33.2 C
Jakarta

Gender dalam Fashion Perempuan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanGender dalam Fashion Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
“Cobalah pakai baju yang lebih feminin, agar lebih kelihatan perempuan!”
“Kamu kok suka pakai baju laki-laki terus, sih!”

Harakatuna.com – Setiap orang memiliki otoritas penuh terhadap tubuhnya. Mereka bebas untuk mengekspresikan apa yang mereka miliki sesuai kehendak tanpa harus takut akan dihina, dicaci, atau digunjing. Sayangnya pernyataan ini belum penuh bisa diterapkan di Indonesia.

Negara kita yang selalu dipuja kekayaan alam dan budayanya, namun dari dalam tanah tumbuh akar patriarki yang begitu kuat hingga mampu menancap ke setiap jiwa penghuninya.Tidak hanya pada sistem peran perempuan dan laki-laki yang seringkali disalahgunakan.

Kenyataannya, pada tubuh masing-masing kita juga diperbudak oleh aturan-aturan yang begitu mengikat. Salah satu contoh yang paling terlihat di sekitar kita adalah budaya fashion yang tak henti-hentinya direproduksi.

Kita tidak sedang bicara perihal fashion yang semakin kesini rasanya selalu kembali ke masa-masa dulu, dengan bahan yang lebih bagus, dengan motif-motif yang makin beraneka, serta warna-warnanya yang makin detail dan beragam. Kita sedang mencoba membicarakan bagaimana fashion bisa mengikat tubuh kita begitu erat. Entah dari model pakaian, alas kaki, tas, hingga pernak-pernik yang digunakan pada tubuh.

Mungkin kita bisa memulainya dengan pakaian yang biasa melekat pada perempuan. Pakaian yang dikenakan perempuan, bahkan sejak bayi, lebih kepada motif-motif bunga, kartun-kartun perempuan, barbie, hingga binatang-binatang yang terkesan lucu dan imut. Warnanya pun biasa lebih cerah.

Kombinasi pada pakaian juga terdapat pita-pita, tempelan bunga, serta renda. Tanpa orang melihat bagaimana alat kelaminnya, mereka sudah tahu dari pakaian yang digunakan bahwa bayi itu adalah perempuan. Semakin besar, perempuan dikenalkan dengan model pakaian yang (katanya) sesuai dan cocok bagi mereka.

Jika diketahui mereka menggunakan pakaian polos atau kemeja unisex, akan banyak yang menganggapnya sebagai seorang “tomboy” atau kelaki-lakian.

Tidak hanya masalah pakaian, perempuan sedari kecil, khususnya pada budaya orang Indonesia sendiri, biasa dipakaikan anting-anting di kedua telinganya. Telinga mereka yang sebelumnya tidak ada lubang sama sekali dilukai hingga berdarah, lalu dimasukkan benda asing yang tidak semua orang bisa hidup dengan ini.

Namun dari anting-anting lah akhirnya mereka juga dikenali sebagai perempuan. Andaikan anak sedari bayi tidak dikenakan anting-anting, pastilah kehidupan kekeluargaan dan kebertetanggaan akan meledak kesana kemari membawa berita yang tak enak di hati. Entah kicauan karena tidak punya uang untuk membelikan anak anting, tidak peduli dengan anak, atau bahkan menyalahi budaya yang ada pada masyarakat setempat.

BACA JUGA  Terabaikan dan Teralienasi: Peran Pemuda dan Perempuan dalam Kontra-Ekstremisme

Selain itu hal yang paling sederhana dan jarang sekali untuk dipermasalahkan adalah alas kaki. Mungkin kita sendiri terkesan tidak pernah mempermasalahkan alas kaki apa yang akan dipakai. Tentunya karena kita telah dibentuk untuk menggunakan alas kaki yang (katanya) cocok bagi perempuan. Ketika masuk ke dalam toko sepatu atau sandal, kebanyakan benda ini sudah dipisahkan antara milik laki-laki dan perempuan. Lantas apa bedanya?

Alas kaki perempuan biasa dibuat lebih ramping disesuaikan dengan bentuk kaki yang (biasanya) terkesan kecil, memiliki variasi warna yang beragam, memiliki model yang begitu mewah, dan ketinggiannya bisa sampai 5-7 cm (misalnya highheels).

Hal ini berbeda dengan alas kaki laki-laki yang lebih simpel, warna tidak mencolok, bentuk dan ukuran lebih besar. Tentu saja ciri-ciri yang baru saja disebutkan adalah sebuah konstruksi yang membuat benda milik laki-laki dan perempuan berbeda.

Kita memang seringkali tidak mempermasalahkan apa yang dipakaikan pada tubuh kita, karena mindset telah terbentuk bagaimana pakaian perempuan dan laki-laki yang seharusnya, bagaimana aksesori yang digunakan oleh perempuan dan laki-laki selayaknya.

Tapi bukankah selain apa yang telah melekat pada tubuh tidak ada lagi yang perlu diperbedakan antara laki-laki dan perempuan? Harusnya hal ini memang tidak lagi diperdebatkan. Mau perempuan menggunakan baju yang bagaimana, dan laki-laki memakai pakaian yang bagaimana, hak mereka adalah milik pribadi masing-masing.

Pikiran kebanyakan orang tentang pengkotak-kotakan pakaian bisa jadi akan terus direproduksi selama tidak ada gebrakan bahwa apapun bisa digunakan oleh siapapun. Jika belum mampu memberikan informasi bahwa tak ada yang namanya perempuan harus memakai ini itu, setidaknya konstruksi bisa didobrak dengan bagaimana kita bisa menggunakan apa yang menurut kita nyaman.

Walau bertahun-tahun tubuh kita telah diatur sedemikian rupa oleh sistem, bukankah kini waktunya untuk merampas kembali hak-hak milik tubuh kita dari aturan yang mengikat?

Firda Rodliyah
Firda Rodliyah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru