Harakatuna.com – Taliban merasa paling menerapkan Islam secara kafah. Para pria diharuskan menumbuhkan jenggot dan para perempuan diwajibkan mengenakan burkha yang menutup seluruh kulit. Mereka juga tidak memperbolehkan televisi, musik, dan bioskop hadir. Patung Buddha Bamiyan yang terkenal di Afghanistan juga dihancurkan. Puncaknya, anak perempuan di atas sepuluh tahun dilarang untuk sekolah.
Larangan itu menemui titik klimaks ketika pada tahun 2012 lalu, seorang gadis muda asal Pakistan ditembak dalam perjalanan menuju sekolah, Malala Yousafzai namanya. Melalui bukunya bertajuk I Am Malala (2013), ia menceritakan bagaimana tragedi itu berlangsung dan apa yang menimpa nasib negaranya ketika Taliban muncul.
“Teman-temanku mengatakan bahwa lelaki itu menembak tiga kali secara beruntun. Tembakan pertama menembus rongga mata kiriku dan keluar dari bawah bahu kiriku. Aku terkulai ke depan, menjatuhi Moniba, darah keluar dari telinga kiriku, jadi kedua peluru lainnya mengenai anak-anak perempuan di sebelahku. Sebutir peluru menembus tangan kiri Shazia. Peluru ketiga menembus bahu kirinya, melesat keluar, lalu menembus lengan kanan atas Kainat Riaz.”
Tindakan keji itu dilakukan oleh anggota Taliban yang buta dalam memaknai agama. Mereka membuat keadaan Pakistan menjadi serupa neraka yang datangnya terlalu cepat. Taliban tidak hanya merobek kebudayaan dan perkembangan intelektual tetapi juga merampas hak orang lain atas hidupnya, terutama dalam memperoleh pendidikan.
“Semenjak masa Taliban, sekolah kami tidak berpapan nama dan pintu kuningan berukir di dinding putih di seberang pekarangan pemotong-kayu itu tidak memberikan petunjuk apa yang ada di baliknya.”
Kalimat itu dituturkan Malala dalam pengantar bukunya. Sekolah, salah satu tempat yang menyediakan pengetahuan harus menghadapi ajal di tengah geliat perkembangan gerakan Taliban, kelompok militan yang kerap bertindak ekstrem.
Di Afghanistan, keadaan nyaris sama menyedihkannya ketika Taliban bangkit. Melalui film The Kite Runner (2007) garapan Marc Forster, penonton disuguhkan kengerian yang dialami anak-anak. Langit yang tadinya dipenuhi layang-layang, kebahagiaan, dan tawa berubah menjadi rasa takut, kekerasan, dan kriminal. Taliban memutus banyak ruang pengetahuan, ikatan keluarga, dan kebebasan orang lain dalam menikmati hidup.
Irak dan Gejala Kemunduran Islam
Irak baru saja mengeluarkan suara untuk perempuan atas nama Islam. Baru-baru ini, parlemen Irak resmi mengesahkan amandemen undang-undang yang melegalkan usia pernikahan menjadi 9 tahun. Konon, amandemen itu merujuk mazhab Jaafari atau Ja’fari, aliran Islam Syiah yang banyak dianut otoritas keagamaan Syiah di Irak. Menurut mazhab itu, batas menikah untuk perempuan 9 tahun dan laki-laki 15 tahun.
CNN (22/1/2025) menuliskan kalau para pembela amandemen, termasuk anggota parlemen yang konservatif, menilai perubahan tersebut sebagai sarana untuk menyelaraskan hukum dengan prinsip Islam dan mengurangi pengaruh Barat ke budaya Irak.
“Ini langkah penting dalam proses peningkatan keadilan dan pengorganisasian kehidupan sehari-hari warga negara,” ucap ketua parlemen Irak Mahmoud Al Mashhadani.
The Guardian (22/1/2025) menuliskan pendapat dari jurnalis Irak, Saja Hashim. Ia berkata: “Fakta bahwa ulama memiliki kekuasaan lebih tinggi dalam menentukan nasib perempuan sungguh mengerikan. Saya takut akan segala hal yang akan terjadi dalam hidup saya sebagai seorang perempuan.”
