Harakatuna.com – Gen Z, yang terdiri dari individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, adalah kelompok yang tumbuh dalam era digital yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka adalah digital natives yang berinteraksi dengan teknologi dan informasi dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Dengan akses instan ke berbagai platform media sosial, mereka memiliki kemampuan terhubung dengan dunia luar, tetapi juga menghadapi tantangan unik yang dapat memengaruhi pandangan dan perilaku mereka. Salah satu tantangan yang semakin mengkhawatirkan adalah radikalisasi.
Gen Z memiliki karakteristik yang membedakannya dari generasi sebelumnya. Mereka dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation). Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka.
Teknologi digunakan sama alaminya layaknya mereka bernapas. Dengan karakter tersebut, tentu menjadi tantangan tersendiri dalam membangun kerukunan beragama bagi generasi ini. Mereka dengan teknologi yang dikuasai bisa cepat memberi pengaruh baik, tetapi juga memberi pengaruh buruk yang sangat cepat, intoleran yang mengarah kepada kekerasan sebagaimana sering terjadi akhir-akhir ini.
Berdasarkan sensus penduduk 2020, Indonesia tercatat sebagai negara dengan proporsi Gen Z terbanyak. Generasi yang terlahir pada 1996-2009 itu memiliki persentase 27,94 persen dari jumlah penduduk. Generasi Z atau angkatan yang lahir pada periode pasca-1995 dipandang sebagai bagian dari digital natives. Akrab dengan hal-hal kekinian yang serba instan sehingga dinilai jauh dari ide-ide yang mengakar dalam pikiran, apalagi sampai diwujudkan dalam perbuatan.
Namun, pelaku bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan pada 13 November 2019 silam mematahkan pandangan tersebut. Kasus ini menunjukkan bahwa Gen Z sangat berpotensi terpapar pemahaman keagamaan ekstrem lewat platform digital. Eksklusivisme itulah faktor pendorong terjadinya intoleransi, baik dalam bentuk-bentuk pelarangan, penyerangan, maupun pemaksaan terhadap umat agama minoritas. Faktor yang memberikan pengaruh terhadap intoleransi adalah eksklusivisme.
Faktor-Faktor Radikalisasi
Salah satu faktor utama yang mendorong radikalisasi di kalangan Gen Z adalah pengaruh media sosial. Facebook, X, dan TikTok tidak hanya menjadi tempat untuk berbagi informasi, tetapi juga menjadi arena bagi penyebaran ideologi ekstremis. Algoritma yang digunakan oleh platform-platform tersebut memperkuat pandangan yang sudah ada, menciptakan ruang gema di mana ide-ide radikal dapat berkembang tanpa tantangan.
Media sosial juga memberikan akses mudah ke konten yang dapat memicu keterikatan emosional. Video, meme, dan narasi yang menggugah dapat menarik perhatian Gen Z dan membuat mereka merasa terhubung dengan ideologi ekstremis. Dalam banyak kasus, individu yang terpapar konten seperti ini merasa bahwa mereka menemukan komunitas yang memahami dan menerima mereka, yang pada gilirannya meningkatkan risiko radikalisasi.
Radikalisme di kalangan Gen Z semakin menjadi perhatian, terutama dengan meningkatnya penyebaran konten intoleransi dan ekstremisme di media sosial. BNPT mencatat, pada tahun 2023, terdapat sekitar 2.670 konten yang berkaitan dengan intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Selain itu, kasus bom bunuh diri yang melibatkan angkatan muda menunjukkan bahwa Gen Z rentan terhadap pemahaman ekstrem, terutama dalam komunitas tertentu. Itu semua menunjukkan bahwa upaya kontra-radikalisasi di kalangan Gen Z harus ditingkatkan.
Krisis identitas juga menjadi faktor penting. Gen Z berada di persimpangan berbagai nilai dan budaya. Mereka berusaha menemukan tempat mereka di dunia yang kompleks, dan dalam prosesnya, mereka dapat terjebak dalam ideologi ekstrem yang menawarkan jawaban sederhana untuk pertanyaan yang rumit. Radikalisasi muncul sebagai respons terhadap rasa kehilangan identitas dan pencarian makna.
Keterasingan sosial juga berkontribusi pada radikalisasi. Meskipun Gen Z terhubung secara digital, banyak dari mereka merasa terputus dari komunitas fisik mereka. Rasa keterasingan dapat membuat mereka lebih rentan terhadap ajakan untuk bergabung dengan kelompok ekstremis yang menawarkan rasa kebersamaan dan tujuan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sosial yang ada dapat mendorong mereka untuk mencari identitas baru dalam ideologi yang lebih radikal.
Upaya Mencegah Radikalisasi
Untuk mengatasi persoalan di atas, pentingnya perubahan media dalam pendidikan seputar akidah dan keyakinan menjadi pondasi utama untuk melatih Gen Z pada perkembangan zaman yang makin modern. Peran dakwah virtual merupakan salah satu upaya memberikan edukasi agama yang baik bagi Gen Z. Tidak lagi berdakwah dengan cara lama, tetapi memanfaatkan media digital untuk mengemas dakwah virtual yang lebih modern dan dapat diterima oleh semua kalangan, terutama Gen Z.
Penting untuk menyosialisasikan pendidikan agama yang inklusif bagi Gen Z, meningkatkan literasi digital untuk memfilter informasi yang tidak akurat, serta mendorong penggunaan media sosial yang bertanggung jawab dan empatik. Suntikan positif dalam dunia digitalisasi menjadi sorotan bagi Gen Z agar bertanggung jawab dalam penyebaran dan tontonan di media sosial.
Sudah saatnya semua bergerak, semua sadar, dan semua meneriakkan keresahan sebagai ancaman disintegrasi. Pencegahan sikap intoleransi dan radikalisme harus dikerjakan bersama oleh Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, sekolah, orang tua, masyarakat, dan organisasi Islam. Semuanya harus bekerja secara integral menghadapi permasalahan yang cukup serius. Jika tidak, maka generasi mendatang kita akan menjadi generasi intoleran-radikal dan kontra-moderasi.
Gen Z, sebagai generasi pemangku masa depan, idealnya dibekali pendidikan yang membimbing mereka menjauhi diskriminasi. Pengajaran pendidikan agama Islam seharusnya memperkuat civic values (kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi, dan persatuan) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Gen Z sebagai digital natives memiliki peran penting sebagai agen moderasi. Mereka dapat mensosialisasikan muatan moderasi beragama di kalangan masyarakat agar tercipta lingkungan yang anti-radikalisme dan kontra-terorisme.