Harakatuna.com – Felix Siauw pernah mengatakan bahwa HTI masih “berdakwah” dengan berbagai cara. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa HTI bergerak di bawah tanah untuk memperpanjang napas pergerakan aktivisme khilafah.
Jika diamati, eks-HTI sering melakukan kompromi terhadap tren dan budaya populer yang sedang berkembang. Dari materi dakwah yang disampaikan oleh ustaz-ustazah HTI, selalu ada unsur kekinian, sesuai topik yang sedang hits di kalangan masyarakat.
Adaptasi semacam itu tidak dapat dilakukan oleh semua orang untuk menyasar audiens secara efektif. Sejauh ini, para aktivis HTI yang terang-terangan mengkampanyekan khilafah dalam berbagai spektrum dakwah memiliki kemampuan bagus dalam membaca tren yang digandrungi anak muda.
Penguasaan media untuk merebut suara anak muda melalui konten di Twitter, Instagram, TikTok, atau YouTube, selalu menarik perhatian netizen agar tertarik belajar agama.
Namun, untuk memahami bagaimana HTI terus bergerilya melalui dakwah bawah tanah untuk memperpanjang napas pergerakannya, ada beberapa aspek yang perlu dipahami, antara lain:
Pertama, dakwah dan ideologisasi di akar rumput. Para aktivis khilafah berdakwah di berbagai kelompok masyarakat, dari kelas menengah atas hingga mahasiswa. Kajian-kajian keislaman di kampus menciptakan ketertarikan tinggi di kalangan mahasiswa, membuat ideologi khilafah semakin diminati anak muda. Meskipun forum pengajian ini sering tidak mencantumkan nama HTI, nilai perjuangan mendirikan ideologi khilafah di Indonesia terasa sangat kental.
Di kalangan kelas menengah, eksklusivitas menjadi ciri khas pengajian HTI. Meskipun tidak semua forum pengajian ini diselenggarakan oleh HTI, perlu diwaspadai berbagai topik yang mengandung propaganda terhadap demokrasi dan kondisi pemerintah.
Kalangan menengah sangat tertarik dengan pengajian di hotel, kafe, atau tempat eksklusif lainnya, bukan di tempat umum seperti langgar atau lapangan. Sekali lagi, tidak semua materi yang disampaikan oleh aktivis HTI buruk, tetapi yang membahayakan adalah apabila materi tersebut berisi propaganda untuk melemahkan demokrasi dan menggantikan Pancasila dengan khilafah.
Kedua, pemanfaatan media yang masif. Media sosial menjadi ruang bebas bagi para aktivis khilafah untuk menyebarkan ideologi mereka. Meskipun HTI telah dilarang oleh pemerintah, hingga hari ini mereka masih eksis melalui platform seperti YouTube, Twitter, Facebook, dan media daring lainnya. Selama pandemi Covid-19, pengajian online yang disiarkan langsung melalui Facebook atau YouTube menjadi sarana efektif untuk menyebarkan ideologi khilafah.
Di tengah ketakutan dan kekhawatiran masyarakat menghadapi pandemi, mereka menyebarkan propaganda mengenai kebijakan pemerintah yang dinilai amburadul dan kasus kematian yang tinggi, sambil menawarkan khilafah sebagai solusi.
Meskipun pandemi sudah berakhir, banyak topik lain yang bisa dijadikan bahan propaganda, seperti ketidakmampuan pemerintah, masalah sosial yang tidak kunjung selesai, dan fenomena lain di masyarakat yang digunakan untuk menghidupkan ideologi khilafah.
Para aktivis khilafah memiliki kemampuan baik dalam menguasai media sosial, yang menjadi nilai tambah untuk menarik perhatian dan dukungan masyarakat. Perjuangan mereka untuk menyebarkan ideologi khilafah sangat panjang, tetapi perjuangan kita untuk mempertahankan NKRI dari upaya kelompok yang berkedok “Islam” ini harus terus diperkuat. Wallahu A’lam.