Di tangan orang-orang yang yang konservatif, agama menjadi hal yang justru mengerikan, alih-alih menjadi sumber kedamaian. Dasar apa pun yang dijadikan parlemen Irak untuk mengesahkan undang-undang tersebut sangat jelas tidak mengandung nilai Islam, meskipun mereka mengatakan demikian.
Kata ‘Islam’ terlalu mudah dijadikan legitimasi bagi kebijakan yang justru bertentangan dari esensi Islam yang sebenarnya. Kebijakan yang dipilih oleh Irak mengindikasikan terjadinya pergeseran tujuan agama dari anti kekacauan menjadi penyulut masalah. Menurunkan batas usia pernikahan menjadi 9 tahun tidak hanya berpotensi mencerabut hak anak untuk tumbuh dengan baik, tetapi juga berpotensi melegalkan pemerkosaan anak.
Bagaimana Masa Depan Indonesia?
Bukan tidak mungkin, Indonesia bisa bernasib seperti Pakistan, Afghanistan, dan Irak, seperti yang diceritakan dalam paparan sebelumnya. Kemungkinan itu bisa terjadi ketika gerakan keagamaan yang mengarah pada konservatif dan radikalisme terus dibiarkan tumbuh subur. Indikasi tumbuhnya gerakan itu umumnya menampilkan beberapa gejala: bersifat eksklusif, merasa memegang kebenaran absolut, anti perbedaan, hitam putih dalam melihat realitas, dan penuh kekerasan.
Gejala tersebut biasanya masuk dalam ruang pendidikan, kebudayaan, politik, dan ruang-ruang lain. Salah satu hal yang dapat kita soroti adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014. Regulasi tersebut mengatur soal seragam pelajar SD hingga SMA secara nasional.
Pasal 1 ayat 4 pada Permendikbud tersebut menjelaskan:
Pakaian seragam khas Muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik Muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah.
Menurut laporan Komnas Perempuan dan Human Rights Watch yang ditulis oleh VICE (12/8/2022) dalam beberapa tahun terakhir, peraturan tersebut sering dipahami secara berbeda oleh sekolah. Sekolah justru menjadikan aturan tersebut sebagai legitimasi untuk mewajibkan pelajar Muslim yang belum berjilbab. Akibatnya, banyak siswa yang dipaksa untuk mengenakan jilbab seperti yang pernah terjadi di Yogyakarta, Banguntapan, Sragen, dan beberapa wilayah lain.
Selain mengenai jilbab, pemaknaan soal kebudayaan juga mengalami nasib yang sama. Alissa Wahid dalam Kompas (11/11/2018) menceritakan keterkejutannya ketika salah seorang wali kota, dalam sebuah diskusi panel berkata: “Semua tradisi yang tidak sesuai dengan kitab suci harus kita ubah.” Pernyataan itu menunjukkan pandangan yang amat hitam putih dalam memandang realitas, tepatnya ritual tradisi budaya.
Akibat dari pemikiran tersebut, tindakan kekerasan atas nama agama kerap terjadi dalam pelaksanaan ritual kebudayaan. Misalnya yang terjadi pada acara Sedekah Laut masyarakat Bantul, DI Yogyakarta, dan Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi. Sedekah Laut yang punya sejarah kebudayaan panjang, diobrak-abrik oleh segerombolan orang dengan alasan bahwa aktivitas itu melawan ajaran agama, membawa kemusyrikan, menduakan Tuhan, dan karena itu harus diubah atau dimatikan.
Pemaksaan dalam berpakaian dan penghancuran kebudayaan adalah indikasi yang mengarah pada pemahaman keagamaan yang ekstrem. Fenomena tersebut memerlukan respon dari beragam pihak. Menangkap sinyal sekecil apa pun yang bertolak belakang dengan semangat kebhinekaan adalah hal yang penting.
Indonesia memiliki berjuta kekayaan yang dilimpahkan Tuhan. Realitas itu disadari oleh para pendiri bangsa hingga akhirnya melahirkan Pancasila yang menjadi titik tengah dalam menjembatani segala perbedaan. Jika keseragaman dipaksakan terjadi di Indonesia, terutama atas nama agama, nasib kita mungkin tak akan berbeda dengan negara-negara konflik lainnya. Tentu, kita tidak berharap demikian.