33.2 C
Jakarta
Array

Geliat Literasi Tak Akan Pernah Padam

Artikel Trending

Geliat Literasi Tak Akan Pernah Padam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Aksi razia buku belakangan marak terjadi. Para oknum tersebut merampas buku-buku yang dipajang di etalase toko buku. Menyisir setiap rak yang menampilkan judul buku yang dinilai melanggar nilai yang mereka anut. Lantas meminta pengelola toko dan penerbit untuk menarik buku-buku tersebut dari peredaran.

Tindakan semacam itu kerap menghiasi media massa kita. Para warganet dan masyarakat tidak tinggal diam. Mereka turut melayangkan kecaman dan mengkritik aksi tersebut. Berbagai aksi tandingan pun dibentuk untuk meyakinkan bahwa buku-buku tersebut tak seharusnya dilarang disebarkan ke khalayak luas.

Buku yang dibatasi pergerakannya merupakan sinyal bahwa kebebasan kita masih dibelenggu. Mengapa kita harus takut dengan buku? Justru dengan banyak referensi, menjadikan kerangka pikir masyarakat tercipta dari beragam sudut pandang. Yang akhirnya bisa melahirkan kritik-kritik dan inovasi paling mutakhir.

Konten Buku

Dan, bukankah seharusnya setiap warga berhak mengonsumsi informasi dari sumber yang mereka mau? Apalagi di era digital seperti sekarang ini, banjir informasi tak terbendung. Buku bukan satunya-satunya rujukan untuk mendapatkan fakta dan gambaran tentang suatu hal. Ada kekuatan super masif di luar sana yang jauh mengungguli daya buku dalam mempengaruhi opini orang. Jadi, kenapa mesti khawatir dengan konten yang dipublikasikan dalam bentuk buku?

Toh sejauh ini, untuk mencetak buku, diperlukan penyuntingan bertahap dari sisi isi dan kaidah penulisan. Sehingga, setiap buku yang lolos terbit, bisa dipastikan telah melewati pemeriksaan ketat. Segala aspek ditinjau dan dicek. Dipertimbangkan pula aspek hak ciptanya; apakah orisinil atau menjiplak.

Lagipula seharusnya, jika tidak sependapat dengan gagasan yang dituangkan penulis dalam buku yang disita, pihak penyita bisa memproduksi buku tandingan. Bikinlah karya tulis yang mengklarifikasi topik yang dibahas buku yang disita.

Karya intelektual mestinya bisa didebat. Karena di dunia keilmuan, semua hal sifatnya bisa dipertanyakan ulang agar bisa tercetus ilmu baru lagi yang lebih maju. Apalagi ilmu pengetahuan menuntut setiap pihak yang terlibat di dalamnya untuk lebih jeli dan tidak pernah berhenti mengeksplorasi temuan yang ada.

Penarikan Buku dan Literasi Kita

Penarikan paksa buku merupakan  tindakan yang mencoreng geliat literasi di negeri ini. Para penggiat literasi bersusah payah menumbuhkan minat baca di kalangan masyarakat. Lantas dirobohkan dalam waktu sekejap lewat aksi pembungkaman buku.

Namun, tak sampai memadamkan pijar semangat para penggagas gerakan literasi. Meski banyak pihak berusaha memberantas buku-buku jenis tertentu, para pejuang literasi tetap percaya bahwa gelora literasi di Indonesia tak akan pernah mati. Ini dibuktikan dengan tumbuh-suburnya festival literasi dan bazar buku murah yang mulai menjangkau berbagai kota sampai pelosok negeri ini.

Antusiasme pengunjung pun membeludak. Tua, muda, perempuan, laki-laki, pelajar, mahasiswa, karyawan, PNS, pekerja lepas, buruh, dan semua lapisan masyarakat begitu tertarik memborong buku-buku yang ditawarkan. Pengunjung juga hadir memenuhi panggung-panggung yang tengah membicarakan berbagai topik seputar sastra dan literasi di Indonesia. Semua menggebu ketika sudah membahas soal tema-tema yang berkaitan dengan dunia kepenulisan.

Sehingga, kini tak usah cemas dan pesimistis lagi. Negara ini tak akan kehilangan harapan untuk menyalakan api literasi, yang saya yakin akan tetap abadi.

Festival-festival literasi yang ramai digalakkan ini, kini tidak lagi terpusat di Jakarta. Sebab literasi memang seharusnya dirayakan di ruang-ruang diskusi yang terbuka. Tidak perlu kaku di hotel-hotel mewah yang kerap menelan banyak anggaran. Geliat festival ini turut membawa angin segar yang bisa memantik gagasan baru dari para peserta yang hadir. Gagasan yang nantinya menawarkan langkah-langkah unggulan untuk menemukan formula terbaik untuk literasi Indonesia. Bagaimana masyarakat Indonesia diberikan pemahaman bahwa literasi tidak membosankan.

Festival tersebut diharapkan mampu membangkitkan kualitas literasi kita. Dan memperluas ranah literasi, sehingga tidak melulu dinikmati oleh mereka yang memiliki privilase.

Bahwa literasi sebenarnya begitu menyenangkan. Literasi bisa diangkat dan dialihwahanakan dalam berbagai saluran, seperti bisa dijelaskan lewat video di Youtube, rangkaian cuitan berseri di Twitter, tayangan langsung di Facebook, atau konten yang sarat muatan positif di Instagram.

*Shela Kusumaningtyas, Penggemar sastra dan penulis yang sedang berimajinasi untuk mengabadikan hidup.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru