Harakatuna.com. Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj menyebutkan gerakan radikalisme Islam yang ada di Indonesia sekarang ini merupakan line up atau impor dari luar negeri. Dikatakan, gerakan radikalisme di Indonesia bukan betul-betul lahir dari kemauan dari dalam diri sendiri.
“Dulu barangkali sebelum era digital, kelompok radikalisme Islam yang ada di Indonesia, tapi bagaimanapun masih ada rasa nasionalisme,” kata Said Aqil Siradj saat menjadi pembicara dalam webinar dengan tema Langkah Nyata Merajut Kebhinnekaan NKRI yang digelar secara virtual oleh Badan Pelayanan Nasional Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia, Jumat (20/8/2021).
Seperti gerakan DI/TII di masa lalu, kata Said Aqil, mereka tetap memiliki rasa nasionalisme, meski tetapi mempunyai keinginan yang kuat menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Hal itu menunjukkan keyakinan terhadap gerakan tersebut betul-betul lahir dari kemauan di dalam diri sendiri.
Namun, saat era digital seperti saat ini, keinginan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam bukan lagi murni kemauan dari dalam diri melainkan line up dari luar negeri, mulai dari Al Qaeda, ISIS, Taliban dan gerakan radikal lainnya.
“Makanya setiap gerakan radikalisme di Indonesia ini pasti ada hubungannya dengan luar. Beda dengan dulu, ketika DI/TII, dari dalam (diri), hanya tujuan mereka adalah negara Islam, lahir dari dalam diri, tidak line up dari luar negeri. Kalo sekarang ada yang biayain, ada yang membesarkan, ada yang mem-back up dan ada yang mem-blow up,” ungkap Said Aqil Siradj.
Perubahan tersebut, menurut Said, terjadi karena adanya kemajuan teknologi informasi di Indonesia. Dengan kemajuan teknologi informasi, masyarakat Indonesia sering menghadapi atau menemukan adanya adu domba, hoaks, berburuk sangka dan saling curiga.
“Akibat perkembangan IT ini, informasi yang tadinya ditekan sekarang bertambah bebas. Ditambah lagi ada gap ekonomi, gap intelektual, gap sosial yang sangat lebar, terjadi perbedaan antara yang elite dan yang rendah, dari segi pendidikan maupun intelektual, dari ekonomi maupun sosial,” jelas Said Aqil Siradj.