27.9 C
Jakarta

Gimmick Islam Tertindas: Kita, Aktivis Khilafah, dan Hegemoni Muslim

Artikel Trending

Milenial IslamGimmick Islam Tertindas: Kita, Aktivis Khilafah, dan Hegemoni Muslim
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Ketika Jokowi, dalam  pidatonya Rabu (5/5) lalu, mengendorse bipang ambawang, dunia pemberitaan heboh. Banyak pihak berkomentar yang arahnya menghujat, menyalahkan presiden karena mempromosikan babi panggang yang, bagi Muslim, haram. Seharusnya kita berpikir, kenapa setiap kebijakan publik, selalu kita pandang menggunakan kacamata Islam saja? Kenapa kita bermental menindas, sementara pada saat yang sama, kita juga merasa bahwa Islam tertindas?

Sebuah foto demonstrasi aktivis HTI di Malioboro, Yogyakarta, tahun lalu, kembali beredar dan ditanggapi beragam. Foto lawas tersebut memberikan narasi bahwa umat Islam hari ini tengah tertindas. Penyerangan jemaah shalat tarawih di Masjidil Al-Aqsha oleh tentara Israel—yang kita semua mengutuk tindakan zionis tersebut—dijadikan alasan. Tujuannya untuk menyuarakan kembali bahwa satu-satunya jalan menuju kejayaan ialah tegaknya khilafah.

Narasi Islam tertindas telah menjadi tipu muslihat (gimmick) aktivis khilafah. Sementara, disadari atau tidak, kita yang menentang HTI pun sering kali terjebak mental hegemonik—seolah semua hal di ruang publik adalah kepada, dan untuk, umat Islam. Kita sebagai Muslim terjerembab kompleks superioritas (Superiority Complex), gangguan jiwa karena keinginan mencapai kesempurnaan dalam segala aspek, tidak ingin dipandang rendah dari agama lain dan justru hegemonik.

Boleh jadi, ketidakjeraan aktivis khilafah untuk melakukan indoktrinasi adalah mental hegemonik tersebut. Mereka memahami bahwa umat Islam di Indonesia, sebagai mayoritas, harus lebih tinggi dari agama lain, dan kita juga merasa demikian. Ketika utopia hegemoni tidak kunjung nyata, maka kita pun merasa bahwa Islam tertindas. Mari kita introspeksi, di negara Indonesia yang majemuk, atas dasar apa kita merasa berhak bahwa Islam di ruang publik lebih leluasa daripada agama lain?

Bipang ambawang kita protes. Pembangunan gereja kita protes. Bahkan, Gus Miftah masuk gereja untuk kepentingan tertentu, juga kita hujat—seolah gereja tidak layak untuk kita. Kita ini Muslim yang bagaimana? Kenapa kita justru semakin terseret gimmick aktivis khilafah bahwa Islam tertindas sementara kitalah yang menindas segala yang berbeda dari kita?

Politik Islam Tertindas

Gambar demonstrasi aktivis khilafah di Maliboro memang kasus lama. Tetapi, disadari atau tidak, mindset bahwa Islam tertindas selalu menghantui keberagaman. Pancasila sebagai dasar negara yang menyetarakan kita semua tanpa pandang agama, ternyata belum teramalkan sepenuhnya. Kalau pelakunya terbatas pada aktivis khilafah, mungkin kita bisa memaklumi. Tetapi jika mindset bahwa Islam tertindas merebak ke seluruh Muslim Indonesia apa jadinya?

BACA JUGA  Iran: Antara Stigmatisasi Syiah dan Tersingkapnya Topeng Kemunafikan Wahabi

Islam adalah agama terbesar di Indonesia, namun bukan berarti ia laik hegemonik. Kita sebagai Muslim harus tepo seliro, tenggang rasa, kepada saudara yang berbeda agama. Di ruang publik, yang bisa dijual bukan hanya makanan halal ala Muslim. Dan ketika Islam diposisikan secara egaliter, itu bukan berarti Islam tertindas. Adalah salah jika kita berpandangan bahwa bakso yang halal tidak bisa dijual berdampingan dengan bipang. Di ruang publik, yang berbeda punya hak yang sama.

Karenanya, biarkan saja. Muslim hendak masuk gereja, silakan. Presiden yang Muslim hendak endorse babi panggang, tidak masalah. Keragaman kita harus ekstensif dan kita tidak boleh terbawa narasi aktivis khilafah yang memandang segala persoalan dari kacamata Islam semata. Pandangan hegemonik cenderung menindas, padahal Islam bukan satu-satunya agama. Apalagi, alasannya karena mayoritas. Apalagi, alasannya hanya karena Islam tidak menegakkan khilafah.

Berjaya dengan Khilafah

Hegemoni Muslim boleh jadi merupakan konsekuensi dari Islam sebagai mayoritas, tetapi gimmick aktivis khilafah teresebut tidak laik kita rawat. Mengambil kasus Palestina sebagai bukti ketertindasan Islam secara keseluruhan tidak sepenuhnya benar, betapapun kita semua sebagai Muslim berempati dengan saudara seagama di Masjid Al-Aqsha. Anggapan aktivis khilafah bahwa Palestina akan berjaya jika khilafah tegak tidak lebih dari bualan belaka. Masalahnya tidak sesederhana itu.

Dengan demikian, menjadi keniscayaan bagi kita untuk sadar bahwa gimmick Islam tertindas sengaja didesain bukan untuk menolong Islam, melainkan menjual gagasan khilafah ala Hizbut Tahrir. Islam tidak tertindas karena khilafah runtuh, dan tidak akan berjaya hanya karena khilafah ala HTI tegak. Tetapi yang jelas, Islam akan jadi agama yang menindas kalau mindset kita, Muslim, terprovokasi  aktivis khilafah: bercita-cita menghegemoni seluruh umat beragama di bawah bendera Islam.

Jarak kita dengan aktivis khilafah tidak jauh. Andaikan dalam berbagai persoalan bangsa kita selalu ingin agama kita ada di depan dan mengenyampingkan agama lain, di situlah penindasan terjadi. Maka, mental hegemonik harus kita hapus.

Di ruang publik tidak ada hegemoni agama tertentu. Hak Islam sama dengan agama lainnya, tidak ada pengistimewaan. Kita yang Muslim mesti sering mengaca, jangan-jangan sudah terjebak gimmick aktivis khilafah; menganggap Islam tertindas. Kendati menentang khilafah, jika bermental demikian, kita tidak ada bedanya dengan mereka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru