30.9 C
Jakarta

Gender dan Hak Perempuan dalam Al-Qur’an

Artikel Trending

KhazanahPerempuanGender dan Hak Perempuan dalam Al-Qur’an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam perspektif gender, laki-laki dan perempuan dalam relasi sosialnya memainkan peran dan kedudukan yang sama. Hal yang menjadi pembeda keduanya adalah berkaitan dengan sifat kodrat yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an tidak memberikan pembahasan lebih terperinci tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan. Namun, tidak berarti Al-Qur’an tidak mempunyai wawasan tentang gender.

Perspektif gender dalam Al-Qur’an mengacu kepada semangat dan nilai-nilai universal. Adanya kecenderungan permohonan bahwa konsep-konsep Islam banyak memihak kepada gender laki-laki belum tentu mewakili substansi ajaran Al-Qur’an. Prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur’an antara lain mempersamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba Allah.

Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi, efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender.

Perbedaan secara genetik antara laki-laki dan perempuan perlu dibahas lebih cermat dan hati-hati, karena kesimpulan yang keliru mengenai hal ini tidak hanya akan berdampak pada persoalan sains semata, tetapi juga mempunyai dampak lebih jauh kepada persoalan asasi kemanusiaan.

Dengan menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan secara genetik berbeda, tanpa memberikan penjelasan secara tuntas, maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan legitimasi terhadap realitas sosial, yang memperlakukan laki-laki sebagai jenis kelamin utama dan perempuan sebagai jenis kelamin kedua.

Memang dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah gender, namun jika yang dimaksud gender menyangkut perbedaan laki-laki dan perempuan secara non–biologis, meliputi perbedaan fungsi, peran, dan relasi antara keduanya, maka dapat ditemukan sejumlah istilah untuk itu. Semua istilah yang digunakan dalam al-Qur’an terhadap laki-laki dan perempuan dapat dijadikan obyek penelusuran. Seperti istilah al-rajul/al-rijal yang al-mar’ah/al-nisa’, al-dzakar dan al-untsa, termasuk gelar status untuk laki-laki dan perempuan.

Hak-hak Perempuan dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat dan pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sesi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan kemanusiaan. Berikut beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan dalam pandangan ajaran Islam.

  1. Hak-hak Perempuan di Luar Rumah

Pembahasan menyangkut keberadaan perempuan di dalam atau di luar rumah dapat bermula dari surat al-Ahzab ayat 33: “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu danjanganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah”.

Ayat ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita keluar rumah. Al-Qurthubi (W 671 H) yang dikenal sebagai salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum menulis antara lain: makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah, walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW, tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut. Selanjutnya mufassir tersebut menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar wanita-wanita tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena keadaan darurat.

Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi SAW, aktif pula di berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shatujah binti Thuyay, istri Nabi Muhammad SAW, serta ada juga yang menjadi perawat, bidan dan lain sebagainya.

BACA JUGA  Rekonstruksi Peran Perempuan Menuju Indonesia Emas 2045

Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi SAW. Namun, betapa pun sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

  1. Hak di bidang politik

Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik? Paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan mereka.

  1. Ayat, ar-rijal qawwamuna aal-annisa (lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) (QS. al-Nisa [4]: 34).
  2. Hadis yang mengatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki: keberagamaannya pun demikian.
  3. Hadis yang mengatakan: Lam yathlaha qaum wallawu arra hum imra’at (tidak akan bahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan).

Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat al-Taubah [9] ayat 71.Secara umum ayat itu dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat “menyuruh mengerjakan yang makruf mencegah yang mungkar.

Pengertian kata auliya dalam al-Taubah [9] ayat 71 itu mencakup arti kerjasama, bantuan dan penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala  kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik terhadap penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberi saran atau nasehat untuk berbagai bidang kehidupan.

  1. Kepemimpinan (al-Qiwamah) Perempuan

Definisi al-qiwamah dalam pengertian umum terdapat dalam al-Tamzil al-Hakim pada surat al-Nisa’. Di dalamnya juga terdapat qiwamah bagi laki-laki dan bagi perempuan, yaitu firman Allah dalam QS. al-Nisa’ [4]: 34:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin (qawwamun) bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki dan perempuan) atas sebagian yang lain. Dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Maka wanita yang shalehah ialah yang taat dan memelihara hal-hal yang telah dipelihara oleh Allah ketika suaminya tidak ada: wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahilah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tingi lagi Maha Besar.

Dengan demikian, ayat 34 surat al-Nisa’ di atas adalah berisi tentang penjelasan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang perempuan yang diberi anugerah hak kepemimpinan, disebabkan oleh anugerah yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekayaan, pendidikan ataupun kadar intelektual.

Sifat-sifat tersebut adalah patuh dan menjaga aib suami. Apabila ia memiliki sifat-sifat demikian maka, ia pantas untuk memimpin. Akan tetapi, bagaimana jika ia tidak memiliki sifat-sifat tersebut? Jika demikian maka, ia telah keluar dari garis kelayakan sebagai pemimpin, yang dalam ayat di atas disebut nasyiz, yakni wa al-lati takhafuna nusyuzahunna (wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya) yakni keluar dari sifat kerendah-hatian dan menjaga aib suami.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Kader aktif PMII UNUJA sekaligus mahasiswa dan santri aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Minat kajian keislaman dan filsafat.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru