. Dengan adanya pedoman PBNU, Indonesia dapat menghadapi media sosial di tahun berikutnya dengan rasa percaya antara satu individu dengan individu yang lain.

Problem utama terciptanya misinformasi terkait kriminalisasi ajaran Islam, pemerintah anti-Islam, moderasi beragama yang menjadi proyek asing, hingga isu kebangkitan khilafah di tahun 2024 adalah adanya kecurigaan antara satu pihak dengan pihak lain.

Oleh karenanya, PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945) adalah kunci utama yang dapat melebur keseluruhan ego, perbedaan, dan rasa curiga dari masing-masing kelompok menjadi rasa nasionalisme dan cinta tanah air. Menjadikan seluruh kepentingannya satu arah dengan kemajuan bangsa. Sehingga dalam konsensus permasalahan di atas, dapat dibasmi dengan rasa percaya dan saling jaga.

Tahun 2023 adalah momentum baru untuk menumbuhkan rasa persatuan dari masing-masing individu. Menjadikan kesemuanya sebagai hal baru, yang bernilai positif dalam khazanah bermedia.

Sehingga media yang kini telah menjadi rumah kedua, dapat terasa nyaman dan aman untuk ditinggali semua orang. Potensi-potensi negatif yang ada di media, harus dipukul rata dan diganti dengan nuansa baru yang bernilai positif.

Maka sambutan paling berharga dalam rangka goes to 2023 adalah transformasi media ke arah yang lebih bersahabat terhadap kemaslahatan bangsa. Dari situ, media akan mengejawantah sebagai vaksin yang menyebuhkan virus terorisme di negara tercinta, Indonesia.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru