26.8 C
Jakarta

Geliat NII, Parasit Demokrasi dan Kebangkitan Ekstrem Kanan

Artikel Trending

KhazanahOpiniGeliat NII, Parasit Demokrasi dan Kebangkitan Ekstrem Kanan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sejatinya, pembaiatan 59 warga Garut oleh Negara Islam Indonesia (NII) ialah sinyalemen gerakan ekstrem kanan di Indonesia. Asumsi ini tentu bukan berlebihan. Sejarah mencatat, organisasi ideologis seperti NII ini sukar dibasmi. Di permukaan, mereka memang tidak menonjol. Namun, geliatnya di bawah tanah patut diwaspadai. NII seperti hantu yang meneror alam bawah sadar kita.

Agen-agen NII bergentayangan di ruang publik kita, mulai dari majelis taklim, pengajian, hingga lingkungan akademik di sekolah maupun universitas. Jangan anggap remeh NII, lantaran mereka ini bukan pemain lama dalam gerakan pembangkangan terhadap NKRI. Mereka mampu bertahan dari rezim ke rezim, mulai dari Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi.

Apa rahasianya? Sebagai sebuah gerakan ideologis-politis, NII memiliki komoditas atau bahan jualan yakni romantisme kejayaan Islam di masa lalu. Mereka mengobarkan sentimen fanatisme keagamaan di kalangan umat Islam, membenturkan antara Islam dan NKRI lantas mencekoki umat dengan narasi dongeng kejayaan Islam di bawah naungan Darul Islam. Model kampanye dan propaganda yang demikian ini sudah menjadi semacam ciri khas dari gerakan ekstrem kanan.

Mereka membungkus gerakan politiknya dengan ideologi agama agar seolah tampak suci. Ironisnya, “dagangan” yang demikian itu laku di kalangan anak muda yang ghirah keislamannya tengah memuncak, namun minim pengetahuan keagamaan. Akibatnya, mereka begitu mudah terpapar bujuk rayu dan akhirnya berbaiat pada organisasi ekstrem macam NII.

Paradoks Demokrasi

Sebenarnya ditinjau dari sisi sosiologis dan politis, ideologi islamisme yang dibawa NII ini cenderung tidak mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia pada umumnya. Sejumlah survei dan jajak pendapat membuktikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia setuju NKRI dan Pancasila sebagai konsep yang final. Sisanya, hanya minoritas yang masih mendukung konsep Negara Islam (Darul Islam).

Fatalnya, justru kelompok yang minoritas inilah yang selama ini cenderung dominan dalam mewarnai ruang publik kita dengan opini-opini yang mereka produksi.Dengan kata lain, mereka ialah loud minority alias minoritas yang nyaring bersuara. Terutama di media sosial. Sebaliknya, kaum moderat-nasionalis lebih memilih menjadi silent majority alias mayoritas yang diam.

Dalam situasi demokrasi, kondisi ini tidak menguntungkan. Seperti kita tahu, demokrasi memungkinkan adanya ruang publik yang terbuka di mana semua individu bebas mengekspresikan gagasannya. Selama ini, ideologi islamisme seperti diusung oleh NII berlindung di balik kebebasan demokrasi tersebut.

BACA JUGA  Pilpres 2024; Ulama Sebagai Komoditas Politik Semata?

Mereka tidak lain ialah parasit demokrasi; menumpang hidup dalam sistem keterbukaan dan kebebasan namun diam-diam merencanakan penggulingan kekuasaan alias makar.

Ancaman Ekstrem Kanan

Paul N. Goldsten dalam bukunya Democracy and Its Enemies menyebutkan bahwa salah satu musuh demokrasi ialah munculnya kelompok-kelompok anti-demokrasi yang menggunakan kebebasan ruang publik untuk mendelegitimasi demokrasi itu sendiri. Goldsten menyebutnya sebagai paradoks demokrasi. Yakni kondisi ketika ruang publik yang terbuka justru melahirkan anasir yang mengancam kebebasan itu sendiri.

Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Pasca Reformasi, ketika kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal dicabut, dan keran kebebasan dibuka lebar, residu persoalan pun mulai bermunculan. Mulai dari bangkitnya gerakan separatisme berbasis primordialisme (kesukuan), naiknya ideologi kiri (komunisme) hingga geliat gerakan ekstrem kanan berbaju agama. Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi juga di negara-negara mayoritas muslim di kawasan Timur Tengah.

Fenomena kebangkitan gerakan politik berbaju agama yang membonceng demokrasi inilah yang menjadi salah satu faktor merebaknya Arab Spring di sejumlah negara muslim di Timur Tengah. Sebut saja antara lain, Libya, Suriah, Yaman, Mesir, Sudan, dan sebagainya. Arab Spring harus dibayar mahal dengan konflik dan perang saudara antarsesama anak bangsa di negara-negara tersebut. Maka, hanya orang bodoh dan tidak cinta pada negeri ini yang ingin mengimpor Revolusi Arab ke bumi Indonesia.

Pembaiatan 59 warga kepada NII ini patut menjadi semacam warning alarm baik bagi pemerintah maupun masyarakat sipil bahwa ancaman ekstrem kanan itu masih ada. Jika ada yang mengatakan bahwa ekstrem kanan hanyalah retorika pemerintah untuk membungkam suara kritis, maka itu patut dicurigai sebagai simpatisan gerakan tersebut.

NKRI dan Pancasila adalah konsep final. Siapa yang mendaku Warga Negara Indonesia harus tunduk pada kesepatan tersebut. Tidak ada lagi ruang untuk mengutak-atik kesepakatan tersebut, baik melalui jalur parlemen apalagi jalur gerakan bawah tanah ala NII.

Sivana Khamdi Syukria
Sivana Khamdi Syukria
Pemerhati isu sosial dan keagamaan, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru